Resonansi Dana Desa

 


Sudah hampir sepuluh tahun "Dana Desa" mengalir ke rekening kas desa. Tentu sejak kedatangannya pada tahun 2015 menimbulkan berbagai macam pro dan kontra. Kekhawatiran dan optimisme bercampur baur berkembang serta beradaptasi dengan inklusifitas desa. Rekognisi dan subsidiaritas menjadi asas teratas dalam prinsip-prinsip Dana Desa. Polemik dan dinamisasi politik tingkat desa mengiringi perjalanan dan pertumbuhan dana desa setiap tahun.

Paradigma yang terbentuk selama puluhan atau mungkin ratusan tahun bahwa desa tidak ubahnya bagaikan kerajaan kecil atau bahkan seperti negara yang berpijak diatas negara. Kini dengan sangat signifikan terkikis seiring dengan karakter dana desa yang berdasarkan atas transparansi, akuntabilitas, kearifan lokal, keberagaman dan partisipatif.

Pesimistis dan keraguan bahwa desa tidak mampu "mengasuh" dana desa yang begitu menggiurkan diasumsikan karena keterbatasan sumber daya manusia, kepentingan politik elit desa, sosial kebudayaan serta local wisdom dan berbagai macam dinamika desa yang sangat kompleks tentu hari ini telah terjawab dengan penuh optimisme, keyakinan dan rasa percaya diri bahwa " DESA BISA ".

Tantangan yang bergantian datang silih berganti tentu sangat jauh berbeda antara sebelum dan sesudah kelahiran "dana desa". Hal yang sangat mencolok adalah pembangunan infrastruktur dan pemberdayaan masyarakat desa. Tentu kita tahu bahwa sebelum munculnya dana desa, mayoritas desa kesulitan dalam hal pembangunan infrastruktur dasar yang berupa jalan, jembatan penghubung, embung, saluran drainase, jaringan pengairan pesawahan, akses digital dan lain sebagainya.

Desa harus berupaya sendiri dengan gotong royong, swadaya masyarakat atau bahkan "mengemis" ke tingkatan diatasnya. Yang lebih menyedihkan ketika desa sudah menangis darah karena permohonan bantuan ke tingkatan yang lebih tinggi dan tidak kunjung terealisasi dengan berbagai macam macam alasan yang hampir tidak logis. Tetapi dengan contoh kecil pengalaman pahit tersebut desa menjadi kuat dan hebat dalam menghadapi segala permasalahan.

Sehingga kehadiran dana desa ini menjadi semacam oase di tengah padang pasir yang teramat panas. Oase itu kemudian tidak lantas menjadi bahan "berbagi panen keserakahan" oleh segelintir oknum di desa, namun itu sebagai pembuktian kebijaksanaan dan kesahajaan desa dalam mengelola dana desa berdasarkan pengalaman pengalaman sebelum kehadiran dana desa.

Tidak hanya urusan infrastruktur dasar saja yang membawa angin segar bagi pembangunan desa dengan segala carut marutnya. Melalui pembangunan fisik yang masif di desa desa, kehadiran dana desa tersebut dapat membuka lapangan pekerjaan dengan mudah. Menjadi tenaga terampil melalui paket paket swakelola desa. Tidak ada persyaratan khusus untuk menjadi tenaga terampil karena memang salah satu tujuan dana desa adalah menyerap sebanyak-banyaknya masyarakat untuk bekerja yang berimplikasi positif terhadap pendapatan masyarakat dan perekonomian di desa.

Kemudian pertanyaan bertubi-tubi datang dari suara suara yang menganut faham skeptisisme "apakah hanya karena pembangunan infrastruktur saja masyarakat bisa tahu atau bahkan percaya bahwa desa mampu menggendong dana desa?". Tentu tidak, pembangunan infrastruktur dasar yang masif dilakukan oleh desa-desa hanya sebagai contoh kecil pertunjukan dari kemampuan desa yang sesungguhnya. Ada arena dan tujuan yang lebih besar, ada ruang yang sangat bermanfaat, ada niat yang dikatakan lebih dari sangat mulia. Santri santri di pesantren menamakan hal hal yang seperti "Khoirunnas anfa uhum linnas" atau kaum modernis menyebutnya "sebaik baik manusia adalah manusia yang bermanfaat bagi manusia yang lainnya". “Pemberdayaan” sumber daya manusia adalah salah satu kartu truf tentang dana desa.

