Membangun Desa yang Maju dan Inklusif: Refleksi tentang Program BLTDD dan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan

 


Masyarakat miskin masih sering saya temui dalam perjalanan pengabdian mendampingi desa. Saat melakukan verifikasi Bantuan Langsung Tunai Dana Desa (BLTDD), saya bertemu dengan beberapa warga desa yang diusulkan oleh Kepala Dusun mereka sebagai Penerima Manfaat. Kriteria penerima BLTDD tahun ini mencakup miskin ekstrem, lansia KK tunggal, disabilitas, dan juga penyandang penyakit menahun.

Dari pengalaman verifikasi ini, saya mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam tentang kondisi warga yang diajukan untuk diverifikasi. Salah satu kasus yang sangat mengharukan adalah sepasang lansia yang tinggal sendirian tanpa didampingi oleh anak atau cucu. Mereka sangat renta dan tidak mampu bekerja lagi. Bahkan, suara mereka sudah sangat lemah, sehingga tim verifikasi mengalami kesulitan dalam berkomunikasi.

Dari cerita tetangga, baru terungkap bahwa kedua lansia tersebut hidup dalam kekurangan karena tidak ada anggota keluarga yang membantu mereka dalam kehidupan sehari-hari. Makanan mereka sebagian besar berasal dari bantuan tetangga sekitar rumah mereka. "Kami hanya bisa makan jika ada yang memberi, jika tidak, kami tidak makan," begitu kata si Mbah ketika saya tanyakan mengenai makanan sehari-harinya.

Selain itu, ada juga seorang ibu yang mengalami stroke dan hanya bisa menggunakan sebelah tubuhnya. Sebelum sakit, ia aktif berjualan di pasar untuk menyokong keluarganya. Sekarang, ia tidak bisa melakukan banyak hal dan harus dibantu oleh suaminya yang juga sudah renta. Ketika saya tanya mengenai uang BLTDD yang dia terima tahun lalu, ia menjelaskan bahwa sebagian besar uang itu digunakan untuk membeli obat-obatan, karena seringkali ia mengalami nyeri akibat kambuhan dari stroke, dan satu-satunya cara untuk meredakannya adalah dengan mengkonsumsi obat.

Selama saya mendampingi 3 desa, saya berhasil melakukan verifikasi langsung pada sekitar 50 rumah, sementara sisanya dikerjakan oleh tim lain. Saya menemui beragam kondisi warga desa, dan hasil temuan ini sangat menegaskan bahwa masih ada banyak masyarakat yang hidup dalam kemiskinan dan penderitaan.

Di sisi lain, saya juga menemui percakapan yang meragukan manfaat BLTDD, terutama berasal dari aparatur desa, pemangku kepentingan, dan anggota kelompok masyarakat yang terlibat dalam pemerintahan desa. Mereka memiliki pandangan bahwa kewajiban penyaluran BLTDD dapat menghambat pembangunan di desa, karena anggaran Dana Desa yang tersedia terbatas. Terdengar contoh seperti dalam sambutan kepala desa pada forum resmi, "Kedepan, kita berharap pembangunan di desa dapat mencapai dampak yang lebih signifikan dan merata. Bahkan, kami berharap bahwa tahun depan BLTDD dapat dihapuskan sehingga dana tersebut dapat digunakan untuk membangun infrastruktur."

Selain itu, ada juga pendapat bahwa program BLTDD ini tidak sesuai, karena dianggap dapat memotivasi masyarakat untuk menjadi kurang produktif. Mereka merasa bahwa setiap bulan, penduduk hanya menunggu bantuan dari pemerintah, mirip seperti menunggu gaji, dan hal ini dinilai menghambat semangat bekerja.

Pandangan yang beragam ini menggambarkan bahwa ada ketidaksetujuan dalam hal prioritas penggunaan Dana Desa untuk BLTDD, walaupun banyak contoh konkret pemanfaat yang sangat membutuhkan bantuan tersebut.

Sebagai pendamping desa, tentu saja dua pendapat dan perasaan dari masyarakat yang berbeda tersebut berkedudukan sama, walaupun secara kondisi kaum rentan memang lebih layak mendapat pembelaan, namun kurang bijak juga kalau tidak mempertimbangkan pendapat warga lain yang juga rasional, dalam tugas pendampingan.

Dalam pendampingan menjadikan salah satu pihak bersebrangan dengan pihak lainya akan menimbulkan jurang ketimpangan yang ada akan semakin meluas dan dapat memecah belah warga. Selain itu makna ketimpangan harus kita rekognisi agar tidak selalu befikir dikotomis. Kalau keberadaan tangan kanan dan kiri, konsep atas dan bawah, hitam dan putih, tinggi dan rendah, kaya dan miskin serta sejumlah kutub dikotomis lainnya dipahami sebagai ketimpangan, maka cara berpikir kita cendrung akan memihak satu dan berusaha meniadakan yang lain.

Padahal apabila yang dimaksud ketimpangan adalah dua kutub yang saling berlawanan, mustahil kita menghilangkan salah satunya, karena lampu dapat menyala berkat “ketimpangan” arus listrik positif dan negatif.

