Berkat BLT, Membawa Secercah Harapan

 


Hari yang cerah pagi itu masih menyisakan beberapa desa menyalurkan BLT Dana Desa ke KPM. Kami berkumpul di sudut kecamatan sebuah ruangan kecil yang cukup untuk kami bertujuh berkumpul. Tahun dimana virus Covid masih menjadi momok di beberapa wilayah pendampingan kami. Sehingga kami pun masih waspada menggunakan masker dalam keseharian bertugas di lapangan. “Hari ini banyak yang akan salur BLT ke KPM, jadwal pendampingan hari ini kita bagi ya, agar kita dapat mendampingi semua penyaluran dan juga progres kegiatan lainnya” celetuk rekan kerjaku memastikan kita semua siap mendampingi.

Mbak Desi ini sangat tegas, cekatan dan gesit orangnya. Jadwal kami adalah pendampingan penyaluran BLT Dana Desa. Sambil mengingatkan aku pun menambahkan, “Kita semua masih ada beberapa pendampingan yang belum diselesaikan. Bumdes masih harus diverifikasi dan daftar nama serta badan hukum, MonevDD belum dikerjakan maksimal. Masih ada ajuan Dana Desa tahap 2 yang belum cair, karena masih ada kendala pelaporan Dana Desa tahap 1 belum mencukupi penyerapan 50%.”. “Langkah kita bagaimana mbak?” Tanya PLDku Mbak Fina. “Kita fokuskan dulu salur BLT pagi ini dan bisa segera kita laporkan yang sudah salur, kemudian update Sipede. Untuk Bumdes kita koordinasikan bagi desa dan pengurus yang siap kita dampingi, selain itu juga kita sosialisasikan dulu langkah-langkahnya ke Pemdes dan pengurus Bumdes.” balasku. “Fokus yang sudah mau melaksanakan salur saja dulu. Yuk segera bersiap kita langsung ke lokasi untuk pendampingan salur BLT DD”, ajak mb Desi dengan suara lantangnya.

Kali ini aku ke lokasi bersama dengan Mbak Juni PLDku, penyaluran BLT Dana Desa ada yang dilakukan door to door bersama Pak Kades, Pak Babinsa dan tentunya dengan Pak Bendahara. Mungkin karena yang bersangkutan sudah lansia maupun sakit. Kami pun berbagi tim agar segera selesai penyalurannnya. Dengan mengambil sepeda kami menuju tempat tujuan kami masing-masing. Saat itu aku bersama Pak Bendahara menuju salah satu KPM. Aku mengikutinya dan perjalanan dari kantor desa menuju sebuah dusun yang letaknya agak lumayan jauh. Melewati jalan desa yang sudah tercor dengan mulus, kemudian memasuki jalan kecil dengan pemandangan kanan kiri penuh pepohonan tinggi dan terlihat sepanjang jalan adalah hutan.

Dari kejauhan terlihat seorang simbah-simbah tua yang sedang mencari kayu di dalam hutan rindang nan sejuk. Dia berjalan dengan langkah pelan-pelan dan membungkuk karena terlihat sudah rapuh. Penuh dengan kegigihan menemukan potongan-potongan kayu. “Assalamualaikum mbah”, salam Pak Bendahara berteriak dari kejauhan. ”Nek ra banter mbahe ora krungu mbak,” tambah Pak Bendahara kepadaku. (Kalau tidak berteriak keras simbahnya tidak dengar).

Wajahnya berkerut karena memang sudah tua renta. Rambutnya pun sudah penuh dengan uban. Pak Bendahara sepertinya sudah akrab dengan simbah tersebut. Kemudian simbah mengajak kami kerumahnya yang tidak jauh dari tempatnya mengumpulkan kayu. Terlihat jelas senyum bahagianya ada tamu yang mendatanginya. Simbah membukakan pintu rumahnya yang kecil. Ku amati rumah gubuknya penuh dengan tumpukan kayu bakar, ku lihat sebuah tungku kecil dengan api yang masih hangat. Simbah tinggal dengan istrinya yang sakit dan terbaring dikasur. Raut mukanya terlihat lelah, beban yang berat tetapi seolah tidak peduli demi istrinya tercinta.

Monggo mas mbak, ajeng pripun?” (Silahkan, mas mbak, Ada apa?), jawab kakek itu mempersilahkan kami duduk dibawah lantai bertikar selembar banner bekas. Pak Bendahara menjawab, “Ngenten mbah, niki enten arto BLT Dana Desa kagem simbah, jumlahe tigang ngatus nggeh mbah” (Begini mbah, ini ada uang BLT dana desa untuk simbah sebesar Rp 300.000,-). “Nyuwun tapak asma ting mriki” (Minta tanda tangan disini) lanjut Pak Bendahara. Pinta Pak Bendahara sambil menyodorkan kertas dan bolpoin. Simbah terlihat kebingungan. Lalu kutanya, “Pripun mbah? Niki artane kagem kebutuhan pokok simbah tumbas sembako nggeh” (Bagaimana mbah, uang ini untuk kebutuhan kakek membeli sembako). Simbah itu masih diam saja dan bengong. Kemudian Simbah berkata lagi padaku; “Kulo niku mboten saged tanda tangan niku mas. Terus pripun?”(Saya tidak bisa tangan mas. Terus bagaimana?). “Oalah, sekedap mbah jenengan cap jempol mawon. Kulo bukake bantalan stempel niki” (Oalah, sebentar simbah pakai cap jempol saja. Saya bukakan bantalan stempel). Jawab Pak Bendahara untung saja dia bawa bantalan stempel.

