Stasiun Terakhir Manchester


Pada akhir bulan November 2023 lalu, saya dan suami berada di United Kingdom. Kehadiran kami untuk menyaksikan wisuda master anak nomor dua, Icha, di Glasgow University pada 28 November 2023. Dua hari kemudian kami harus bergeser ke tempat lain. Saya dan pak suami menaiki kereta intercity, Glasgow - Manchester. Perjalanan malam selama empat jam, bisa jadi sama dengan perjalanan 6 jam Jakarta - Jogja. 

Kami aman duduk kelas bisnis, seharga kelas luxury paling baru kereta api Indonesia. Mendapat layanan minuman yang bisa kami pilih, teh, kopi atau soft drink. Juga ada snack berupa kripik kentang. Kami tidak terlalu memikirkan mau dapat apa. Yang kami pikirkan selama perjalanan itu adalah, cara mencari taxi online menuju hotel transit. Selama bepergian musim dingin di UK, anak gadis kami yang mengurus semua. Dan kami biasanya naik transportasi masal, bis atau tube. Malam itu, kami hanya berdua harus bisa mengatasi semua urusan, sendiri.

Kami sampai di stasiun terakhir di bandara Manchester, hampir tengah malam. Sangat sedikit penumpang yang turun di stasiun itu. Suami saya menggeret 2 kopor besar, saya bagian menarik kopor kabin. Suhu minus 6 derajat ketika kami tiba di stasiun yang tidak ada siapa-siapa. Kami melangkah ragu. Mencari pintu ke luar. Membaca tanda-tanda yang tertangkap mata. Tetapi sebelum menemukan arah exit, mencari tanda ke luar pun sulit. Mau bertanya, tidak ada sesiapa pun. Tiba-tiba ada seorang perempuan, sendiri, tergesa-gesa berjalan. Tertatih-tatih kami mengejarnya. Dari cara berjalannya, pasti dia paham tempat itu. Kami hendak bertanya di mana pintu ke luar. 

Kami bergegas, dengan kopor-kopor besar kami, takut kehilangan satu-satunya manusia untuk bertanya. Dan kami gagal mendekatinya. Dia sangat terburu-buru, setengah berlari, sambil merapatkan jaketnya. Begitu sudah dekat, tanpa menoleh sedikitpun pada kami, dia sudah melompat masuk ke dalam bis yang juga langsung melaju. Kami kehilangannya. Nyaris seperti kehilangan harapan. Sejurus kemudian kami sadar, kami telah berada di luar saat angin menampar wajah dan kami berada dalam freezer.

Rasa masygul bercampur lega. Namun kekhawatiran yang kami pikirkan sejak di kereta muncul kembali. Angin mulai membekukan jari-jari. Lutut kaki saya protes. Saya tidak mau memikirkannya. Di sisi kanan pintu putar, ada beberapa laki-laki dengan postur tinggi, dan taxi hitam, black car  berderet. Suami saya mendekat. Meminta 1 taxi untuk mengantar ke hotel transit. Apa yang terjadi. Mereka semua menolak. Hotel itu terlalu dekat. Kami disuruh jalan saja. 

Benar adanya. Papan nama hotel Luxton memang terlihat jelas sejak kami turun dari kereta. Artinya hotel itu tampak dekat. Laki-laki tinggi berjaket hitam menunjuk arah ke mana kami bisa berjalan menuju arah hotel. Kami menurut saja. Segera kami berdua sudah terdampar di jalan yang sepi. Di sebelah kiri kami bangunan stasiun terakhir bandara, di kanan kami membentang jalan lurus, berbelok dan berputar. Suhu bertambah dingin, menusuk-nusuk lutut kanan saya. Ngilu. Dua manusia nyaris lansia, berada di jalanan pada malam hari yang gelap dan berangin pada suhu dibawah 0 derajat. Sepertinya, jejak sepatu kami membeku sepanjang trotoar yang kami lewati.  Kami tiba di persimpangan dengan bayangan shower dan tempat tidur hangat.

