Waktu
fajar ketika adzan subuh dikumandangkan, bergegas aku bangun kulihat suamiku
masih tertidur pulas. Kubuka sedikit jendela kamar tidur, suara ayam berkokok
silih berganti, udara masih begitu dingin, sangat kentara hiruk pikuk suasana
pedesaan di pagi hari. Tiga belas tahun tinggal di desa menjadikanku seorang
ibu yang harus berdamai dengan keadaan. Sebelum menikah dan singgah di desa,
aku adalah seorang wanita yang tinggal di kota, terkenal sangat manja meski
berkekurangan. Nyatanya hidup penuh dengan teka teki dan kejutan.
Kilas
balik enam belas tahun silam. Namaku Adinda Ambarwati biasa dipanggil Dinda.
Aku lahir dan besar dari keluarga yang sederhana. Aku anak bungsu dari enam
bersaudara. Setelah lulus kuliah di salah satu kampus negeri ternama di kotaku,
aku bertemu dengan suamiku yang juga satu almamater denganku. Singkat cerita
akhirnya kami menikah. Buah hatiku, seorang bayi perempuan yang cantik bernama
Anya Putri Matahari lahir tepat setelah satu tahun pernikahan. Akhirnya kami
semua harus pindah ke desa dan menempati rumah kontrakan yang lokasinya berdekatan
dengan usaha suamiku. Tukang las adalah pekerjaan suamiku, dan tentu aku hanya
ibu rumah tangga saja.
Dua
tahun berlalu roda ekonomi semakin berputar ke bawah dan melemah. Usaha suamiku
terpaksa gulung tikar karena ditipu oleh rekan kerja, hal yang biasa tapi tetap
saja tidak lumrah bagi kami. Semakin bulat tekadku untuk mencari pekerjaan.
Setelah melamar dan melamar akhirnya aku diterima sebagai Pendamping Desa, lalu
ditugaskan di salah satu Kecamatan di Kabupaten Malang. Aku bersyukur, waktu
demi waktu ekonomi kami perlahan membaik, rumah yang tadinya hanya untuk
singgah sebentar, mampu kami beli dan menjadi tempat kediaman yang nyaman. Dua
tahun kemudian, lahirlah anak bungsuku, bayi yang tampan dan mungil, namanya
Arga Putra Matahari. Lengkap sudah keluarga kecilku yang penuh dengan kedamaian
dan kebahagian meski hidup sangat jauh dari kemewahan.
Tiga
tahun kemudian desaku diramaikan oleh berita pemilihan Kepala Desa. Saat itu
banyak sekali tokoh masyarakat yang bertamu ke rumah, meminta agar suamiku
mencalonkan diri. Setelah penuh pertimbangan yang matang, kami semua setuju
suamiku mencalonkan diri sebagai Kepala Desa. Dengan bekal tekad bulat untuk
membangun desa dan dorongan dari berbagai pihak tanpa modal materi, suamiku
terpilih menjadi Kepala Desa pada usianya yang ke dua puluh lima tahun dan
tentunya menjadi yang termuda di Kabupaten Malang. Sujud syukur kupanjatkan
tiada henti dan selalu berdoa semoga selalu menjadi pemimpin yang amanah dan
penuh kasih.
Awal
mula menjabat sebagai Kepala Desa, banyak kebijakan kebijakan yang dibuatnya
dan ia meraih keberhasilan luar biasa, penghargaan dan prestasi banyak didapat,
salah satunya meraih juara satu Desa Ramah Anak Tingkat Nasional, juara satu
Desa Siaga aktif Provinsi Jawa Timur dan segudang prestasi lainnya. Karena
prestasinya yang kreatif dan inovatif serta memiliki etos, epos, dan etik,
akhirnya suamiku terpilih sebagai perwakilan Kepala Desa untuk studi banding ke
Negara Jepang. Sepulang dari studi banding suamiku semakin terkenal karena
diundang untuk tampil di berbagai acara sebagai narasumber.
Sifat
kepeduliannya kepada masyarakat sedikit banyak mulai berkurang karena
kesibukannya yang luar biasa. Keluarga sudah tak lagi menjadi prioritas, bahkan
telah terabaikan. Sebagai seorang istri aku hanya bisa menerima dengan lapang
dada karena bagaimanapun beban suamiku sangat berat. Tak terasa empat tahun
kujalani hidup menjadi seorang istri Kepala Desa. Kurasakan semakin hari tabiat
dan perilaku suamiku semakin kasar serta mudah tersinggung. Mungkin karena
menjadi bapak satu desa tentunya harus menghadapi berbagai masalah yang kadang
di luar kendalinya.
