Mattirodeceng: Untuk Kampung Tak Bernama

 


Hari ini warga berpesta. Pesta paling meriah sejak aku berada di sini bersama istri dan anakku. Kampung yang dulunya tak memiliki nama, kini resmi ditetapkan sebagai Desa Persiapan dengan nama Desa Mattirodeceng. Aku bahagia, istriku bahagia, bahkan anakku diarak keliling kampung sebagai bagian dari perayaan. Di tengah kemeriahan pesta, kenangan tentang perjalananku hingga tiba di Desa ini menggenang dengan hebatnya serupa air bah.

***

Sebenarnya aku rindu kembali ke kampung asalku, tempat yang penuh cerita indah masa kecil hingga aku memilih pergi membawa lari perempuan yang kelak aku jadikan istri. Tapi aku sudah cukup nyaman di sini. Meski jauh dari keramaian dan lebih sering tenggelam dalam kegelapan malam, aku telanjur menyukai cara-cara tradisional dan bagaimana orang-orang memperlakukan aku dan keluarga kecilku. Di sini aku menemukan nilai sebagai manusia sesungguhnya. Di kampung ini, aku mendapat banyak pelajaran hidup. Hidupku lebih tenang. Begitu pula istri dan anakku.

Kampung ini belum punya nama, demikian kata Pak Rahim tiga bulan lalu, salah satu tokoh masyarakat di kampung ini. Pak Rahim adalah orang paling berjasa yang membawa aku ke sini. Beliau sekaligus memberiku tempat berteduh yang nyaman dan dijamin keamanannya, terutama untuk istri dan putraku.

“Setiap tempat itu sebenarnya baik, Nak. Yang membuatnya jahat adalah ulah orang-orang kebablasan. Kampung setenang ini pun bisa saja menjadi jahat jika mulai dihuni oleh orang-orang yang tidak tahu cara menjaga.” Kata-kata Pak Rahim masih melekat baik dalam ingatanku. Aku bersama istri dan anakku merasa sangat beruntung bisa mengenal beliau. Sosok yang sangat bijaksana dan disegani. Tatapannya yang teduh membuatku seperti menemukan sosok ayah yang bijaksana.

“Kamu tidak akan pernah menemukan tempat yang tenang selama tidak bisa berdamai dengan diri sendiri dan masa lalu, Nak.” Kalimat Pak Rahim mendadak membuatku menjadi lelaki rapuh yang tidak bisa menahan air mata. Malam itu beliau memeluk erat putraku, bocah berumur 4 tahun yang aku beri nama Baso.

***

Aku mendapati istri dan anakku sedang menangis sambil berpelukan. Wajah anakku pucat pasi dan istriku nampak sangat ketakutan. Pintu belakang terbuka dan sebuah pisau tergeletak di dekat pintu.

“Ada apa, Sumi?” tanyaku. Istriku mencoba menata perasaan sambil mengusap air mata. Ia memelukku erat bersama anakku.

“Aku hampir saja menjadi pembunuh. Aku ingin segera pergi dari rumah ini.” Kalimat Sumi membuatku kebingungan. Aku melepaskan diri dari pelukannya dan melangkah mendekati pintu yang terbuka. Ada bercak darah di gagang pintu.

“Ada apa sebenarnya?” tanyaku lagi.

“Pokoknya besok pagi kita harus tinggalkan rumah ini. Aku tidak ingin tinggal di sini lagi. Aku ingin pergi jauh.”

Aku mencoba menenangkan Sumi dan anakku. Hingga dini hari kami masih terjaga. Tidak ada lagi komunikasi. Sumi belum menjawab pertanyaan yang sejak tadi berkelindan dalam kepalaku. Ia lebih memilih menangis setiap kali aku bertanya. Beruntung anakku bisa tertidur pulas setelah menangis hampir satu jam.

Pagi datang, rasa-rasanya aku dan Sumi tidak pernah benar-benar tidur. Tidak seperti biasanya, pagi-pagi ia justru sibuk mengemasi barang-barang. Ia tidak tertarik membuat sarapan atau sekadar secangkir kopi untukku.

“Kita mau ke mana?” tanyaku.

“Ke mana saja, yang penting bukan ke Sengkang, Palopo, atau Toraja.” jawab Sumi dan seketika air matanya kembali jatuh.

Kami memang tidak mungkin kembali ke Sengkang. Kembali ke sana sama saja cari mati. Aroma masa lalu yang sangat buruk masih melekat di badan kami meski Sumi telah melahirkan seorang anak laki-laki yang sangat tampan. Aku masih takut keluarga Sumi belum rela menerimaku sebagai bagian dari mereka dan aku juga tidak ingin mengorek luka lama yang bahkan sampai hari ini masih terasa sakitnya. Ayahku yang meninggal di tangan ayah Sumi adalah kejahatan terbesar yang pernah aku alami. Tidak ada yang mengadili ayah Sumi, bahkan ia tidak pernah dipenjara atas nama hukum adat. Ayahku mati sia-sia ibarat diseruduk kerbau.

“Lalu kita ke mana? Aku bingung, Dek.”

Aku benar-benar kebingungan. Aku tidak mengerti apa sebenarnya yang telah dialami Sumi sehingga keinginannya untuk meninggalkan kota ini sangat bulat bahkan lebih bulat ketika mengajakku kawin lari.

