“Tenggorokanku tercekak,
kering bahkan ludah yang akan ku telanpun seolah belum sampai ke dada”. Seraya
bertakbir dan beristighfar pelan tanpa henti, aku membongkokkan badan ke ruang
mesin perahu berukuran 50 x 60 cm tepat di bawah cool box. Aku berharap
dengan suara deru mesin akan mengurangi suara ombak dan aku tidak melihat ia
menggulung seolah akan menggulung perahu. Agustus ini musim ombak laut.
Biasanya memiliki ciri-ciri; gelombang tinggi, angin kencang dan ombak yang tak
beraturan. Ini yang aku alami saat itu.
2 Agustus 2018, hari yang
aku akan merasa sulit lupa akan setiap jengkal kenangannya. “Abiiiii, umi mau
balik arah. Kita pulang! Umi nggak mau lanjut perjalanan, nggak mauuu”. Awalnya
aku bersikeras, merengek, memohon untuk balik arah namun suamiku terus
menguatkan, “InsyaAllah nggak apa-apa umi, tenaaang. Ingaaat, perjuangan itu
nggak mudah, perjuangan itu nggak nyaman”. Aku luluh dan mau melanjutkan
perjalanan yang belum setengahnya. 2 jam perjalanan beralas hamparan laut
dengan gelombang ombaknya yang tak beraturan. Terombang-ambing dan aku membawa
belahan jiwaku, putri mungilku Wafa. Saat itu Wafa berusia 1 tahun 4 bulan.
Kemanapun aku pergi ia tetap di sampingku.
Perjalanan menuju sebuah
pulau tersendiri, 1 dari 10 desa di kecamatan Loloda Kepulauan kabupaten
Halmahera Utara provinsi Maluku Utara. Pulau Salangade, Desa Tobo-tobo. Yaitu
desa dampingan program Tim Pendamping Profesional Kementerian Desa Pembangunan
Daerah Tertinggal dan Transmigrasi. Akhir tahun 2016 aku lolos mengikuti setiap
jengkal tes yang diadakan saat rekrutmen pendamping desa. Ketika penempatan aku
mendapat tugas di daerah asal dan tempat tinggal suamiku.
Sebagai orang yang berasal dari tanah rata, Jawa Barat yang jarang bersentuhan dengan laut. Menjadi terasa asing dan kekhawatiran tersendiri karena setiap perjalanan harus melalui jalur laut. Tidak punya keahlian berenang menjadi salah satu kekhawatiran lain yang harus segera ku tekuni agar bisa menjadi solusi saat terjadi sesuatu yang tak diinginkan.
***
Alhamdulillah putri kecilku
terlelap dalam dekapan abinya. Saat-saat genting seperti itu aku merasa tak
ingin melihat sorot mata suci itu. Dalam hening di bawah ruang mesin perahu itu
aku menanya pada hati, “Untuk apa ini semua? Hanya sekedar mengais rupiah
sajakah? Atau sekedar menggugurkan kewajibankah? Atau apa?”. Lamunanku
tergoyahkan dengan rengekan manja putriku yang minta menyusu. Dia menangis,
mungkin ia juga takut. Atau, entahlah. Aku berusaha terus tersenyum dalam
ketakutan itu untuknya. Aku menyusui hingga menyiumi keningnya. Aku meminta
maaf terus melibatkan keadaan ini untuknya. Setelah kenyang kami duduk
termangu, aku elus rambut dan dadanya.
Wafaku sayang tak lagi
menangis saat aku berbisik, “Mengarungi samudera kehidupan. Kita ibarat para
pengembara. Hidup ini adalah perjuangan, tiada masa tuk berpangku tangan.
Setiap tetes peluh dan darah tak akan sirna ditelan masa. Segores luka di jalan
Allah kan menjadi saksi pengorbanan. Allah adalah tujuan kami, Rasulullah
teladan kami, Al-Quran pedoman hidup kami, jihad adalah jalan juang kami. Mati
di jalan Allah adalah cita-cita Wafa tertinggi, cita-cita Wafa tertinggi”.