Beberapa
bulan kemudian, aku dipindahtugaskan ke Kecamatan di mana aku tinggal, dan
bekerja sebagai Pendamping Desa tentunya kegiatan utamaku adalah mendampingi
desa- desa yang ada di Kecamatan. Pada akhirnya aku juga mendampingi suamiku
yang seorang Kepala Desa karena tuntutan pekerjaan. Seiring dengan
berkembangnya waktu, banyak rumor tentang suamiku adalah seorang Kepala Desa
yang arogan dan sombong. Sebagai istrinya, tentu aku juga tak enak hati
mendengar kata-kata tersebut. Aku setia mendampingi suamiku sepenuhnya dan
terlibat langsung dalam kegiatan perencanaan desa, pelaksanaan kegiatan sampai
dengan laporan pertanggung jawabannya.
Dari
sini aku menjadi tahu sepak terjang suamiku, peringainya memang benar-benar
berubah. Dia tak pernah mendengarkan kata-kata orang, selalu marah, juga tak
peduli situasi dan kondisi. Orang-orang yang dulu setia dan mendukung suamiku
mulai berlari menjauh, mereka menjaga jarak karena tidak mau terlibat dengan
kebijakan-kebijakan yang suamiku terapkan. Gaya kepemimpinanya yang arogan dan
sombong akhirnya terkenal di mana-mana. Itu karena dia merasa di atas angin dan
menjadi orang yang paling benar dan paling pintar.
Derajat
yang diberikan Tuhan tak membawa suamiku lebih baik, malah semakin jauh dari
Tuhan dan seenaknya sendiri. Tentu warga desa tidak berempati sama sekali.
Meskipun arogan dan seenaknya, suamiku dikenal suka obral uang padahal
penghasilannya sebagai Kepala Desa sangat jauh dari cukup. Apalagi kami tidak
memiliki tanah bengkok yaitu tanah yang diberikan kepada Kepala Desa selama
menjabat untuk dimanfaatkan dan hasilnya diambil penuh oleh Kepala Desa.
Pergaulannya
juga berubah, suamiku sering keluar malam pulang subuh, bahkan bisa tidak
pulang. Alasannya? Tentu saja dia bilang banyak pekerjaan yang belum tuntas dan
terpaksa harus diselesaikan di luar jam kerja. Aku percaya saja, sampai
akhirnya suatu hari ketika aku berkegiatan di Surabaya, tak sengaja kudapati
mobil suamiku terparkir di salah satu Mall di sana. Tak merasa curiga dan
berpikir positif, aku masuk ke Mall dan kulihat pemandangan suamiku bersama
wanita asing, bergandengan dengan mesra. Aku diam seribu bahasa dan hanya
memperhatikan dari kejuahan tanpa menegurnya. Tak hanya satu wanita, banyak
sekali wanita yang ada di hidupnya, bergantian mencari waktu agar dapat pergi
bersama. Apa aku tak cukup?.
Aku
tetap hanya diam dan pasrah karena apapun yang kuhadapi, Tuhanlah yang
berKehendak. Keluargaku semakin jauh dari kedamaian, tapi aku tetap menjalani
hidup dengan sabar demi anak-anakku pun aku yakin Tuhan memberiku cobaan karena
Tuhan sudah menyiapkan jalan keluar yang indah. Aku tak lagi peduli tentang
perasaanku terhadap suamiku. Kami tinggal di rumah yang sama, tapi bagai dua
orang asing yang tak pernah menyapa. Kearoganan suamiku semakim menjadi-jadi,
puncaknya saat dia memberhentikan dua Perangkat Desa yang tak sepaham
dengannya.
Suamiku
dulu yang penuh asih sekarang menjadi seorang asing yang arogan juga tak
terkendali. Hanya karena dia merasa yang didapat sekarang adalah buah kerja
kerasnya sendiri, tanpa bantuan serta dukungan orang lain, kami tak dianggap
lagi. Dia tidak pernah beribadah dan selalu mempercayai ‘Orang Pintar’. Mungkin
karena pada saat itu suamiku lah ‘Orang Bodohnya’. Harta habis untuk membiayai
dukun, suamiku percaya semua pekerjaannya bergantung pada dukun. Aku tetap diam
dan fokus mengurus anak-anakku, kupanjatkan doa pada Tuhan, bila pekerjaan ini
merubahnya menjadi pribadi yang semena-mena, tolong hentikan... tolong ubahlah.
Akhirnya
jabatan suamiku berakhir. Tiga bulan kemudian dibuka pencalonan kandidat Kepala
Desa, tentu suamiku mendaftarkan diri. Aku merasa hasil suara nantinya tak
sebagus dulu karena perubahan sifatnya. Tenang saja, suamiku tetap merasa akan
menang atas dasar kepercayaan dirinya yang mungkin berlebih. Saat itu terdapat
tiga kandidat Kepala Desa, sekadar informasi saja.
Hari pemilihan sudah tiba, pesta demokrasi di
desa telah dimulai. Mulai pagi sampai malam hari kegiatan berlangsung dengan
padat tanpa jeda. Sesuai prediksiku, seorang pendatang kaya raya berhasil
mengungguli suara pemilihan, mengalahkan suamiku. Seorang Incumbent dikalahkan
pendatang, tentunya dia tak terima dan sangat terkejut. Aku berpikir ini adalah
keputusan terbaik dari Tuhan, apa yang akan terjadi bila ia menjabat lagi?