Masih pagi sekali kami tiba di terminal. Aku menggendong dua tas besar dan Sumi menggendong Baso. Bocah itu mendadak ceria ketika matanya tertuju pada jejeran mobil yang parkir di terminal.

“Mauki ke mana?” Tanya salah seorang sopir minibus dengan aksen khas Ujung Pandang. Mulutku seperti terkunci. Aku benar-benar bingung mau ke mana.

“Ke Soppeng.” Entah dari mana ide itu, Sumi dengan lantang menjawab. Barangkali ia sekadar melihat tulisan yang tertera pada salah satu plang di sisi timur terminal.

“Cocokmi, saya sopir mobil Soppeng.” Balas sopir itu sembari tersenyum dan menuntun kami ke mobilnya. Seketika dua tas besar berpindah ke tangan si sopir. Pelayanannya sebagai sopir cukup bagus. Ia sangat pintar mengambil hati penumpang.

Seorang lelaki paruh baya menyambut kami dalam mobil. Ia tersenyum dan mencoba mengajak Baso untuk bicara. Tidak butuh waktu lama, Baso rela duduk di pangkuan Pak Rahim. Sebenarnya kami tidak enak Baso duduk di pangkuan beliau tapi Pak Rahim terus-terusan meminta Baso agar duduk di pangkuan beliau.

“Tidak apa-apa. Anggap saja sedang dipangku kakeknya.” Seketika air mataku hendak meleleh. Ayah kandungku bahkan tidak pernah melihat cucunya lahir dan tumbuh.

Baso terlihat sangat nyaman duduk di pangkuan Pak Rahim. Ia terlihat asyik memainkan peci Pak Rahim yang sedari tadi sengaja beliau lepas untuk dimainkan Baso.

“Kalian tinggal di Soppeng bagian mana?” Seketika pertanyaan Pak Rahim membuat aku dan Sumi buntu. Kami saling menatap dan tidak bisa memberi jawaban. Sumi tidak bisa membendung air mata.

“Kenapa menangis?” lanjut Pak Rahim. Baso masih asyik bermain di pangkuan beliau.

“Jujur, kami tidak tahu mau ke mana, Pak. Kami tiba-tiba saja memilih Soppeng tapi di sana kami tidak tahu mau menginap di mana. Kami tidak punya keluarga sama sekali.” jawabku sejujur-jujurnya tanpa berusaha menyembunyikan apapun dari Pak Rahim.

“Loh, ada apa sebenarnya?” selidik Pak Rahim.

“Panjang sekali ceritanya, Pak.” Sopir yang sedari tadi fokus pada laju mobil seketika berbalik menatap kami.

“Bagaimana kalau kalian tinggal di rumah saya saja. Kebetulan ada rumahku yang kosong.” Tawaran Pak Rahim seketika menerbitkan harapan dalam diriku. Aku dan Sumi kembali saling tatap. Kami tidak bisa menolak tawaran itu. Ingin sekali kupeluk erat Pak Rahim dalam mobil bahkan Sumi lagi-lagi banjir air mata. Perjalanan selama hampir tujuh jam penuh dengan air mata haru. Baso akhirnya tidur pulas di pangkuan Pak Rahim.

Kami tiba di rumah Pak Rahim dalam keadaan cukup gelap. Tidak seperti suasana Ujung Pandang. Di rumah ini hanya ada cahaya pelita yang baru saja dinyalakan Ibu Hade, istri Pak Rahim. Kami disambut hangat istri Pak Rahim. Tidak ada suara-suara di sekitar selain suara jangkrik dan sesekali terdengar suara burung malam dan musang. Kami sudah tidak asing dengan suara itu. Jauh sebelum tinggal di Ujung Pandang kami sudah sering mendengar suara serupa di Sengkang.

“Malam ini kalian menginap di sini dulu. Besok baru kita ke rumah yang satu.” Pak Rahim memecah hening. Wajah Bu Hade Nampak kebingungan tapi sepertinya enggan bertanya kepada suami beliau.

“Iya, Pak. Sekali lagi terima kasih.” Jawabku sambil mendekap Baso yang sedari tadi gemas ingin meraih api di ujung pelita.

***

Aku meninggalkan pekerjaan di Ujung Pandang sebagai buruh bangunan. Bosku, Heru pasti tidak tahu karena aku tidak sempat memberi tahu sebelum meninggalkan Ujung Pandang. Beruntung, sehari sebelum aku mendapati Sumi dan Baso menangis aku menerima gaji sebagai buruh yang diupah mingguan. Sebenarnya aku berat meninggalkan pekerjaan. Selain memikirkan kebutuhan hidup keluarga, aku risau memikirkan bos yang sangat baik padaku.

Aku merasa bersalah pergi tanpa pamit sebab beliau adalah salah satu orang baik yang banyak membantuku selama di Ujung Pandang. Aku diberi tempat tinggal, rumah yang mestinya disewakan tapi diserahkan kepada kami untuk ditinggali secara cuma-cuma selama kami mau.  Aku seperti tidak tahu berterima kasih tapi entah kenapa Sumi justru menganggap itu biasa-biasa saja bahkan tidak tertarik menemaniku membicarakan Heru yang aku anggap sebagai pahlawan itu.