Penulis menganalogikan kalau infrastruktur itu merupakan tubuh dari dana desa maka pemberdayaan ini sebagai ruh dana desa. Sesuatu yang dibutuhkan namun tidak nampak wujudnya. Infrasturktur itu nyata karena wujudnya nampak berbanding tebalik dengan pemberdayaan itu sendiri. Lantas implementasi sederhana pemberdayaan itu apa?. Desa akan menjawab dengan sederhana, pelatihan. Berbagai macam tantangan di desa yang tidak hanya bisa dijawab dengan masifnya pembangunan infrastruktur adalah dengan berbagai macam pelatihan.

Tentu pelatihan atau konseling disini berbeda antar satu desa dengan desa yang lain karena memang kebutuhan, tantangan, maupun prioritas yang berbeda. Namun ada benang merah yang saling terhubung berkaitan dengan pemberdayaan pada setiap desa yang menginginkan peningkatkan kapasitas masyarakat tersebut dalam menyelesaikan problematika yang dihadapi dengan nilai-nilai yang terkandung dalam butir pancasila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Semisal bagi masyarakat pesisir laut atau masyarakat yang mayoritas pekerjaannya sebagai pencari ikan. pelatihan pengelolaan hasil ikan akan sangat bermanfaat dalam meningkatkan nilai jual, daya saing atau daya tarik dengan berbagai inovasinya dari pada hanya sekedar dijual sebagai ikan mentah bagitu saja. Ditunjang dengan keleluasaan dana desa untuk mendukung infrastruktur para pencari ikan dengan membuatkan keramba ikan, kolam atau bahkan embung yang berisi ikan tangkapan misalya.

Bahkan dewasa ini dana desa diberi keleluasaan untuk memberikan bantuan bibit ikan. Berbeda lagi dengan masyarakat yang beraktifitas sebagai petani, ketersediaan air, perubahan cuaca, ancaman hama dan penyakit tentu tidak sama dengan pencari ikan yang ada di laut maupun sungai. Dalam segi infrastruktur dana desa sangat bermanfaat dalam membantu itu semua. Dengan dibangunnya saluran air dan pintu air warga dapat mengatur kebutuhan air bagi tanamannya, disisi lain untuk membatu konektifitas agar lebih mudah mengakses ke lahan-lahan tersebut dapat dibuatkan jalan akses lengkap beserta penerangannya, tidak sampai disitu saja. Untuk lebih mengoptimalkan hasil panen dibangun lumbung lumbung padi atau tanaman tanaman hasil panen.

Bahan yang digunakan untuk menunjang pembangunan infrastruktur tersebut juga dari material-material lokal yang ada di desa masing-masing. Selain itu agar lebih berdaya bantuan bibit dan pelatihan penyuluhan pertanian bisa menjadi bagian paket yang tidak terpisahkan sebagai wujud dari nilai-nilai lahirnya dana desa itu sendiri.

Anak-anak juga tidak lepas dari pelukan dana desa, melalui pelatihan pelatihan keterampilan yang sangat fleksibel. Desa dihadapkan pada pertanyaan pelatihan apa yang tepat untuk masyarakat karena keluwesannya dalam peruntukan pengembangan kapasitas dan kemampuan soft skill.

Bayi dan balita pun juga terkena imbas dari dana desa ini, melalui posyandu dan pendataan pendataan yang dilakukan oleh kader pemberdayaan melalui platform digital (EHDW) yang dibentuk oleh kementrian desa untuk masing masing desa seluruh Indonesia. Ibu-ibu hamil dan balita dapat dipantau pertumbuhan dan kesehatannya.

Data dari EHDW tersebut juga dipakai pijakan dalam pembuatan regulasi sehingga pemanfaatan dana desa lebih terarah dan efektif. Muara akhirnya tentu tunas-tunas bangsa sebagai tonggak estafet perjuangan para pendiri negara ini tetap terjaga dan lebih menjanjikan untuk melanjutkan hidup baik sebagai individu, berbangsa maupun bernegara.

Indonesia dan dunia dalam dua atau tiga tahun kemarin mengalami musibah yang luar biasa, virus corona dan resesi ekonomi. semua negara mengalami hal yang sulit bahkan dampaknya masih dirasakan hingga sekarang. Stagflasi Ekonomi yang dialami oleh setiap negara tidak bisa dianggap remeh. penurunan daya beli masyarakat, optimalisasi dan efisiensi perusahaan, kenaikan inflasi dan pembatasan pergerakan merupakan satu kesatuan paket yang merubah tatanan ekonomi dunia.

Dalam berbagai media masa para ekonom mengatakan salah satu cara mengatasi resesi ekonomi ini dengan memperbaiki kinerja keuangan dengan menambah frekuensi perputaran uang. Bagaikan gayung bersambut dana desa secara efektif melakukan rotasi pergerakan yang lebih menekankan pada perputaran uang di tingkat desa. Pemberian stimulus berupa Bantuan Langsung Tunai, Posko Covid dan ketahanan pangan terbukti sangat efektif dan tepat sasaran.