Menjabat dengan kearoganannya itu?.
Satu
bulan berlalu sejak pengumuman hasil suara, kondisi suamiku masih belum stabil
sebab kekalahan yang di luar dugaan. Masih menutup diri dan tak mau menemui
tamu, juga sering meluapkan amarah tak jelas. Kondisi seperti ini berlangsung
hampir enam bulan lamanya, aku selalu bersabar mendampinginya. Orang-orang yang
terdekat semuanya menjauh, yang pernah ditolong malah tutup mata juga cenderung
tak peduli, wanita-wanitanya pergi entah ke mana. Suamiku benar-benar berada di
titik terendah, jabatan musnah, usaha hancur, dan hutangnya menumpuk.
Sekarang
aku menjadi tulang punggung keluarga. Karena keikhlasanku menjalani semuanya,
Tuhan memberiku banyak kemudahan. Pekerjaanku sebagai pendamping desa
diperlancar. Aku juga sering diundang sebagai narasumber di acara-acara
tertentu. Entah bagaimana caraku mengatur waktu, aku mulai mengembangkan
hobiku, awalnya aku memang terbiasa mendesain baju sendiri, hingga aku
memutuskan untuk memasarkan baju dengan desain buatan sendiri secara online.
Asalkan halal maka semua akan kulakukan demi mencukupi kebutuhan keluarga.
Selama ini aku yakin ketika kesiapan bertemu kesempatan pasti akan membuahkan
keberhasilan.
Berangsur-angsur
dalam setahun kepercayaan diri suamiku tumbuh sedikit demi sedikit, ia mulai
bangkit dan menyempatkan keluar rumah meski hanya sekadar berbincang dengan
tetangga. Walau terkadang emosinya memang belum stabil, tetap marah-marah tak
jelas, tapi aku memakluminya. Waktu terus berlalu dan suamiku mencoba usaha
berjulan kelapa keliling dengan mengendarai mobil Pick Up. Tentunya tidak mudah
mengingat dulunya dia adalah Kepala Desa yang merasa seluruh dunia telah berada
di telapak kakinya, dan sekarang ia hanyalah seorang pedagang kecil. Namun,
suamiku mulai berubah seperti sedia kala ketika kami hidup bahagia dan
sederhana, dia menjadi rajin beribadah dan mulai bisa menerima keadaan bahwa
kekalahan bukan akhir dari segalanya tapi Tuhan telah menyiapkan lembaran baru
yang lebih baik dari sebelumnya.
Naas
sekali, dua tahun kemudian ketika sedang berjualan mobil Pick Up tua milik
suamiku remnya blong, kecelakaan maut tak dapat dihindari, agar tak terjadi
kecelakaan beruntun, setir mobil di buang ke kiri dan berakhir masuk jurang.
Kondisi suamiku parah pasca kecelakaan, kakinya patah tulamg dan harus dirawat
di Rumah Sakit. Semua aset sudah habis untuk biaya pengobatan, termasuk uang
simpanan dan rumah harus dijual. Keluargaku sungguh diuji, aku menjadi tulang
punggung keluarga yang harus merawat suami, dan wajib menjadi ibu hebat untuk
kedua anakku.
Kembali
ke masa kini. Suamiku masih tertidur pulas dengan kaki yang belum sembuh,
kadang aku mendengar erangan kecil merintih kesakitan. Segera kuambil wudhu
untuk melaksanakan sholat Subuh. Setelah itu kegiatan pagi hari sebelum bekerja
kuselesaikan semuanya.
Aku
kerja pagi sebagai pendamping desa, sore hari sampai malam aku menyiapkan
segala pesanan baju-baju online. Tak pernah istirahat dan tak boleh sakit.
Sekali lagi, untuk memenuhi kebutuhan hidup semua kukerjakan, asalkan halal.
Saat ini kondisi suamiku masih belum stabil karena belum bisa menerima
keadaannya. Berat sekali nasib suamiku, yang mulai bangkit tetapi dihantam
kembali oleh ujian yang lainnya.
Semoga
aku kuat menjalani dan melewati semua ini, bersama keluarga kecilku yang
tinggal di rumah kontrakan dalam gang sempit. Walau serba kekurangan tapi hidup
sangat penuh kedamaian. Harta atau pun tahta kadang tak menjadikan kita
bahagia, tetapi tinggal bagaimana kita bisa menjaga amanah itu untuk kebaikan.
Hidup
merupakan suatu perjuangan dan patut untuk diperjuangkan karena hidup itu sulit
untuk dijalani dan akan menjadi lebih sulit ketika kita tidak pernah bersyukur
atas apa yang sudah kita hadapi. Mendekatlah kepada Sang Pencipta dan memohon
yang terbaik dalam kehidupan.
Penulis:
Eli Rokhmawati
0 Komentar