 

***

Sumi menangis dalam pelukanku. Ia baru saja mengabarkan bahwa dirinya hendak dinikahkan dengan seorang lelaki yang jauh lebih tua darinya. Watak ayahnya yang keras sangat sulit ditentang, bahkan ibunya yang mencoba melindungi Sumi dari perjodohan itu turut mendapat bentakan keras dan ancaman. Puang Emmang, begitu biasa beliau dipanggil. Sebagai Kepala Desa beliau terkenal cukup tegas dan disegani. Orang-orang tunduk kepada beliau. Titah beliau harus selalu dipatuhi, jika tidak, maka bersiap-siaplah menanggung risikonya.

“Kita harus kawin lari.” Ucapan sumi membuatku ternganga. Aku tidak menyangka Sumi akan senekat itu. Ayahnya yang garang rupanya tidak membuat beliau gentar mengajakku kawin lari. Aku tahu kami saling mencintai dan sudah berjanji akan menikahi Sumi tapi lamaranku sebulan lalu jelas-jelas ditolak. Aku paham sebagai keturunan darah biru, ayah Sumi pasti menolak kehadiranku dalam keluarga beliau.

Aku yang hanya rakyat jelata tidak layak bersanding dengan putrinya yang agung lagi cantik memesona. Puang Emmang tentu mencari lelaki yang tepat untuk bersanding dengan Sumi. Bagi beliau umur tidak menjadi persoalan, yang terpenting jelas garis keturunannya sebagai darah biru dengan segala kebaikan; perilaku, harta, dan kedudukannya dalam masyarakat dan lelaki bernama Sanre memiliki semua kriteria itu.

“Kita bisa dibunuh ayahmu, Dek. Aku mencintaimu tapi bukan berarti harus mengambilmu dari keluargamu dengan cara buruk.” Jawabku sembari memeluk Sumi yang masih gemetar.

“Itu artinya kamu tidak benar-benar mencintaiku sebab kamu tidak ingin menyelamatkanku dari perjodohan yang dibuat ayahku.” balas Sumi.

Aku dibuat berpikir keras. Malam itu juga aku mengajaknya pergi dari kampung. Aku hanya membawa beberapa lembar baju sedangkan ia tidak membawa apapun selain pakaian yang melekat di badan serta sebuah kalung, gelang, dan dua buah cincin emas dalam sebuah tas kecil berwarna merah. Sebuah mobil mini bus membawa kami ke Palopo. Pemilik mobil adalah teman dekatku. Setelah kuceritakan baik-baik kepadanya akhirnya ia bersedia mengantar kami ke rumah keluarganya yang biasa mengurusi nikah siri.

Pak Burhan adalah lelaki bertampang sangar namun baik hati. Beliau menampung kami berhari-hari di Palopo sampai suatu hari datang temanku si pemilik mini bus membawa kabar bahwa ayahku meninggal, dibunuh oleh Puang Emmang yang tidak lain ayah Sumi. Aku hancur. Aku menangis di hadapan Pak Burhan dan Sumi. Aku seperti kehilangan tempat berpijak. Konon Puang Emmang merasa dipermalukan lantaran aku membawa lari anak gadisnya. Ayahku dianggap tidak becus mengajari anak lelakinya perkara siri’. Puang Emmang merasa harga dirinya diinjak-injak oleh keluargaku. Jabatannya selaku Kepala Desa dan orang terpandang seolah tidak ada artinya di mata keluargaku dan ayahku harus menanggung semua itu.

Semalam aku tak bisa tidur memikirkan ayah. Bahkan aku tidak pernah mengajak Sumi bicara. Aku tidak tahu kepada siapa aku harus meluapkan kesedihan sekaligus kemarahan.  Esoknya Pak Burhan mencoba menenangkanku dengan beberapa nasihatnya. Rupanya di balik wajahnya yang sangar, beliau menyimpan petuah-petuah bijak.

“Terkadang kita memang harus dihadapkan pada masalah yang lebih besar akibat menyelesaikan masalah yang kita anggap besar. Kau telah menyelamatkan hubunganmu dengan Sumi tapi pada akhirnya kau merasa bersalah besar akibat kematian ayahmu. Tidak mudah memang jika saat ini kau harus memilih antara kembali melihat makam ayahmu atau kehilangan Sumi untuk selamanya bahkan kau bisa kehilangan dirimu, Nak.” Pak Burhan memelukku layaknya seorang ayah memeluk anak lelakinya yang sedang rapuh. Di belakangku terdengar isak tangis Sumi.

“Hal terbaik yang bisa kamu lakukan saat ini adalah menyelamatkan dirimu dan Sumi. Kalian sudah sah sebagai suami istri meski secara hukum negara kalian belum diakui tapi biarkan saja begitu. Besok lusa jika kondisi sudah membaik, bolehlah kalian melapor ke pihak yang berwenang. Yang terpenting kalian dihalalkan agar tidak menjadi dua manusia yang setiap hari melakukan zina.” Aku masih terdiam mendengar kalimat Pak Burhan.

“Kalian boleh tinggal di rumah ini selama kalian mau dan aku jamin kalian aman. Jika ayah Sumi akhirnya tahu persembunyian kalian dan nekat mendatangi rumah ini dan hendak mencelakai kalian maka nyawaku menjadi taruhan. Ia tidak akan pernah menyentuh kalian sebelum melangkahi mayatku.” Hari itu banjir air mata. Air mataku dan air mata Sumi menganak sungai. Pak Burhan memeluk kami. Dua bulan sebelum kami memutuskan ikut tinggal bersama adik Pak Burhan di Toraja dan sebulan kemudian kami pindah ke Ujung Pandang setelah adik Pak Burhan memastikan aku akan mendapat pekerjaan sebagai buruh bangunan ikut bersama adik sepupunya.

