Langkah Kecil untuk Lompatan yang Besar



“Jadi jangan lupa ya ibu-ibu, Kegiatan Pelatihan tentang Cara Membuat Makanan Sehat untuk Mencegah dan Mengatasi Stunting akan dilaksanakan pada esok hari, bertempat di Aula Kantor Desa dan akan dimulai tepat pukul 09.00 pagi” kata Bu RT mengakhiri kegiatan Posyandu yang dilakukan di halaman rumahnya. Kami serentak mengiyakan dan berpisah untuk pulang ke rumah masing-masing. Senyum lebar menghiasi wajahku karena bulan ini berat badan anakku naik dan status gizinya normal setelah sempat dinyatakan Gizi Buruk pada bulan-bulan sebelumnya.

Hal tersebut tidak luput dari perhatian Pemerintah dimana anak-anak yang gizi kurang, gizi buruk ataupun stunting mendapat perlakuan khusus seperti diberikan pemberian makanan tambahan, vitamin, kunjungan rumah, kelas parenting, pelatihan pembuatan makanan sehat, dan selalu diberikan saran oleh ahli gizi setiap kali Posyandu sehingga wawasan kami sebagai orang tua lebih terbuka tentang penyajian makanan yang benar dengan porsi gizi yang tepat sehingga anak tidak kekurangan gizi.

Bukan cuma anak-anak yang mendapatkan perhatian khusus. Ibu hamil juga setiap bulan wajib melakukan pemeriksaan dan yang mengalami kekurangan energi kronis maupun resiko tinggi saat melahirkan juga selalu mendapatkan vitamin, makanan tambahan dan pendampingan seperti kunjungan rumah. Ibu hamil juga wajib mendapatkan pil Fe atau tablet tambah darah setiap bulan, wajib mengukur lingkar lengan, dan mendapatkan pelayanan ambulance sebagai sarana transportasi setiap kali dirujuk untuk USG ke rumah sakit umum daerah karena di Kabupaten tempat kami tinggal hanya ada satu RSUD yang terletak di pusat kota dan jaraknya cukup jauh dari Desa tempat kami tinggal.

Namaku Tiara dan aku adalah seorang Ibu rumah tangga dan suamiku hanyalah seorang nelayan yang hasil lautnya tidak tentu. Penghasilan kami tidak seberapa sehingga bisa makan untuk sehari saja sudah bersyukur. Karena hal tersebut jugalah sehingga anak kami sempat masuk kategori gizi buruk. Namun kali ini sudah tidak lagi karena kami disadarkan bahwa kesehatan anak kami jauh lebih penting daripada hanya mengejar rupiah. Sejak diberi saran oleh ahli gizi, hasil tangkapan suami tidak lagi semuanya untuk dijual melainkan ada yang diolah agar menjadi lauk makan sekeluarga khususnya untuk anak kami sehingga gizinya juga tercukupi. Kami juga mulai memanfaatkan pekarangan rumah untuk menanam sayur-sayuran yang bibitnya diberikan oleh Pemerintah Desa maupun menanam pohon kelor yang gampang tumbuh di iklim tropis dan pemeliharaannya juga tidak sulit serta kadar gizinya sangat tinggi.

Kelompok nelayan suamiku juga diberikan bantuan peralatan nelayan dan kami ibu-ibu diberikan pelatihan sehingga hasil laut dapat diolah menjadi banyak macam agar dapat dijual dan tentunya lebih menghasilkan daripada hanya menjual hasil laut mentah. Sesampainya di rumah, aku menyusui bayiku agar dia tidur dan aku dapat mengerjakan pekerjaan rumah yang belum sempat dikerjakan. Menurut penjelasan yang aku dapatkan di Posyandu, air susu Ibu lebih bagus untuk kekebalan tubuh anak dan wajib diberikan sampai anak berusia dua tahun.

