Perjuangan Anak Desa yang Kembali Mengabdi ke Desa

 


Nopiyanti adalah nama lengkapnya, seorang gadis muda berusia 25 Tahun yang merupakan penduduk asli dari Desa Ulak Segelung Kecamatan Indralaya Kabupaten Ogan Ilir Provinsi Sumatera Selatan. Nama kesehariannya biasa dipanggil “Nopi” dengan ciri khas bertubuh kecil dan ramping. Nopi merupakan anak pertama dari 3 bersaudara, memiliki 1 (satu) adik perempuan dan 1 (satu) adik laki-laki. Karena itu, secara tidak langsung.

Nopi menjadi tulang punggung untuk membantu orangtuanya. Saat ini, Nopi berprofesi sebagai Operator dan TU di Sekolah Negeri yang berada di desanya. Nopi juga mendapatkan amanah dari Kepala Desa Ulak Segelung sebagai KPM (Kader Pembangunan Manusia). Selain itu, Nopi merupakan satu- satunya anak muda yang memiliki tekad luar biasa untuk tetap melanjutkan jenjang pendidikan tinggi disaat teman-teman sebayanya yang berada di desa lebih banyak memilih bekerja di luar desa bahkan menikah di usia muda. Tekadnya itu telah berhasil mengantarkan Nopi menjadi salah satu Alumni dari satu-satunya PTN ternama di Sumatera Selatan dengan gelar Sarjana.

Tentunya menjadi seorang sarjana adalah suatu kebanggaan bagi Nopi tersendiri dan keluarganya apalagi ketika mengenang kembali bagaimana perjuangan Nopi saat memutuskan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi, yang dalam prosesnya itu tidak disangka diberikan keajaiban luar biasa, mulai dari dinyatakan lulus SBMPTN dan diterima juga sebagai Penerima Beasiswa KIP.

Tidaklah mudah bagi Nopi ketika berusaha mewujudkan kabar bahagia kelulusannya di salah satu PTN ternama agar berubah menjadi status mahasiswa dikarenakan untuk menuju ke proses selanjutnya, tidak lepas dari pembiayaan perkuliahannya. Apalagi disaat orangtuanya sudah menyatakan tidak mampu untuk membiayai kuliah tersebut. Saat itu, Nopi hanyalah anak remaja lulusan dari MAN yang masih bergantung hidup kepada orangtuanya, sehingga tidak banyak pengetahuan yang dia miliki agar bisa kuliah gratis.

Hingga akhirnya Nopi memutuskan untuk tidak melanjutkan mimpinya. Disaat Nopi telah berpasrah atas segala sesuatunya, disaat itulah keajaiban itu hadir dalam kehidupannya dengan cara yang tidak terduga melalui salah satu guru di sekolahnya yang memberikan informasi kepada Nopi agar mengikuti seleksi Beasiswa KIP. Beasiswa KIP merupakan beasiswa kuliah gratis dari salah satu program pemerintah yang diberikan kepada anak-anak muda yang memiliki latar belakang keluarga dari ekonomi kelas bawah.

Dengan segala perjuangan yang telah dilakukan oleh Nopi selama mengikuti proses seleksi beasiswanya, akhirnya Nopi berhasil mewujudkan impiannya untuk bisa kuliah di PTN ternama. Baginya, keajaiban ini adalah anugrah terindah yang dimilikinya yang merupakan sebuah kesempatan yang hanya datang untuk satu kali ini saja dalam kehidupannya dan kesempatan yang suatu saat nanti bisa saja mampu mengubah kondisi keluarganya karena memang dari kondisi orangtua Nopi hanyalah sebagai petani biasa dengan status ekonomi menengah ke bawah sehingga secara perekonomian tidak mampu untuk membiayai kuliahnya. Meski seperti itu, Nopi tidak merasa rendah diri atas kehidupan keluarganya, karena bisa mendapatkan beasiswa untuk kuliah gratis saja, itu sesuatu yang patut disyukuri olehnya.

Semasa mahasiswa, banyak cerita yang menarik dari pengalaman Nopi ketika bertemu dengan mahasiswa lainnya. Dikarenakan Nopi hanyalah anak desa yang memang kehidupannya cukup keras dan sudah terbiasa membantu orangtua di sawah, sungguh sangat berbeda dengan kehidupan teman-teman mahasiswa lainnya yang terbiasa di kota. Saat itu berawal dari kegiatan perkuliahan untuk menanam pohon di lahan kosong yang berada di dekat kampus.