***

Kami tiba di Ujung Pandang jam 4 pagi. Kami disambut Heru, adik sepupu Pak Burhan. Rumahnya cukup besar. Ia tinggal bersama istrinya. Empat tahun mereka menikah tapi belum juga dikaruniai anak. Konon, Mariam istrinya pernah keguguran di tahun pertama pernikahan mereka, setelah itu tidak pernah lagi hamil. Heru begitu menyayangi istrinya dan Mariam kelihatan sekali menjadi istri yang bahagia mendampingi suaminya. Rumah mereka bersih terawat. Kami dipersilakan memasuki kamar yang letaknya paling dekat dengan pintu utama.

“Jika kalian suka, kalian boleh selamanya tinggal di rumah ini tapi kalau kurang nyaman kalian boleh memilih rumah kami yang lain, letaknya tidak jauh dari sini.” Seketika aku bersyukur selalu dipertemukan dengan orang baik selama pelarian kami.

Pagi ini Sumi turut membantu Mariam di dapur. Cepat sekali mereka akrab layaknya adik kakak. Aku dan Heru mulai membicarakan soal kerjaan. Beberapa proyek sedang dijalankan dan aku boleh memilih salah satunya.

***

Seorang bayi laki-laki lahir di hari Senin pagi. Aku beri nama Baso Mattirodeceng. Anak kami lahir tepat delapan bulan kami tinggal bersama keluarga Heru. Beberapa bulan sebelumnya kami berencana pindah ke rumah sewa atau tinggal di rumahnya yang satu tapi istri Heru tidak pernah mengizinkan. Sumi juga merasa aman dan nyaman menjalani hari-hari kehamilannya ditemani Mariam. Sumi diperlakukan layaknya adik perempuan oleh Mariam. Mariam juga tidak rela ditinggalkan. Bahkan suatu hari ia menangis lantaran kami mengabarkan akan pindah. Ia tidak membiarkan Sumi pergi, apalagi dalam keadaan mengandung.

Heru dan Mariam turut gembira menyambut kelahiran anak kami. Lagi-lagi aku dibuat terharu oleh kebaikan orang-orang sekeliling. Mariam bahkan belanja perlengkapan Baso tanpa sepengetahuan kami.  

Seminggu kelahiran Baso, Heru dan Mariam mengadakan akikah sebagai wujud rasa syukur. Kami sama sekali tidak dibiarkan mengeluarkan biaya sepeser pun. Baso mendapat banyak bingkisan dari teman-teman Heru dan Mariam. Setiap orang yang melihat wajah Baso pasti memuji wajahnya yang gagah. Ia mewarisi wajah Sumi tapi tetap tidak melupakan wajahku yang juga tidak bisa dikatakan buruk untuk bersanding bersama ibunya yang berdarah biru.

***

Rumah Pak Rahim tidak terlalu besar. Sebuah ruang yang kami sebut kamar berdinding kain putih berbahan cukup tebal. Dinding rumahnya dari gedek bambu di bagian paling belakang ada dapur sederhana berisi tungku dan kayu bakar. Kami tidak kaget dengan suasananya. Kami sudah sering melihatnya di Sengkang.

“Semoga kalian suka tinggal di sini.” Ucap Pak Rahim sembari menggendong Baso yang sedang asyik makan kerupuk.

“Insya Allah, Pak. Kami sangat berterima kasih untuk semuanya.” Jawab Sumi. Aku sibuk membereskan barang-barang. Merapikan tas dan segala perlengkapan Baso.

“Jika butuh apa-apa jangan sungkan untuk bilang ya.” Aku dan Sumi kompak mengiyakan. Pak Rahim sungguh baik sama kami. Baru kemarin kami tiba di kampung ini tapi kami sudah diperlakukan layaknya anak sendiri.

Kedatangan kami rupanya sudah banyak diketahui warga sekitar. Puluhan orang tiba-tiba datang hendak membantu kami membersihkan dan membereskan rumah Pak Rahim. Sebagian mencabuti rumput, sebagian merapikan barang-barang di kolong rumah, sebagian lagi membantu kami mengangkat air, mengisi semua ember dan baskom yang telah disiapkan Pak Rahim. Di kampung ini kami benar-benar menemukan keluarga baru. Baso yang sedang lucu-lucunya menjadi rebutan ibu-ibu dan anak remaja.

***

Setelah melewati perdebatan panjang dan tawar menawar, akhirnya Heru dan Mariam merelakan kami pindah ke rumahnya yang lain. Baso berusia 6 bulan. Mereka mengantar kami bersama segala perabotan yang memenuhi mobil pick up milik mereka. Mariam menangis ketika ia harus melepas Baso dari gendongan dan menyerahkan kepada Sumi.

Rumah mereka benar-benar diserahkan kepada kami. Kami tinggali layaknya rumah sendiri. Setiap saat mereka berkunjung ibarat mengunjungi adik mereka sambil membawa apa saja, terutama mainan untuk Baso. Setiap kali kami merasa membebani mereka, setiap kali pula mereka merasa bahagia bisa memiliki kami.