Siang berganti malam dan ketika bayiku sudah tidur dan aku hampir terlelap, tiba-tiba terdengar suara gaduh dari jalanan dan terdengar suara tangis. Aku pun bangun dan suamiku juga sudah berlari ke arah suara serta bertanya pada tetangga lain. Ternyata tetanggaku yang bernama Nita akan melahirkan namun kondisinya sudah sangat memprihatinkan. Mukanya pucat seperti tidak teraliri darah dan kondisinya sudah sangat lemas. “Kenapa tidak dibawa ke rumah sakit Bu?” tanyaku pada Ibu mertua Nita. “Tidak usah. Nanti kalau dibawa ke rumah sakit nanti menantu saya kesakitan karena harus di cek pembukaannya kemudian harus dijahit sedangkan kalau melahirkan di rumah, dukun beranak hanya melihat posisi perut dan meminumkan ramuan agar bayinya cepat keluar tanpa robekan dan itu artinya tidak perlu dijahit sehingga Nita tidak terlalu kesakitan” tukas Ibu Mertua Nita. “Tapi Bu, kondisi Nita sudah sangat lemas dan sepertinya dia butuh penanganan tenaga medis bu“ kata tetangga yang lain. Namun ibu mertua Nita tetap mempertahankan pendapatnya tanpa mendengarkan masukan dari kami.

Diam-diam ku angkat HP ku dan menghubungi bidan desa serta menceritakan kejadian yang terjadi. Belum lama berselang, tiba-tiba tubuh Nita lemas dan dia kehilangan kesadarannya serta bajunya basah oleh darah. Ya Nita mengalami pendarahan. Kami pun semakin panik dan suami Nita yang tidak tahan melihat Istri dan anaknya diambang maut meminta pertolongan untuk kami memanggil ambulance. Tak lama kemudian ambulance pun tiba dan bidan desa serta ibu kader yang mendampingi langsung menginstruksikan agar Nita secepatnya dibawa ke Puskesmas terdekat. Namun di tengah perjalanan, Nita menghembuskan napas yang terakhir akibat pendarahan dan bayinya juga meninggal karena meminum air ketuban dalam jangka waktu yang lama. Hal tersebut menjadi suatu pukulan telak buat Ibu mertua Nita dan juga beberapa ibu-ibu yang tidak ingin anaknya melahirkan di Puskesmas ataupun Rumah Sakit. Walaupun sudah banyak sekali program pemerintah agar tidak terjadi kematian Ibu dan Bayi yang dilahirkan, namun pola pikir masyarakat tidak semudah itu berubah.

Beberapa bulan berlalu sejak insiden tersebut dan kesadaran ibu-ibu hamil makin meningkat untuk memeriksakan diri juga mengonsumsi makanan yang bergizi agar ibu dan bayi tetap sehat. Ketika kami di undang untuk mengikuti Musyawarah Rembuk Stunting, seorang Ibu yang duduk di sebelahku mencolekku dan berkata “mereka hanya membuang waktu menangani stunting. Yang namanya gen tidak bisa di ubah. Contohnya saya, saya dan suami saya memang pada dasarnya pendek sehingga anak saya juga pasti ikutan pendek. Bagaimana bisa anak saya tinggi jika berasal dari bibit yang pendek?” saya tersenyum dan menyarankan agar beliau bisa bertanya ketika diberikan kesempatan untuk berdiskusi.

Ketika petugas kesehatan yang kebetulan menjadi salah satu narasumber mendengar pertanyaan ibu tersebut, dia tersenyum dan berdiri serta berkata “bapak ibu sekalian, apakah semua bisa melihat saya?“, “Bisa pak” serentak semua yang hadir menjawab. “Baik. Apakah saya tinggi atau pendek?” lanjut petugas kesehatan tersebut. “tinggi pak” lagi-lagi forum menjawab serentak. Petugas tersebut tersenyum makin lebar dan berkata “orangtua saya dua-duanya pendek. Tidak ada yang mencapai 150cm tingginya. Namun tinggi badan saya 173cm, saya bukti nyata bahwa saya tinggi padahal berasal dari gen yang pendek karena sejak dalam kandungan, asupan gizi saya cukup. Jadi saya tidak perlu menjelaskan panjang lebar lagi kan bu?” tanyanya sambil tersenyum.

Musyawarah terus berlanjut dan banyak sekali usulan yang muncul agar angka dan resiko stunting dapat ditekan seperti dengan diberikannya akses air minum yang bersih dan aman serta sanitasi yang layak untukiIbu hamil dan anak-anak 0-59 bulan, adanya perlindungan sosial seperti jaminan kesehatan untuk anak dan ibu hamil dan akte kelahiran bagi anak balita selain pemberian makanan tambahan dan vitamin seperti yang sudah dijelaskan di awal cerita.