Hotel Luxton ada di seberang kami. Tepatnya, kami berada di belakangnya. Kami harus menyeberang. Seorang pejalan kaki muncul entah dari mana. Kami bertanya jalan menuju hotel. Dia tidak mempunyai jawaban. Tetapi dia menemani kami menyeberang. Lalu kami mengucap salam perpisahan seperti sudah kenal bertahun-tahun. Orang Inggris sebenarnya ramah-ramah. Hanya saja mereka selalu tergesa-gesa. Tentu saja, tidak ada orang yang mau berlama-lama di luar yang rasanya seperti berada di dalam kulkas raksasa. Tinggal kami berdua lagi. 

Saya sudah melupakan lutut kaki keparat ini. Saya berusaha tampil tenang agar pak suami yang sedang berpikir mencari jalan keluar untuk sampai hotel dengan segera itu, tetap bisa berpikir jernih. Kami berjalan lagi sekitar lima ratus meter, mencari akses ke lobi hotel. Pagar besi membentang seperti penjara, membatasi akses kami. Demi Tuhan, hotel itu sudah kami pesan, berdiri megah di hadapan kami, dan kami tak juga menemukan pintu gerbang atau jalan menuju lobinya. 

Hotel itu adalah hotel bandara. Ada beberapa hotel yang lain. Kami melihat ada Double Tree Hotel. Pak suami mengajak berbalik, 700 meter lagi kami berjalan, menggeret kopor, dan tenggorokan kering, wajah saya basah oleh keringat. Mungkin karena saya memakai masker, masih ditambah syal membangkus leher. Jangan tanya soal jaket. Kostum kami sudah rangkap empat. Benar-benar tampang kami sangat aneh. Seperti zombi mencari-cari mangsa.

Akhirnya, kami sampai di ujung putus asa. Suami memutuskan masuk ke lobi Double Tree yang sebenarnya bersebalahan dengan hotel kami. Miris rasanya. Hotel Luxton tinggal selangkah. Ternyata kami seharusnya naik taxi karena pintunya ada di jalan yang berbeda dari arah kami datang. Dalam hati saya mengutuk driver taxi yang menolak kami.  Putus asa dan menyerah pada cuaca, menjadi alasan utama akhirnya berlabuh di Double Tree. Hanya hotel ini yang bisa kami akses lobinya dan kami mendapat 1 kamar. Petugas laki-laki tegas namun cukup ramah. Setelah berhasil  membayar dengan kartu kredit, dia memberi saya 2 cookies hangat dalam kantung coklat dan 2 botol air mineral. Meski itu adalah tugasnya, saya merasa dia adalah penolong kami malam itu.  Sesaat menunggu urusan chek in, saya elus-elus lutut kanan, bahwa dia akan beristirahat sejenak malam ini. Ia maklum. 

Kamar kami cukup nyaman. Yang penting adalah, tidak perlu naik lift. Kami hanya punya waktu 6 jam untuk mandi dan istirahat. Jam 06.00 pagi, kami dijemput taxi bandara yang kami pesan malam itu. Hanya membayar 8 poundsterling per orang. Tanggal 1 Desember, kami terbang ke Budapest, Hungary. Tiga jam penerbangan dengan low cost carrier.

Ketika kami sedang menuju bandara , anak gadis kami mengabarkan, dia tetap harus membayar hotel yang batal kami tiduri. Kami berdua memilih mentertawakan diri saja. Mungkin inilah hotel termahal yang pernah kami bayar. Membayar 2 hotel meski hanya tidur di salah satunya.  Ya sudah, dari pada mati kedinginan di jalanan Manchester, lebih baik kehilangan uang yang kami yakin masih bisa dicari lagi. Ada harga di setiap kenyamanan. Ada pengorbanan di setiap pencapaian. Tidak usah terlalu dipikirkan atau merasa bersalah. Let it go.

 

 

 

Penulis: RWilis

 

Posting Komentar

0 Komentar