Tahun lalu aku berkunjung
ke tempat pengelolaan sampah TPS3R Desa Karangrejo Kecamatan Borobudur
Kabupaten Magelang. Ini luar biasa! Mengagumkan! Tempat yang diidam-idamkan
para pegiat sampah desa. Di mana secara sistem pengelolaan lingkungan sudah
selesai dalam memahami konsep pengelolaan sampah. Sehingga yang aku lihat
adalah adanya tempat sampah organik dan non organik di depan rumah warga,
sampai dengan adanya kegiatan operasional di salah satu tempat di desa yang
mengelola yang disebutnya TPS3R.
Di mana di tempat ini
menjadi terminal sampah di desa untuk dilakukan pilah dan olah yang selanjutnya
akan menghasilkan pupuk kompos, pilahan sampah non organik dan residu yang
benar-benar harus dibuang di tempat pembuangan akhir TPA. Keren sekali!. Dan
ini adalah hasil perjalanan panjang perubahan perilaku masyarakat. Sebagaimana
yang aku tahu dari mbah google bahwa desa ini sudah lama menjadi dampingan
program pemerintah tentang tema desa wisata bahkan sejak masa program PNPM dulu
dengan nama PNPM Pariwisata sekitar tahun 2009 an.
Tentu saja desa ini sangat
perlu menjadi tuan rumah yang mempesona karena menjadi penyangga wisata Candi
Borobudur yang kesohor di seluruh dunia. Yang mana wisata perlu dukungan pesona
kebersihan dan perilaku hidup bersih dan sehat. Bukan perilaku membuang sampah
seperti yang selama ini menjadi pergulatan kami tim pendamping desa dengan
wilayah dampingan di Kabupaten Demak.
Konon, kami-kami ini merasa
mengemban tugas pemberdayaan masyarakat yaitu terjadinya perubahan perilaku
masyarakat. Perilaku mengolah sampah tadi, dari perilaku semula yang kumpul,
buang dan lupakan ini. Ya! Begitulah yang aku dan kawan-kawan riil hadapi.
Sebuah tantangan fasilitasi pendampingan masyarakat desa yang menuntut
kesabaran dan keteladanan.
Di Karangrejo ini untuk
yang ke sekian kalinya aku berkunjung tempat persampahan seperti ini setelah di
waktu-waktu sebelumnya pernah berkunjung ke tempat-tempat serupa di wilayah
lain. Aku tidak sendiri, kami datang bersama seluruh tim pendamping desa se
kabupaten. Tentu saja kami bisa pergi dalam rombongan besar ini atas kebaikan
hati Dinpermades Demak, diajak begitu, alias digratisi. Aku yakin ini karena
buah dari bina suasana yang sudah tercipta selama ini antara tenaga pendamping
dengan Pemda yang direpresentasikan oleh Dinpermades.
Aku pribadi, berharap semua
orang yang hadir di kegiatan ini akan merevitalisasi strategi pendampingan
desa-desa di Demak untuk hal-hal yang berhubungan dengan lingkungan maupun
penanganan permasalahan sampah desa sebagaimana sudah beberapa tahun ini sering
muncul menjadi masalah. Dalam keseharian pekerjaan pendampingan pembangunan
desa di wilayah Demak, aku selalu memberi perhatian tersendiri tentang
pengelolaan sampah desa ini.
Sudah tidak terhitung
tempat-tempat di Demak yang berhubungan dengan sampah ini aku kunjungi.
Meskipun sampai saat ini masih selalu berujung keprihatinan, karena yang aku
dapati adalah tempat pembuangan sampah. Ya! Tempat pembuangan sampah yang
sering disebut TPS di mana di sana hanya gunungan-gunungan sampah yang campur
aduk. Apakah itu di sudut-sudut tertentu di desa, yang tidak didesain untuk hal
ini, atau di tempat tertentu di desa yang memang dimaksudkan untuk persampahan
ini, yang mana implementasinya masih sepotong-sepotong aku melihatnya.
Kalaulah ada
peralatan-peralatan pengolahan sampah, itupun biasanya tinggal peralatan yang
rusak, yang pernah dipakai di skala uji coba atau produksi awal. Setelah itu
ditinggal oleh pemakainya dengan seribu satu alasannya. Selalu seperti itu
jejak langkah pengelolaan sampah yang pernah aku kunjungi. Mangkrak lagi!
mangkrak lagi!.