Tidak seperti Heru dan Mariam. Di rumah baru ini, kami mendapati tetangga yang sepertinya tidak tahu cara bergaul. Awalnya aku pikir kami yang terlalu kaku dan tidak tahu cara bergaul dengan mereka tapi pada akhirnya aku paham bahwa merekalah yang tidak peduli dengan kehadiran tetangga. Kami kembali seperti orang asing. Saat aku berangkat kerja, Sumi dan Baso lebih banyak mengurung diri di rumah. Beruntung Mariam rajin membawa bahan bacaan untuk Sumi, mungkin karena ia tahu Sumi akan kesepian. Terkadang ketika Sumi benar-benar jenuh, ia memilih ke rumah Mariam, di sana ia akan menungguku pulang kerja.

***

Sengkang dihebohkan oleh kematian Ibu mertuaku, Ibunya Sumi. Kabar kematiannya kami dengar melalui radio. Sebagai orang penting, sudah barang tentu kematian beliau disiarkan agar keluarga, sahabat, dan seluruh orang yang mengenal beliau bisa tahu. Sumi meraung-raung di kamar diikuti tangis Baso yang kaget melihat ibunya menangis demikian hebatnya. Aku berusaha menenangkan Sumi tapi tidak berhasil. Aku paham yang sedang ia rasakan, barangkali sama persis yang aku rasakan ketika ayahku meninggal dan aku tidak bisa melihat wajah beliau untuk terakhir kalinya.

Aku sempat mengajak Sumi pulang ke Sengkang tiga hari setelah ibunya meninggal tapi Heru melarang kami dengan pertimbangan kami belum “maddeceng”. Sejak kami lari meninggalkan Sengkang kami belum pernah kembali untuk melangsungkan pernikahan sebagaimana yang diingini oleh keluarga besar kami, terutama pihak keluarga Sumi. Di mata keluarga besar Sumi, aku tetaplah lelaki bajingan yang membawa lari anak gadis kepala desa yang notabene seorang bangsawan. Ayahku telah menjadi korban atas kebiadabanku dan itu belum selesai sebelum aku datang baik-baik menghadap, meminta maaf, dan mengakui kesalahan. Tapi kata Heru, itu tidak akan menjamin aku dan Sumi akan selamat.

Tapi aku punya keyakinan kuat bahwa dengan melihat Baso, cucu beliau yang manis, tampan, dan menggemaskan pasti hati yang sekeras batu akan mencair. Beliau akan luluh dan menerima kami sebagai bagian dari keluarga. Heru tidak pernah yakin dan bersikeras melarang kami kembali ke Sengkang. Sumi tidak masalah sebab ia sependapat dengan Heru. Justru aku yang ngotot untuk memanfaatkan momen duka atas kematian ibunya untuk datang sekaligus mencoba memperbaiki hubungan yang sebenarnya sudah kacau balau. Aku sangat yakin, apalagi dengan kehadiran Baso sudah pasti ayah Sumi beserta saudara-saudaranya akan luluh dan memberi kami tempat di rumah beliau. Rupanya Sumi semakin dikuatkan oleh berbagai pertimbangan Heru. Aku tidak bisa berbuat apa-apa.

“Aku tidak ingin kehilangan kamu dan Baso. Jika aku kehilangan kalian, siapa lagi yang mencintaiku di dunia ini?” ucapan Sumi membuat segalanya redam. Keinginan untuk berkunjung ke Sengkang seketika padam. Aku hanya diam sembari memeluk Baso. Barangkali Sumi tidak tahu bahwa aku lebih takut lagi kehilangan dia dan Baso. Mereka adalah alasan terbesarku bertahan hingga hari ini.

***

Pak Rahim membuat semacam pesta kecil-kecilan atas kepindahan kami. Tujuh ekor ayam kampung dipotong dan dimasak sedemikian rupa. Puluhan ekor ikan hasil tangkapan warga di sungai turut dikumpulkan. Malam itu kami sungguh berbahagia. Rumah sangat ramai dengan kehadiran para tetangga. Para tetua kampung lebih banyak bercengkerama dengan Pak Rahim, ibu-ibu sibuk memasak di dapur sedangkan para pemuda mendapat tugas membakar ikan hasil tangkapan mereka.

Meski hanya mengandalkan pencahayaan dari obor, semua yang datang sangat menikmati. Setelah acara makan-makan, dilanjutkan dengan permainan domino. Pak Rahim mengarahkan setiap laki-laki yang hendak bermain domino agar mengambil tempat di atas beberapa lembar tikar daun lontar yang telah digelar. Sementara itu para perempuan sibuk membuat pisang goreng, sebagian lagi menjerang air untuk membuat kopi. Aroma kopi merebak memenuhi seisi rumah. Konon kopi itu dipetik langsung dari kebun Pak Rahim selanjutnya dikeringkan dan diolah hingga menjadi kopi bubuk oleh istri beliau. Acara berlangsung meriah hingga dini hari. Sebagian pemuda menginap di rumah begitu pula ibu-ibu dan anak kecil.