Di akhir musyawarah, ada seorang pria yang mengacungkan tangan untuk bertanya. “Saya dengar dari laporan Kader Pembangunan Manusia, masih ada anak-anak yang tidak mengikuti imunisasi. Saya pribadi juga tidak suka cucu saya diimunisasi karena setiap kali imunisasi, pasti cucu saya akan demam dan rewel. Bagaimana kalau tidak usah diimunisasi saja? kemudian terkait PAUD sebagai layanan kelima, banyak orang merasa menyekolahkan anak di PAUD hanya menghabiskan waktu karena di sana bukan untuk belajar tapi hanya untuk bermain. Bukannya di rumah juga bisa bermain? Sekolah Dasar juga tetap menerima murid baru walaupun anak tersebut tidak pernah mengikuti Kelas PAUD”. Ruangan menjadi ramai karena ada yang pro kontra terhadap pernyataan yang dilontarkan pria tersebut.

“Mohon perhatiannya bapak ibu sekalian. Kita tidak usah ribut dan kita dengarkan saja dari narasumber kita” kata Kepala Desa agar peserta musyawarah kembali memperhatikan penjelasan Narasumber. “Imunisasi adalah proses untuk membuat seseorang kebal dari penyakit. Bagaimana kita bisa kebal terhadap penyakit? Dengan cara bakteri yang sudah dilemahkan dimasukkan ke tubuh agar tubuh membentuk pertahanan otomatis untuk melawan bakteri tersebut sehingga di kemudian hari ketika kita tanpa sengaja tertular bakteri tersebut, tubuh punya auto imun sehingga mampu melawan penyakit tersebut dan reaksinya tidak berat atau bisa jadi tidak ada reaksi karena tubuh sudah mampu melawan penyakit tersebut. Awal imunisasi, reaksi yang wajar jika demam karena saat itu imun tubuh melemah tetapi itu tidak akan lama karena tubuh secepatnya meneukan cara untuk melawan bakteri tersebut sehingga demam anak tidak akan lebih dari dua hari.” jelas Petugas Kesehatan.

“Terkait PAUD, metode pengajaran di PAUD memang menggunakan sistem belajar sambil bermain. Setiap guru memiliki rencana pembelajaran tersendiri untuk melatih Motorik Halus dan Motorik Kasar sehingga otak anak juga lebih cepat berkembang merespon segala hal yang ia jumpai. Motorik anak dikembangkan ketika anak bermain baik dengan Alat Peraga Edukatif Dalam dan Alat Peraga Edukatif Luar. Dan bukan cuma bermain, tetapi guru sudah membagi waktu untuk belajar dan waktu untuk bermain. PAUD dimulai dari anak 2-6 tahun. 6 tahun adalah usia dimana anak tersebut sudah bisa melangkah ke jenjang Sekolah Dasar dan Sekolah Dasar wajib meminta Sertifikat Kelulusan atau Rekomendasi dari PAUD” terang Pendamping Desa.

Selesai musyawarah desa, kami pun pulang dan di perjalanan kami masih membahas perbandingan zaman sebelum ilmu pengetahuan belum maju dan zaman setelah ilmu pengetahuan makin maju. Kami bersyukur karena dengan ilmu pengetahuan yang sudah sangat maju, angka stunting bisa ditekan, kasus gizi kurang, gizi buruk bisa diatasi, kematian ibu dan bayi makin mengecil dan perhatian pemerintah pada masyarakat kecil sangat besar agar masyarakat bisa mengembangkan usaha yang dimiliki, menciptakan lapangan kerja dari keterampilan yang ada, dan memberikan bantuan agar terciptanya kesejahteraan untuk semua masyarakat.

Aku menulis kisah ini hanya sebagai pengingat bahwa dunia berubah setiap saat dan kita juga bisa membuat perubahan di sekitar dengan kemauan yang ada. Satu langkah kecil yang kita ambil dapat mengubah banyak hal di depan. Generasi mendatang adalah generasi sehat yang kita bentuk dari sekarang dengan cara mencegah stunting sedini mungkin.



Penulis: Emi Widya S.U Ludji

Posting Komentar

0 Komentar