Akan tetapi, meski sering
kecewa dan prihatin yang parah, aku tidak pernah menyerah. Setiap kali aku
dengar tempat pengelolaan sampah baru yang kabar-kabarnya ada pengelolaan dan
pengolahan sampah, maka langsung aku uber. Karena aku sangat ingin melihat,
mendengar, adanya inovasi-inovasi baru yang paling bisa dan paling memudahkan
untuk upaya replikasi di tempat-tempat pendampingan kami. Untuk kemudian
menjadi berita segar dan semangat baru para pegiat-pegiat pengelolaan sampah
yang aku temui nantinya.
Kembali ke pengelolaan
sampah lingkungan dan pengolahannya di Karangrejo ini, di mana kali ini
pencerahan yang luar biasa aku dapati dari TPS3R yang aku kunjungi ini. Di mana
aku bertemu dengan kendaraan roda tiga pengangkut sampah yang bentuk baknya terdapat
2 (dua) tempat yaitu untuk sampah organik dan tempat untuk sampah non organik.
Ya! Ini sangat menggembirakanku karena aku sering membicarakannya, mendesain
pelatihan pengelolaan sampah dengan memberi penekanan pada perlunya pengadaan
kendaraan roda tiga yang ada penyekat di tengahnya seperti ini.
Karena itu tuntutan konsep
pengelolaan pilah sampah dari sumbernya rumah tangga yang kemudian diangkut ke
tempat penampungan untuk pengolahan. Seringnya di mana-mana yang sejauh ini aku
temui di Demak, kendaraan roda tiga pengangkutnya ini tidak ada penyekat di
baknya. Jadi tercapur lagi itu sampah rumah tangga yang sudah capek-capek
dipisah di tong yang berbeda oleh orang yang sudah patuh dengan perlakuan
sampah organik dan non organik.
Sehingga dalam
diskusi-diskusi yang bisa aku ikuti, selalu aku membicarakan pada perlunya
kendaraan pengangkut sampah yang sudah dipilah ini dengan desain tetap tersekat
antara sampah organik dan non organik. Pun demikian juga di tempat
bongkarnyapun juga perlu desain yang menjamin tetap terpisahnya antara sampah
organik dan nin organik ini.
Betapa bahagianya hati ini!
Ternyata yang sering kami bicarakan siang malam, sekarang ada di depan mata.
Langsung saja foto dan video aku luncurkan ke medsos-medsos itu. Momentum ini
tidak boleh kelewatan. Dan harus aku ceritakan ke semua orang di Demak! Harus
aku ungkit-ungkit pengalaman bersama tim pendamping desa ini, ataupun di
obrolan-obrolan ringan di tempatku berinteraksi dengan para pegiat sampah,
bank-bank sampah, Bumdes-bumdes yang mengelola sampah dan siapapun stakeholder
persampahan ini.
Apa yang akan kita lakukan dengan foto dan video kendaraan roda tiga impian ini, ini PR yang harus segera ada realisasi di lokasi-lokasi pilot dengan MPC (Mbuh Piye Carane). Sehingga lekas ada contoh di tingkat lokal Demak yang akan semakin menambah keyakinan desa-desa bahwa ini bisa diterapkan di tempatnya masing-masing.
***
Aku sepakat dengan
optimisme membangun Indonesia dari desa. Ini patut dijadikan arus utama
pemikiran dalam penanganan sampah Indonesia. di mana Indonesia ini terdiri dari
74.957 desa yang semua menjadi beneficiary Dana Desa. Di sinilah peluang pintu
masuk pengelolaan sampah maupun pendidikan karakter tentang persampahan ini
bisa dipicu.
Kalau saja semua desa di
Indonesia ini diwajibkan membuat Peraturan Desa (Perdes) tentang pengelolaan
sampah yang substansinya adalah media edukasi yang memigrasikan mind set dari
membuang sampah yang merupakan sikap tidak peduli sampah menjadi mengelola
sampah. Yang memigrasikan perilaku menimbun sampah sampai segunung di TPA
menjadi mengolah sampah bahkan sampai zero waste dengan teknologi sederhana
saja. Ini sebuah keniscayaan!.
Sehingga semua desa akan bergerak bersamaan
dalam satu irama yang apik, seperti ungkapan jawa “holobis kuntul baris” yang
mana ungkapan ini tidak bisa dibahasa Indonesiakan dengan tepat karena ini
mengambil dari perilaku nature si burung kuntul putih itu, yang terbang dan
bergerak bersama membentuk formasi (berbaris) ujung panah. Ada pemimpin di
depan layaknya ujung panah terdepan, diikuti kawanan kuntul yang disebelahkanan
kiri dengan sedikit mundur belakang. Begitu seterusnya sampai burung terakhir.