***

Pagi itu tiba-tiba Sumi memintaku agar izin tidak masuk kantor. Baso sedang sakit. Sejak tengah malam badannya hangat dan ia lebih rewel dari biasanya. Aku bergegas ke rumah Heru, beruntung ia masih di rumah dan sedang bersiap-siap menuju lokasi proyek. Mariam agak kaget ketika aku beritahu kondisi Baso. Seketika wajahnya berubah layaknya seorang ibu yang tengah mendapat kabar kurang enak tentang anaknya.

“Cuma demam biasa kok. Tidak usah terlalu khawatir.” Aku coba menenangkan Mariam.

Setiap kali mendapat perhatian luar biasa dari orang-orang sekitar, seketika itu pula aku merindukan Ayah dan Ibu. Seharusnya hari ini mereka turut bahagia dengan kehadiran Baso. Aku seringkali membayangkan Ibu sedang menidurkan Baso dalam ayunan sambil mendendangkan lagu berbahasa Bugis yang sarat makna berupa doa-doa baik sebagaimana yang sering beliau nyanyikan untukku di masa kecil. Aku juga sering membayangkan Ayah menggendong Baso sembari memberi makan burung perkutut peliharaan beliau, atau memberi makan puluhan ayam di kandang belakang rumah.

Ibu adalah perempuan paling hebat yang pernah aku kenal. Beliau selalu punya cara untuk menciptakan kebahagiaan di dalam rumah. Didampingi oleh Ayah yang menurutku luar biasa. Ayah adalah lelaki paling sabar dan bijak yang pernah aku kenal. Tidak sekalipun aku dengar ayah mengeluarkan kata-kata kasar untukku apalagi kepada Ibu. Ketika Ibu marah, maka Ayah selalu memiliki cara untuk meredam.

Suatu hari aku kembali ke rumah dengan pakaian kotor setelah bermain bersama teman di lapangan selepas hujan deras. Aku pikir Ayah akan marah besar, rupanya aku salah. Beliau justru menuntunku baik-baik ke sumur, menimba air dan memandikanku hingga benar-benar bersih. Setelah itu Ibu membuat teh hangat untukku, merebus telur lalu mengajakku makan.

Entah kenapa perhatian Heru dan Mariam kepada kami lebih sering membawa ingatanku terbang jauh ke pelosok Sengkang. Aku mengenang rumah masa kecil yang kini tidak lagi ditempati siapa-siapa. Aku sibuk mengenang Ayah dan Ibu yang mengajariku banyak hal, selalu memberi perhatian dan kasih sayang yang cukup untuk membuatku bahagia dan selalu bangga menjadi putra tunggal mereka.

Mariam hanya bisa menitip obat untuk Baso karena ia tidak bisa meningalkan rumah setelah suaminya berangkat kerja. Sebenarnya ia ingin sekali ikut bersamaku tapi rupanya masih banyak kerjaan rumah yang harus diselesaikan.

Aku kembali ke rumah dan mendapati Baso sedang menangis meraung-raung. Tidak biasanya ia menangis seperti ini. Beruntung setelah pindah ke gendonganku, ia lebih tenang. Aku pikir ia memang rindu aku dekap seperti saat ini. Aku jarang melakukannya semenjak lebih sering lembur. Sebagai buruh bangunan, aku bisa pulang jam 5 sore tapi aku lebih sering lanjut membantu Heru menyelesaikan pekerjaannya di kantor hingga jam 10 malam. Aku lebih sering kembali ke rumah setelah Baso tidur pulas. Pagi-pagi biasanya ia masih lelap sementara aku sudah harus berangkat. Aku selalu berusaha menunjukkan prestasi kerja kepada Heru. Aku tidak ingin dianggap tidak becus apalagi dicap gagal. Heru terlalu banyak memberi fasilitas, bahkan ia berjanji akan memberiku sepeda motor awal tahun depan.

Sore hari, kondisi Baso jauh lebih baik saat Mariam datang membawa sekeranjang makanan ringan. Baso bahkan sempat tidur dalam gendongan Mariam. “Mungkin ia sedang rindu pada Ibu Yam.” Baso selalu memanggil Mariam dengan panggilan Ibu Yam dan Bapak Elu kepada Heru. Heru dan Mariam sudah memiliki hubungan emosional yang cukup kuat dengan Baso.

***

Sore ini bersama Pak Rahim, aku coba membujuk Sumi untuk bercerita tentang apa yang ia alami sehingga memaksa kami meninggalkan Ujung Pandang. Setelah beberapa hari menyatakan belum siap, hari ini saya berharap ia siap menceritakan sedetail-detailnya, bahkan untuk sesuatu yang pahit.

“Aku tidak ingin hubunganmu dengan Heru jadi rusak.” Seketika darahku berdesir ketika Sumi menyebut nama Heru.

“Ada apa sebenarnya, Dek?” desakku. Pak Rahim menepuk bahuku pertanda memintaku untuk lebih bersabar menghadapi Sumi.

“Aku hampir diperkosa Heru sore itu. Untung aku bisa melawan dan berhasil meraih pisau di dapur. Aku terpaksa melukai sebelum ia kabur lewat pintu belakang karena ketakutan melihatku memegang pisau.” Seketika air mata Sumi menetes.

“Sebenarnya bukan cuma sekali itu ia mendatangiku saat kamu berangkat kerja. Berkali-kali sebelumnya ia datang. Awalnya aku terima sebagaimana aku menyambut saudara. Apalagi aku juga sadar bahwa rumah yang kami tempati adalah rumahnya. Tapi pada kedatanggannya yang ketiga kali aku mulai membaca gelagat yang aneh. Tatapan matanya tidak seperti biasanya. Puncaknya hari itu, ia datang dengan mengenakan celana pendek. Aku semakin curiga.