Pada menu Sdgs Desa meskipun ada menu “desa tanpa kemiskinan”, secara laten kita tidak mungkin mengubur semua orang miskin. Selain karena terkait dengan bagaimana konsep ekonomi memandang warga miskin yang dipelihara oleh hasil riset dan didukung data statistik, miskin dan kaya bukan sekadar soal kesenjangan yang diukur dengan indeks Gini— dikembangkan oleh Corrado Gini dari Italia pada 1992. Cara pandang, cara bersikap, mentalitas seseorang menjalani hidup serta keteguhan prinsip juga juga mestinya bisa dijadikan penentu “indeks” ketangguhan menaklukkan kemiskinan.

Dalam rangka mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) di desa, kita perlu melihat kemiskinan dari berbagai sudut pandang. Program sosial harus berorientasi pada pemberdayaan dan tidak hanya bersifat charity. Kami harus membantu masyarakat miskin untuk menjadi mandiri. Tidak lagi menempatkan masyarakat miskin sebagai orang yang dikasihani dan dianggap warga kelas dua. Konsep pembangunan yang digalakan harus berorientasi pada asas keterbukaan kepada semua kelompok yang ada, tanpa membedakan dan meniadakan peran yang lain.

Menilik kondisi yang ada dilapangan terkait program BLTDD, adanya pro dan kontra terkait program tersebut harus disikapi dengan bijak dengan berorientasi pada inklusifitas. Artinya dalam merencanakan dan melaksanakan pembangunan Desa keterlibatan semua kelompok dapat diamksimalkan dalam memberi kontribusi pemikiran dan tenaga untuk dapat memecahkan masalah kemiskinan dan mengubur jurang yang tercipta.

“Jika ingin bersedakah untuk warga miskin, yang terbaik bukan memberikan suatu barang atau uang, melainkan bagaimana membuat mereka tidak membutuhkan lagi pemberian”. Membangun mentalitas dan prinsip untuk tidak menunggu diberi adalah tujuan pokok yang harus dituju.

Program BLTDD yang awalnya dicetuskan pada masa pandemi untuk Ketahanan Sosial, saat ini harus didorong menjadi program yang berorientasi pada pemberdayaan. Pada awal tulisan ini, tidak dipungkiri adanya prioritas Dana Desa dari Kementrian Desa PDTT yang disalurkan kepada masyarakat rentan melalui program BLT sudah sangat membantu dan memberi dampak, namun dengan kondisi yang sudah berubah pusat kebijakan juga diharap dapat memberi arahan baru yang dapat memberi ruang kreativitas pemerintah desa untuk menentaskan kemiskinan.

Program bantuan sosial bisa diarahkan tidak lagi langsung tunai namun berupa pembuatan iklim ekonomi, seperti menghidupkan pasar desa, menciptakan rumah produksi berbasis rumah tangga, dan ruang-ruang ekonomi desa lainnya yang dianggap dapat mengangkat derajat para kaum rentan. Apakah kaum rentan yang ada kemudian tidak mendapatkan bantuan? Tentu saja bagi yang memang sudah lansia dan tidak dapat beraktifitas bantuan itu tetap harus dipertahankan, meski dengan bentuk yang mungkin berbeda.

Misalnya dalam penciptaan pasar desa, kaum rentan dapat diberi fasilitas khusus seperti kios atau bantuan modal yang kemudian di swakelolakan oleh keluarga yang menanggung ekonominya selama ini. Kemudian bantuan makan juga bisa dipusatkan melalui posbindu yang diberi sokongan program tambahan untuk mengurusi kaum lansia dan rentan yang tinggal sendiri dirumah.

Desa bisa membentuk kelompok sosial mulai dari PKK, Karang Taruna dan kelompok lain yang diberikan tugas untuk mengurusi kelompok rentan yang sendirian di rumah danDesa bisa membentuk kelompok sosial mulai dari PKK, Karang Taruna dan kelompok lain yang diberikan tugas untuk mengurusi kelompok rentan yang sendirian di rumah dan tidak bisa beraktifitas normal lagi. Kemudian dana bantuan sosial juga bisa diarahkan untuk pengembangan poskesdes di desa, agar memiliki alat kesehatan dan fasilitas yang lengkap untuk memberi pelayanan maksimal kepada masyarakat secara umum dan kelompok rentan yang ada.

Dengan diserapnya Dana Desa berbasis pemberdayaan masyarakat, kita dapat mengangkat derajat dan tetap bisa membantu memberi manfaat kepada KPM BLTDD hari ini dan kelompok rentan lain, sekaligus menghapus stigma negatif masayarakat terhadap bantuan dan penerimanDengan diserapnya Dana Desa berbasis pemberdayaan masyarakat, kita tetap bisa membantu dan memberi manfaat kepada penerima manfaat BLTDD hari ini dan kelompok rentan lain, dan juga menghapus stigma negatif masayarakat terhadap program bantuan sosial dan peneriman bantuan.

Membangun sinergitas pada seluruh masyarakat desa akan dapat mempercepat pembangunan desa lebih maksimal, menghilangkan dikotomi perpecahan masyarakat akan menghasilkan kerukunan dan kesejahteraan.

Desa yang maju bukanlah desa yang seluruh masyarakatnya berlimpah harta, fasilita umum yang mewah, memiliki Mall, Rumah Sakit, Komplek perhotelan, atau komplek perumahan megah. Desa yang maju adalah desa yang masyarakatnya rukun, saling gotong royong, mengupayakan kesejahteraan bersama dan berorientasi pada kondisi masayarakat dan lingkungan yang sehat, sesuai 18 Tujuan SDGS yang di cetuskan Menteri Desa.



Penulis: Hariz A'Rifa'i

Posting Komentar

0 Komentar