Tentu faktor tersebut tidak lantas datang begitu saja karena substansi dari stimulus merupakan pengejawantahan atau manifestasi dari nilai nilai semangat gotong royong, saling membantu dan optimisme. Kutipan dari halaman resmi sekretariat kabinet republik Indonesia dan media informasi kontan.co.id mengatakan alokasi yang besar dari APBN sekitar 70 trilyun untuk dana desa setiap tahun di tahun 2020 hingga 2023 dengan capaian serapan anggaran yang hampir mendekati 100 % tentu hal ini merupakan prestasi yang cemerlang.

Dana desa tidak bisa berjalan sendiri tanpa adanya peran serta pemerintah desa dan pendamping desa. Kolaborasi keduanya diperlukan agar pencapaian pencapaian yang efektif, kolaboratif, inovatif maupun partisipatif dapat tercapai. Dengan berbagai macam apapun kebutuhan dan tantangan desa peran keduannya sangat diperlukan. Diibaratkan jika dana desa adalah sebuah bus besar maka desa dan pemerintahannya sebagai supir sedangkan pendamping desa adalah kenek/ kernet bus tersebut yang setia berjalan beriringan dan berdampingan agar para warga desa yang menjadi penumpangnya dapat duduk dengan nyaman dan selamat sampai tujuan.

Sebagai penunjuk dalam perjalanan panjang, pendamping desa dituntut untuk menjadi kuat dan sabar. Berkaca dari substansi tugas dalam pengawalan dan pendampingan dana desa, pendamping dituntut untuk memberikan solusi dan inovasi dengan berkesusuaian kondisi desa yang majemuk dan berkarakter. Bukan hanya sekedar "ngomong", banyak indikator yang digunakan pendamping desa untuk memberikan solusi dan inovasi terbaik. Mulai dari Indeks Desa Membangun (IDM) yang mecakup indeks sosial , ekonomi dan ekologi dikolaborasikan dengan SDGs desa (Sustainable Development Goals) atau pembangunan berkelanjutan yang memiliki 17 poin serta pemantauan kondisi kesehatan melalui EHDW, tentu bukan tugas yang mudah.

Tidak cukup hanya mengawal dan mendampingi desa, pendamping desa bertanggung jawab terhadap proses perencanaan, pelaksanaan hingga pertanggung jawaban melalui monitoring dan evaluasi dana desa yang langsung di pantau oleh kementrian desa. Tugas mulia belum berhenti sampai di situ saja. Kemajemukan dan dinamisasi di masyarakat tentu menjadi indikator lain karena mau tidak mau pendamping desa juga dituntut untuk bersosialisai, bermasyarakat dan terkadang melakukan pendekatan dari ruang-ruang politis, bukan dalam rangka politik praktis namun semata-mata agar nilai-nilai dan tujuan dari dana desa bisa terlaksana melalui pendekatan pendekatan yang lain.

Maka sebagai penutup, dana desa yang sudah berjalan selama lebih dari sewindu ini memberikan rasa optimisme bagi pembangunan negara kesatuan republik Indonesia. Peran Kepala Desa, perangkat desa, Badan permusyawaratan desa, pendamping desa serta masyarakat desa merupakan satu kesatuan yang penting dalam pelaksanaan pembangunan negara. Tentu masih ada yang perlu diperbaiki dari beberapa sisi namun keterlibatan semua pihak ruang-ruang kosong yang menjadi pekerjaan rumah tersebut dapat disempurnakan dengan kearifan dan kebijakan lokal.

Indonesia adalah negara yang kaya dengan keberagaman, penuh toleransi, semangat membangun dan bergotong royong termasuk dari nilai-nilai yang berada pada substansi adanya dana desa ini. Karena penulis meyakini dana desa ini sebagai bagaian dari inisiasi memperkuat akar kebudayaan dan nilai-nilai baik yang mengakar sejak dahulu kala bukan bertujuan untuk mengubah apapun. Seperti kalimat yang sangat familiar di kalangan santri Nahdlatul Ulama' maupun di kalangan pesantren "al- muhafadhotu ‘ala qodimis sholih wal akhdzu bil jadidil ashlah” yakni memelihara yang lama yang masih baik dan mengambil yang baru yang lebih baik, Wallahu a'lam bishawab.

 

 

 

Penulis: Ahmad Arifudin Zuhri

 

                                                   

Posting Komentar

0 Komentar