Setiap mahasiswa telah diberikan ukuran tertentu sebagai tugasnya, hanya saja karena lahan tersebut perlu digemburkan, tentunya dibutuhkan tenaga cukup besar untuk melakukannya. Sehingga para mahasiswa pun berinisiatif untuk membayar penjaga lahan agar menggemburkan tanah di lahan tersebut. Akan tetapi, Nopi berbeda dengan mahasiswa lainnya, Nopi lebih memilih untuk menggemburkan sendiri tanahnya dengan menggunakan tubuhnya yang kecil sambil memegang cangkul bahkan hal yang dilakukan Nopi tersebut membuat teman-teman terheran-heran kepadanya, “Bagaimana bisa seorang anak perempuan memiliki tenaga cukup besar untuk melakukan kegiatan yang biasanya merupakan tugas laki-laki?”.

Menurut Nopi, apa yang Dia kerjakan adalah sesuatu yang sering dilakukan di rumah ketika membantu kedua orangtuanya. Karena hal itulah juga, bagi Nopi pekerjaan ini merupakan sesuatu yang biasa saja sebab lebih baik menggunakan tenaga sendiri daripada harus mengeluarkan biaya, dimana biaya tersebut sebenarnya masih bisa digunakan untuk kebutuhan penting lainnya.

Hidup yang keras mengajarkan Nopi untuk mampu membedakan antara kebutuhan dan keinginan, karena jika tidak mampu mengelola kedua hal ini di tengah kehidupan kota yang terus menawarkan berbagai macam keinginan dunia. Itu hanya akan membuat dirinya semakin terjerumus dalam sifat hedonis. Maka dari itu, Nopi selalu berupaya terus menerus menasihati diri sendiri bahwasannya apa yang telah diterimanya saat ini, tidak boleh membuat orangtua di desa kecewa, harus fokus dalam menjalankannya dengan niat menimba ilmu dan membuat orangtua bangga atas apa yang telah diperjuangkan. Hingga akhirnya Nopi pun berhasil membawa niat tersebut sampai kepada gelar sarjana yang kini telah tersemat di belakang namanya.

Disaat gelar sarjana sudah dimiliki oleh Nopi, seiring itu juga banyak peluang yang bisa Nopi temukan dalam pengembangan karirnya. Tawaran-tawaran yang diperoleh dari teman- temannya atau relasi lainnya, terus menerus mengajak Nopi untuk merantau ke daerah lain agar dapat mengembangkan karirnya sehingga dapat menjadikan kehidupan Nopi menjadi lebih baik lagi.

Hanya saja, tawaran tersebut sebatas informasi yang cukup Nopi simpan di dalam hati, karena Nopi tetap bertekad untuk kembali ke desanya. Dia tidak melupakan desa yang merupakan tempat tanah kelahirannya, yang telah menemani hari-hari masa kecilnya bersama teman-teman, yang telah mengajarkannya banyak hal tentang arti perjuangan hidup, salah satunya bahwa anak desa mampu juga menjadi seorang sarjana.

Bagi Nopi, desa bukan hanya sekedar tempat tinggal saja, tapi desa adalah rumahnya, dimana desa menyimpan banyak kenangan bersama keluarga tercinta yang kini kenangan-kenangan tersebut masih terukir jelas dalam setiap ingatannya. Dan karena inilah pula, Nopi memilih mengabdi ke desa disaat kebanyakan yang terjadi sarjana dari desa lebih memilih untuk merantau guna mencari kehidupan yang lebih baik dari desanya.

Seiring dengan keputusan Nopi untuk kembali ke desa, ternyata masih banyak pernyataan- pernyataan yang menjadi momok di lingkungan desa seperti “Menyayangkan sudah sarjana pada akhirnya masih kembali ke desa”. Pernyataan seperti ini, tentunya pernah membuat Nopi merasakan down akan keputusan yang dia ambil, dikarenakan seakan-akan jika sarjana kembali ke desa seperti menyia-nyiakan pendidikannya saja bahkan terkesan dicap bukan orang sukses. Hal ini terjadi dikarenakan pemikiran masyarakat desa masih terkukung dengan pernyataan semakin tinggi pendidikan maka semakin sukses orang tersebut yang tolok ukurnya berdasarkan materi yang telah diperoleh. Sedangkan jika kembali ke desa, hal apa yang bisa diperoleh.

Pemikiran tersebut, sangat jelas telah menunjukkan masih rendahnya wawasan masyarakat desa tentang memaknai pendidikan yang sebenarnya. Sebagian orangtua di desa memandang pendidikan terutama ke jenjang perguruan tinggi/perkuliahan hanya sekedar menghabisi biaya, waktu dan tenaga karena pada akhirnya masih juga mencari pekerjaan.  Wawasan seperti ini juga yang menyebabkan orangtua hanya memberikan pendidikan kepada anak sebatas sampai ke jenjang menengah saja. Setelah itu orangtua meminta anaknya untuk segera bekerja atau menikah muda bagi anak-anak perempuan.