Ya, bagiku program pemberdayaan ini bukan sekedar program biasa. Namun banyak hal kebaikan yang bisa kita transformasikan kepada masyarakat. Terlebih masyarakat yang tinggal dari daerah 3T karena minimnya sarana pengembangan diri dan akses informasi serta komunikasi.
***
Empat hari sebelumnya aku
mendapat undangan dari pemerintah desa Tobo-tobo untuk mengisi materi kepada
jajaran perangkat desa terkait Sosialisasi Dana Desa & Permendagri No 20
Tahun 2018. “Alhamdulillah mi waktunya bersamaan dengan jadwal program Desa
Berdayanya abi”, ujar suamiku. Suamiku bekerja dalam program pemberdayaan lain.
Kebetulan beliau juga meminta bantu aku untuk mengisi pengajian ibu-ibu majelis
ta’lim disana. Aku pikir yaaa, sip lah.
Namun, sehari sebelumnya
hingga pagi sebelum berangkat angin laut makin kencang. Itu artinya gelombang
lautpun makin besar. Orang sini bilang, sekarang musim angin selatan. Entah
penjelasannya bagaimana, namun yang pasti aku mendapati akhir-akhir ini cuaca
disini kurang menentu. Berbeda dengan bulan-bulan Februari hingga Juli yang
lumayan menyenangkan jika melakukan perjalanan laut karena kondisi bulan-bulan
itu bersahabat.
Tanpa pikir panjang, aku
mengkonfirmasi Pak Sekdes. “Pak, mohon maaf sepertinya saya tidak bisa datang.
Karena disini angin kuat dan saya bawa ade kecil”. “Oh begitu ya bu, atau kami
jemput dengan perahu besar? Karena pak camat juga tidak bisa hadir. Tidak
mungkin kami batalkan acara karena undangan sudah tersebar dan konsumsi serta
yang lainnya sudah siap semua”.
Aku sejenak merunduk,
memandangi putri kecilku yang tidak mau berdiam diri kesana kemari karena
sekitar sebulan lalu ia baru bisa berjalan. Aku juga ingat walaupun hari ini
kami tidak berangkat, besok tetap berangkat karena sudah jadwal tetap ibu
majelis ta’lim program suami yang aku sering membantunya mengisi materi. Aku
berpikir daripada sekarang tidak berangkat dan besok bertambah angin lautnya.
Maka lebih cepat lebih baik.
Setelah sampai di pantai
untuk naik perahu, aku kembali bimbang. Haduuuh, perahunya nggak pakai sayap
(sebut, bodi. Sebuah perahu kayu dengan ukuran lebar sekitar 70 cm dan panjang
3 meter dengan mesin perahu manual yang jalannya terlambat dan keseimbangannya
tidak terjaga). Bapak mertuaku yang kemudian ngeh dengan kebimbangan ini,
dengan cepat mencari penggati perahu tak bersayap tadi dengan yang bersayap
namanya katinting.
Dengan perjalanan yang
terasa sangat lama karena bergelombang itu akhirnya kami sampai. Jam 09.30 WIT
aku memulai materi, sosialisasi dan tanya jawab hingga jam satu siang. Sejenak
merenung, jika tadi aku meminta balik arah dan tak sampai di tempat ini.
Berarti berapa banyak orang yang haknya tak terpenuhi. Sebab, ada amanat UU
Desa melalui turunan perundang- undangan dan peratutan-peraturan ke bawahnya
yang harus disampaikan kepada desa. Dan itu menjadi salah satu tugas pokok dan
fungsi kami sebagai Tim Pendamping Profesional. Sesulit apapun medan yang ku
lalui tetap harus di jalani dengan ikhlas dan senang hati.