Awalnya ia coba mengajakku berbasa-basi tapi tiba-tiba ia memelukku dari belakang. Aku berusaha berteriak tapi mulutku dibekap. Sekuat tenaga aku melawan sampai akhirnya aku berhasil meraih pisau dan menyabet lengannya. Karena kesakitan akhirnya ia melepasku dan ia berlari keluar lewat pintu belakang. Andai aku tidak memikirkan Baso, mungkin sudah aku bunuh lelaki bajingan itu.” Tangis Sumi semakin pecah. Aku memeluknya.

Aku tidak pernah menyangka Heru bisa berbuat seperti itu. Selama ini aku anggap sebagai saudara yang sudah sangat baik kepada kami, rupanya ia menyimpat niat busuk. Aku marah, bahkan sangat marah.

“Kenapa kamu tidak cerita hari itu juga, Dek?”

“Aku takut kamu khilaf dan membunuh Heru.” jawab Sumi dengan bibir gemetar.

Tiba-tiba aku turut menangis. Emosiku sudah di ubun-ubun. Ingin sekali aku pecahkan kepala Heru. Orang yang selama ini aku sanjung-sanjung rupanya menjadi musuh dalam selimut. Selama ini ia yang selalu menasihatiku agar menjaga Sumi. Tidak jarang ia datang ke rumah di malam hari sekadar silaturahmi lalu menyampaikan nasihat agar kami saling menjaga.

Aku tidak mengerti iblis dari mana yang menggodanya sehingga demikian bejatnya berlaku seperti itu kepada Sumi. Perempuan yang katanya sudah ia anggap sebagai adik sendiri. Heru memberi kami berbagai fasilitas, termasuk rumah beserta segala perabotnya. Kami seharusnya menjadi manusia yang paling hormat kepadanya tapi seketika menggugurkan segala rasa hormat itu. Kami yang selalu menyanjungnya tapi rupanya di tengah segala sanjungan itu ia justru menyimpan niat busuk.

Selama ini aku dan Sumi justru berharap ia menjadi pelindung sebagaimana yang aku sampaikan saat pertama kali tiba di rumahnya hari itu. Aku sama sekali tidak pernah menemukan kejahatan dalam sorot matanya, begitu pula pada tutur katanya. Aku justru melihatnya sebagai sosok malaikat yang dikirim Tuhan dari surga untuk menyelamatkan dua manusia yang tengah tersesat. Sungguh aku kecewa dan marah kepada Heru.

“Sudahlah, Nak. Setidaknya sekarang semua sudah jelas dan kalian sudah lebih aman tinggal di sini meski dengan fasilitas serba terbatas.” Sekali lagi Pak Rahim menepuk halus bahuku.

“Bapak berharap semoga kekecewaan kalian kepada Heru tidak lantas membuat kalian kehilangan rasa percaya kepada orang tua ini.” Lanjut Pak Rahim sembari menunduk. Sumi tiba-tiba menghambur memeluk Pak Rahim dan menangis sejadi-jadinya.

“Saat ini kami menggantungkan hidup kepada Bapak. Kami tidak punya siapa-siapa lagi selain Bapak.” ucap Sumi di antara tangisnya.

“Semoga rumah kecil ini bisa memberi kalian rasa aman. Persoalan nyamannya silakan kalian ciptakan sendiri. Toh, rasa nyaman itu lahir dari sini.” Pak Rahim meletakkan telunjuk di dada dengan tatapan yang sangat teduh.

“Rumah ini mungkin terlihat kecil, Pak tapi jiwa Bapak yang begitu besar membuat kami merasa lapang berada di dalamnya. Kebaikan hati Bapak telah menjadikan rumah ini terasa sangat nyaman. Bahkan jauh lebih nyaman dari yang orang lain pikir.” Sekali lagi Sumi memeluk erat Pak Rahim.

***

Malam ini secara tuntas aku dan Sumi bercerita kepada Pak Rahim. Perjalanan hidup kami yang penuh liku sempat membuat beliau geleng-geleng bahkan ada momen dimana beliau terharu hingga menitikkan air mata. Setelah 3 bulan kami di kampung ini, aku dan Sumi baru diberi kekuatan penuh untuk bercerita. Pak Rahim dan istri juga sangat baik. Mereka tidak pernah sekalipun memaksa untuk menceritakan masa lalu kami. Akulah yang justru selalu mengajak Sumi untuk menceritakan semuanya. Aku paham bahwa beberapa kejadian di masa lalu membuat Sumi trauma untuk buru-buru percaya kepada orang lain. Tapi Pak Rahim berbeda. Beliau tidak sekadar muncul sebagai lelaki penyelamat tapi menjelma orang tua bagi kami. Ayah bagi aku dan Sumi dan kakek terbaik bagi Baso.

Barangkali karena kesibukan Pak Rahim bersama warga lainnya mempersiapkan segala hal jelang penetapan kampung ini sebagai Desa Persiapan sehingga sebagian besar waktu dan pemikiran beliau tersita ke sana. Beliau jadi lupa mencecar kami dengan pertanyaan-pertanyaan seputar perjalanan kami hingga akhirnya terdampar di kampung ini. Hingga malam ini beliau baru memiliki waktu yang cukup lowong untuk menemani kami menikmati kopi di teras sembari bertukar cerita apa saja.