Ada juga sebagian yang lain, pendidikan lebih dipandang sisi materialistiknya. Sehingga makna kesuksesan itu diperoleh jika anaknya yang sudah berpendidikan tinggi, maka dia juga sudah bisa bekerja di luar desa dengan memperoleh gaji yang besar. Tentunya wawasan seperti ini, menjadi dilema bagi sarjana dari anak desa dalam mengambil keputusan hidupnya. Hal ini juga lah yang dialami oleh Nopi ketika mengambil keputusan untuk kembali mengabdi ke desa.

Meski wawasan seperti itu masih tertanam di dalam pemikiran masyarakat desa, Nopi tetap yakin akan keputusan yang telah dia ambil yaitu mengabdi ke desa yang merupakan tanah kelahirannya. Nopi tidak mengambil hati atas pandangan masyarakat desa terhadap dirinya, karena menurut Nopi makna kesuksesan setiap orang itu berbeda dan sukses bukan berarti di ukur seberapa banyak gaji yang di dapat, seberapa banyak aset yang telah ada, melainkan sukses tersebut adalah jika bisa memberikan kontribusi/memberikan kebermanfaatan bagi orang lain terutama bagi masyarakat desanya.

Tentunya menjadi seorang sarjana bagi Nopi, bukan hanya sekedar mendapatkan gelar saja, melainkan banyak pengalaman yang diterimanya mulai dari mendapatkan koneksi baru, bertambahnya pengetahuan dan pengalaman serta yang terpenting adanya perubahan pemikiran dalam memandang kehidupan.

Pengabdian Nopi pun berawal dari keaktifannya dalam mengikuti kegiatan yang berlangsung di desa, mulai dari menjadi kader posyandu hingga akhirnya diamanahkan sebagai KPM (Kader Pembangunan Manusia) yang salah satu tugas pokoknya adalah melaksanakan program percepatan penurunan stunting di desa.

Dalam menjalankan tugas pokoknya sebagai KPM, Nopi berusaha memberikan kontribusi terbaik bagi desanya dengan menuangkan setiap ide- ide kreatifnya di dalam penyusunan konsep kegiatan di desa. Ide-ide tersebut mampu memberikan sedikit demi sedikit perubahan di desa. Kini kegiatan desa semakin aktif dan rutin dijalankan setiap bulannya. Meski dalam pelaksanaan setiap kegiatan yang menjadi panitianya didominasi oleh ibu-ibu/emak-emak yang notabennya kerap kali sibuk dengan aktivitas rumah tangga, ternyata tidak mengurangi semangat dan antusias mereka dalam menjalankan setiap kegiatan tersebut.

Seiring itu juga, meski Nopi termasuk anak yang paling muda dibandingkan dengan yang lainnya, ternyata tidak membuat Nopi merasa minder diantara yang lainnya karena bagi Nopi saat ini adalah hal apa yang bisa dia berikan untuk kemajuan desanya. Adapun kegiatan yang telah dilaksanakan Nopi, tentunya berkolaborasi bersama Kader Posyandu beserta Tim PKK Desa yang tidak luput juga didukung penuh oleh perangkat desa telah memberi warna tersendiri bagi desa, seperti kegiatan senam sehat ceria, kegiatan arisan posyandu, kegiatan penyaluran percepatan penurunan stunting dengan memberikan susu dan PMT bagi warga, kegiatan pengajian dan kegiatan lainnya.

Dalam setiap pelaksanaan kegiatan di desa, banyak hal unik yang bisa ditemukan ketika masyarakat desa berkumpul bersama seperti masih kuatnya budaya gotong royong yang menjadi salah satu ciri khas dari kehidupan di desa. Kemudian tawa riang anak-anak yang memberikan kebahagiaan tersendiri bagi siapapun yang melihatnya dan tidak lupa juga semangat para ibu-ibu/emak-emak/nenek-nenek yang tetap ikut serta dalam meramaikan setiap kegiatan di desa. Kini desa sudah tidak sama lagi seperti sebelumnya, kegiatan-kegiatan di desa pun semakin aktif. Tentunya, hal ini terjadi sejak diberlakukannya Undang-Undang Desa yang telah memberikan angin segar bagi masyarakat desa untuk mengembangkan dan memajukan desanya sesuai dengan potensi yang dimiliki desa.

 

 

 

Penulis: Desty Rina Purnamasari (PLD Kec. Indralaya Kab. Ogan Ilir Provinsi Sumatera Selatan)

Posting Komentar

0 Komentar