Maka jadilah formasi ujung
panah itu. Begitu kalau dibahasa Indonesiakan, harus dengan kalimat yang
panjang agar maknanya utuh ditangkap. Sehingga pula akan terjadi seluruh
desa-desa di Indonesia akan mengepung kota- kota dalam praktek pengelolaan
sampah dan menjadikan gelombang besar dengan holobis kuntul baris ini, maka
praktek pengelolaan sampah di perkotaan yang sudah terlanjur complicated
permasalahannya akan hanyut dalam arus utama yang dibawa desa-desa se Indonesia
ini. Hanyut dalam arti terinfluence pola pilah sampah dari rumah tangga warga
desa yang diedukasi dari Perdes pengelolaan sampah itu.
Memang harus ada kesadaran
kritis di tingkat leader di Indonesia Raya ini yang kuat menginspirasi sehingga
muncul kesadaran kolektif desa-desa yang utamanya di bulan-bulan Juli s/d
September ini yang memasuki siklus perencanaan pembangunan untuk tahun n+1 yang
diwadahi di RKP Desa tergerak untuk kemudian mengalokasikan anggaran untuk
pengadaan sarana prasarana sampah, pelatihan pengelolaan sampah, perumusan
perdes pengelolaan sampah dan seputar persampahan.
Dari mana sumber dananya?
Tentu saja Dana Desa. Bukankah semua desa di Indonesia punya alokasi dana ini.
Bukankah juga pengelolaan lingkungan itu menjadi prioritas penggunaan Dana
Desa? Dan itu adalah bagian dari SDGs Desa yaitu Desa Peduli Lingkungan Laut,
Desa Peduli Lingkungan Darat. Sehingga Mengarus Utamakan Pemikiran “Sampah
Selesai Di Desa Dengan Skema Dana Desa” seharusnya menjadi agenda semua
stakeholder desa baik itu yang ada di lingkup desa itu sendiri maupun yang ada
di lingkup supra desa.
Namun demikian, ternyata
yang seharusnya tidaklah mudah pada faktanya. Fakta yang terjadi hari ini,
kesadaran yang muncul tentang pengelolaan sampah di desa belum menjadi
kesadaran kolektif desa. Hal ini terbukti dari komitmen anggaran APBDesa.
Memang di desa-desa
tertentu sudah tampak komitmen penganggaran yang cukup signifikan. Di desa
tertentu sudah membangun tempat pilah sampah, sudah mengadakan alat-alat
pengolah sampah organik berupa mesin-mesin. Sudah juga mengadakan pengolah
sampah non organik.
Bahkan sampai pengadaan
sarana prasarana pendukung untuk terciptanya sistem pengelolaan sampah yang
baik dengan adanya lahan pertanian organik untuk percontohan penggunaan pupuk
organik hasil olah sampah di tempat itu, pengadaan budidaya magot untuk pemanfaatan
sampah organik, budidaya ayam dan ikan lele yang didesain dengan pakan magot.
Sudah ada yang sampai sekomprehensif ini.
Desa Bakung contohnya, desa
di kecamatan Mijen Demak ini dari tahun 2019 sampai dengan hari ini telah
terakumulasi penganggaran pengelolaan sampah sebesar tiga ratus juga lebih
dengan peruntukan pembangunan Tempat Pengelolaan Sampah (TPS), sarana dan prasarana
pengolahan sampah yang terintegrasi dengan pertanian, peternakan dan perikanan,
padat karya pembersihan areal seputar TPS.
Dan dari capaian sampai
dengan hari ini telah dievaluasi bahwa masih banyak kegiatan maupun pengadaan
yang harus diadakan di tahun 2023 seperti pelengkapan penutup tembok keliling,
perkerasan lantai, tambahan modal BUMDesa untuk penambahan ayam dan kandangnya,
mesin pemilah sampah, bibit tanaman sayur untuk budidaya di sekitar gedung TPS,
penambahan alat pembakar yang lebih besar agar cepat tuntas sampahnya, alat
transportasi untuk pengangkut sampah dari warga, sarana prasarana maggot dan
ternak ayam di rumah tangga yang membutuhkan, penambahan tembok selatan untuk
pilah sampah dan pembakaran dan kompos dan lain sebagainya.