Ternyata simbah bingung karena tidak bisa tanda tangan. Setelah menerima BLT, simbah tersebut menangis kemudian berkata kepada kami dengan suara terbata-bata, “Matur suwun mas, matur suwun mbak mugi-mugi artane manfaat, niki manfaat sanget kagem tumbas beras” (Terima kasih pak lurah mas mbak mudah-mudahan uangnya bermanfaat, uang ini sangat bermanfaat untuk membeli beras) ucap simbah. Ada yang membuatku terharu pada saat itu, saat simbah berkata ”Saged damel maem kulo kaleh tiyang estri niki” (Untuk makan saya dan istri saya) ucapnya dengan mata berkaca-kaca. “Sami-sami mbah, ini karena dampak corona dados angsal bantuan” (Sama-sama mbah, ini karena dampak corona jadi dapat bantuan), lugas Pak Bendahara ke simbah. “Matursuwun kagem mbak corona nggeh mbak.” (Terima kasih buat mbak corona) lanjut simbah menimpali. “Astagfirullah” aku dan Pak Bendahara pun terkaget.

Kami langsung saling berpandangan, ingin tertawa tapi takut dosa karena simbah itu mengatakan dengan tulus dan memang tidak tahu. Akhirnya kami pun menjelaskan, “Niki bantuan saking pemerintah mbah lewat kementrian desa, karena niki enten penyakit virus corona sanes asmane corona. Nggeh mugi manfaat ya mbah, virus coronane ojo nganti tekan desane dewe.” (Ini bantuan dari pemerintah melalui kementrian desa, karena adanya penyakit berasal dari virus corona bukan karena namanya corona. Semoga bermanfaat, virus coronanya jangan sampai di desa kita.”, “Oalah, nggeh mas. Amiinnnn….” lanjut simbah mengamini.

Si kakek membuatku masih terngiang selama perjalanan pulang. Terkadang hal kecil yang kita anggap biasa dapat memberikan arti yang luar biasa untuk orang lain. Aku semakin bersyukur bahwa berbuat baik tidaklah perlu selalu diperlihatkan, yang penting kita tetap bahagia melakukannya. Meskipun usianya telah mencapai puncaknya, semangat dan kegigihannya untuk memberikan yang terbaik bagi orang yang dicintainya sangat mengharukan. Melalui dana desa memberikan harapan untuk hidup lebih layak bagi orang-orang yang membutuhkan. Aku yakin diluaran sana banyak pemberdaya desa menemukan orang-orang pinggiran, orang lemah, tak berdaya, kelompok rentan maupun minoritas atau pun kalangan tidak mampu yang memang pantas untuk dibantu melalui dana desa.

Sebagai seorang pemberdaya, sebuah proses sangatlah berarti. Karena tidak hanya yang terlihat secara fisik tetapi pembangunan manusianya menjadi lebih berdaya. Keikhlasan dalam pendampinganpun selalu diuji. Banyak sekali tantangan dan halangannya saat bertugas di lokasi tugas. Tetapi semua itu akan hilang ketika lelah ini terbukti melihat perubahan dari tahun ke tahun progres pembangunan di desa. Walaupun belum sempurna tetapi setiap tahunnya selalu berprogres lebih baik. Tujuan pemberdayaan berkelanjutan dari tahun ke tahun memberikan manfaat besar bagi semua lapisan masyarakat di desa baik dalam bentuk sarana prasarana dan non sarpras.

Mulai dari transparansi APBDes dan laporan realisasi APBDes sebelumnya sudah mulai terbuka dengan adanya poster-poster besar yang dapat terlihat oleh semua kalangan masyarakat. Kegiatan-kegiatan mulai terarah dan terencana mulai dari tingkat RT, Dusun, dan Desa kemudian dilaksanakannya Musrembangdesa. Kegiatan pemberdayaan mulai digiatkan. Pelatihan-pelatihan kader desa, keterampilan, seni budaya dan pembinaan-pembinaan kelembagaan dan masih banyak lainnya. Semua itu butuh proses, karena pemberdayaan itu tak semudah membalikkan telapak tangan. Sampai akhirnya aku kembali ke kantor kecamatan, dan suasana sore itu terasa nyaman dan melelahkan. Tanpa kusadari aku tertidur di ruang pendamping.

“Mbak tangi mbak, mbakkkkk mbakkkk tangi mbak….”. Suara mbah-mbah berbisik di telingaku yang membuatku terbangun. Aku berdiri dan mataku langsung terbelalak melihat jam dinding di ruang pendamping dengan jarum pendek jam 6 dan jarum panjang jam 12. Aku melihat-lihat disekelilingku, tak terlihat sosok fisik satupun disitu. Merinding mulai terasa, kuusap-usap leher belakangku makin terasa dingin dan mulai tersadarlah jiwa dan ragaku. Lalu kira-kira siapa yang berbisik membangunkanku tadi ya. “Huaaaaaaaa………”, teriakku sambil lari keluar dari ruangan pendamping yang sudah mulai gelap.

 

 

Penulis: Asalia Anggraeni

Posting Komentar

0 Komentar