Pak Rahim adalah pencerita yang baik. Ada berbagai cerita yang beliau sajikan malam ini sebelum aku mengambil alih peran sebagai pencerita. Cerita-cerita rakyat hingga fabel disajikan dengan baik. Sesekali diselipkan kisah lucu yang berhasil membuat aku dan Sumi terbahak di tengah remang cahaya pelita dan suara jangkrik dari belakang rumah. Baso yang sedari tadi tertidur pulas dalam sarung Pak Rahim nampaknya menemukan tempat ternyamannya. Seringkali aku dan Sumi merasa tidak enak, sungkan atau semacamnya kepada Pak Rahim akibat ulah Baso tapi beliau justru sangat menikmati kedekatan itu.

“Kalian tidak pernah paham bagaimana perasaan orang tua ini yang dulu pernah memiliki anak dan cucu yang sangat manis tapi semuanya hilang ketika kampung ini dimasuki orang-orang yang menamai diri mereka sebagai gerilya.” Mata Pak Rahim berkaca-kaca. Ini untuk pertama kalinya aku melihat beliau menjadi lelaki yang rapuh oleh kenangan.

Akhirnya aku paham kenapa beliau begitu menyayangi Baso bahkan sejak pertama kali kami bertemu. Beliau benar-benar hadir sebagai kakek untuk Baso. Aku jadi ingat kejadian tempo hari, aku mendapat semburan wejangan pedas lantaran Baso jatuh dari tangga rumah kami. Baso juga sepertinya talah merasakan simpul itu dalam dirinya. Ia tidak pernah rewel ketika harus dibawa Pak Rahim menginap di rumah beliau. Baso tumbuh dengan sangat bahagia dan cerdas. Bahkan Baso seketika menjadi idola warga kampung ini. Setiap hari ada saja yang mencari Baso. Baso yang kecil, lucu, dan lincah tidak akan menolak ketika diajak warga kampung untuk mandi di sungai, atau bermain-main di kebun sembari makan singkong bakar. 

Aku merasa jauh lebih lega setelah menceritakan semua kepada Pak Rahim. Hebatnya, beliau adalah orang tua yang bijak. Beliau menjadi pendengar yang baik dan sama sekali tidak pernah menghakimi. Sepanjang aku bercerita aku melihat beliau menyimak sebaik-baiknya.

“Sejauh ini, apa kalian tidak pernah berpikir untuk kembali ke Sengkang walau sekadar menjenguk keluarga di sana?” Pertanyaan Pak Rahim seperti menusuk jauh ke dalam diriku dan aku yakin Sumi juga demikian. Kenangan tentang Ayah dan Ibu seketika menggenang. Aku benar-benar rindu, walau sekadar kembali mengunjungi pusara mereka. Aku ingin membawa Baso ke sana, barangkali dari alam sana mereka bisa menyaksikan buah cinta kami. Bahwa aku benar-benar telah menjadi lelaki yang bertanggung jawab. Pak Rahim bahkan menawarkan diri untuk menemani kami jika memang punya keinginan untuk ke Sengkang tapi aku dan Sumi masih perlu mengumpulkan keberanian. Mungkin suatu hari kami akan kembali ke Sengkang meski kami harus kembali sebagai orang asing.

Selepas bercerita, Pak Rahim menatap lekat-lekat wajah Baso. Sesaat kemudian beliau membaca semacam mantra lalu ditiupkan pada ubun-ubun Baso yang masih tertidur pulas. Aku dan Sumi saling berpandangan. Kami benar-benar menemukan seorang Ayah.

“Boleh aku namai kampung ini sebagai Desa Mattirodeceng?” Seketika pertanyaan Pak Rahim membuat aku dan Sumi kaget. Kami tidak menyangka beliau sedalam itu mencintai Baso sehingga merasa perlu menamai kampung ini sama seperti nama belakang anak kami. Pak Rahim menatap kami lekat-lekat, beliau bisa membaca perasaan kami.

“Maaf, Pak. Kenapa harus mengambil dari nama Baso? Bukannya kami tidak setuju tapi apakah itu tidak berlebihan. Siapa tahu ada nama lain yang lebih disukai warga.” ucapku seraya membenarkan duduk yang sebenarnya baik-baik saja.

“Aku sudah bicarakan ini bersama warga sejak beberapa hari lalu dan mereka setuju. Mereka setuju bukan karena aku yang mengusulkan tapi karena mereka memang menyukai nama itu, terlebih mereka mencintai Baso sebagai anak kecil yang membawa banyak kebaikan di kampung ini.” Mendengar ucapan Pak Rahim, lagi-lagi membuat aku sibuk membendung air mata, bahkan pipi Sumi sudah basah.

“Besok akan aku umumkan secara resmi kepada warga bahwa kampung ini akan kita namai Desa Mattirodeceng. Semoga nama itu menjadi semacam doa agar kampung ini senantiasa dikaruniai segala bentuk kebaikan.” Aku dan Sumi kembali berpelukan. Baso semakin lelap tertidur dalam sarung Pak Rahim.

 

 

Penulis: Asriadi

Posting Komentar

0 Komentar