Dan sampai hari ini Desa
Bakung ini masih berjuang untuk menyelesaikan berbagai masalah-masalah
operasional dan manajemen pengelolaan sampah. Masalah permesinan yang tidak
lancar sesuai harapan, masalah manajemen budidaya ayam dan lele dan
masalah-masalah lainnya dalam manajemen besar pengelolaan sampah di desa. Namun
demikian yang seperti Desa Bakung ini patut diacungi jempol!!. Setidaknya sudah
berani berkomitmen penganggaran dan melaksanakannya. Sudah melangkah.
Kembali ke holobis kuntul
baris. Yang diperlukan itu sekali lagi kesadaran kolektif desa-desa. Seandainya
desa-desa tetangga Desa Bakung ini beraksi sama maka secara alamiah akan
tercipta gotong-royong penyelesaian permasalahan-permasalahan yang timbul.
Namun yang terjadi hari ini Desa Bakung ini masih bergulat sendirian. Kalaulah
ada solusi-solusi yang ditawarkan itupun masih belum hasil gotong-royong antar
desa tetangga.
Di wilayah kecamatan lain
juga ada yang seperti Desa Bakung ini dengan plus minus besaran anggaran dan
ragam pengadaan sarana prasarananya. Seperti Desa Bogosari Kecamatan Guntur
dengan pembangunan Bioreaktor Kapal Selam (BKS), Desa Morodemak Kecamatan
Bonang juga dengan pembangunan BKS, Desa Kebonagung Kecamatan Kebonagung dengan
kegiatan penggodokan Perdes Pengelolaan Sampah dan masih banyak desa-desa lain
yang menurutku harus disebut sebagai pelopor pengelolaan sampah selesai di
desa. Mereka sudah berkomitmen. Maka langkah selanjutnya adalah memperbesar
kesadaran kolektif desa-desa tetangga untuk melakukan komitmen yang sama.
Memang kalau berbicara
wilayah kabupaten komitmen penganggaran desa-desa Demak yang jumlahnya 243 desa
ini memang belum signifikan untuk menjadi daya ungkit. Telaah data yang pernah
aku lakukan tahun 2022, ada 64 desa dari 14 kecamatan yang APBdesa nya terdapat
anggaran yang berhubungan dengan persampahan ini dengan total nilai
2.925.223.885,-. Dari jumlah desa yang ada penganggaran tentang pengelolaan
sampah masih 64 dari 243. Masih 26 persen. Masih panjang perjuangan
pemberdayaan masyarakat dan pemberdayaan pemerintah desa dalam hal ini untuk
mewujudkan “sampah selesai di desa”.
Selain tentang komitmen
penganggaran, masih ada kerja besar yang merupakan fundamental yang akan
menjadikan gerakan sampah selesai di desa ini bisa mendarat atau tidak, yaitu
pengorganisasian lembaga PKK. Aku melihat organisasi PKK ini belum bergerak untuk
hal ini. Meskipun memfasilitasi lembaga PKK ini bagiku dan kawan-kawan korps
pendamping desa sudah menjadi target sasaran fasilitasi namun sejauh ini
hasilnya belum memuaskan.
Kegiatan-kegiatan yang
bersifat sosialisasi sudah sejak tahun 2020 kita canangkan dengan Grebeg Sampah
yang fenomenal itu. Aku ge er bolehlah, tentang kefenomenalan Grebeg Sampah ini
yang agenda utamanya adalah komitmen penganggaran desa untuk pengelolaan sampah
untuk lebih banyak lagi hingga sampai pada memadai untuk menjadi variabel
penanganan sampah di desa.
Namun ternyata di
perjalanan harus direlokasi untuk BLT dan PPKM di tahun 2020 itu juga dan
berlanjut sampai 2022. Dan kita-kita sendiri yang mensosialisasikan tentang
relokasi ini. Kita belum beruntung!. Kembali kepada PKK, bahwa organisasi ini
belum bergerak untuk sampah selesai di desa ini benar adanya. Terbukti beberapa
desa yang sudah bagus penganggaran untuk sarpras persampahan tapi akhirnya
terbengkalai juga, ya karena PKK desa ini belum tampak aktivitas dukungannya.
Intinya mengedukasi
organisasi PKK tentang misi sampah selesai di desa ini harus total jendral.
Tidak bisa ditawar. Dan ketika kondisi ini terjadi maka akan kita dapati warga
desa tidak lagi membuang sampah ke TPA yang beberapa tahun ke depan juga segera
penuh, dan pasti akan mencemari lahan pertanian dan pemukiman sekitar. Sangat
menyedihkan. Bagaimana sobat? Kalau saja kamu yang tinggal di sekitar TPA itu,
setujukah kamu dengan gagasan “sampah selesai di desa” ini?.
Penulis: Havik Martoyo
0 Komentar