Setelah shalat makan dan istirahat melanjutkan mengisi Baca Tulis Quran Majelis Ta’lim yang diikuti sekitar 25 orang. Membantu program yang menjadi pekerjaan suami. Setengahnya sudah bisa baca Quran yang setengahnya lagi sama sekali belum bisa dan masih mengaji Iqra. “A, Ba, A....”, ibu-ibu mengulang “A, Ba, A”.
***
Sebuah pepatah mengatakan,
“Jika sebuah perjuangan itu mudah. Maka, akan banyak orang berbondong-bondong
melakukan perihnya perjuangan”. Namun, karena sejatinya perjuangan itu sulit
maka, sedikit saja yang melakukan.
Perjalanan dalam dunia
pemberdayaan sudah kulalui sejak masih kuliah. Tergabung dalam relawan erupsi
merapi di Oktober 2010 pada program Merapi Children Center. Membantu menangani
trauma anak-anak korban erupsi yang kehilangan orang tersayang tempat tinggal
dan masa depan. Hingga kini, setelah 13 tahun berlalu kenangan baju seragam
relawan itu masih ku simpan.
Sebagai pengingat bahwa,
jiwa juang ini begitu membara di masa lalu. Dan aku tak rela, ia surut perlahan
begitu saja hanya karena usia yang kian using. Jiwa semangat itu masih akan dan
terus saja membara di dada ini. Relawan anak jalanan yang menjamur di Kota
Bandung selama kuliah, pemenuhan kebutuhan rohani bagi para penghuni perempuan
Lapas Sukamiskin Bandung dan beberapa kegiatan kerelawanan lain aku ikuti.
Termasuk awal mula aku
datang ke tempat yang begitu jauh dari tempat tinggalku; kecamatan Padaherang
kabupaten Pangandaran provinsi Jawa Barat kesini. Juga karena kerelawanan. Pada
pertengahan tahun 2014 aku mengikuti salah satu program Sekolah Guru Indonesia
dari Dompet Dhuafa.
Yaitu program guru relawan
yang ditempatkan 1 tahun di daerah 3T, aku mendapat tempat di sini Halmahera
Utara. Sampai akhirnya mendapat jodoh dan menetap. Menjalani hari-hari
bagaimana orang pesisir memperjuangkan hidupnya dalam keterbatasan; tidak ada
lampu (PLN), jaringan telepon, transportasi yang sulit. Samapi aku pernah
membuat tulisan dengan judul “Indonesia Belum Merdeka”. Karena banyaknya PR
pemerintah dalam menangani berbagai problematika ini.
Namun kini, salah satunya
berkat Dana Desa perubahan itu mulai nyata adanya! Listrik (PLN) menerangi
gelapnya kehidupan pulau walapun hanya menyala di malam hari. Jaringan telepon
ada, meskipun harus mencari spot di tempat-tempat tertentu. Dan aku bahagia
bisa menyaksikan dan menjadi bagian dari pesatnya perubahan tersebut. Aku bisa
sampai di titik ini dengan semangat yang tak pernah padam. Tersebab aku
terlahir dari Rahim Pemberdayaan. Dimana aku sendiri harus punya daya, untuk
membantu masyarakat bisa berdaya, sehingga keberdayaan itu bisa menjadi modal
ketidakberdayaan mereka melalui pemberdayaan.
Yang
menjadi motivasi terbesar adalah sebab, sebaik-baik manusia adalah yang
bermanfaat untuk orang lain. Dan sebuah ungkapan mengakatan, “Orang yang hidup
untuk dirinya sendiri akan hidup sebagai orang kerdil dan matipun sebagai orang
kerdil. Tapi orang yang hidup untuk orang lain akan hidup sebagai orang besar
dan matipun sebagai orang besar”. Di saat-saat inilah aku merasa bahwa
perjalanan panjang yang terkadang “tak aku sukai” itu menjadi lebih bermakna.
Penulis: Siti Patimah (PLD Kec.
Loloda Kepulauan Kab. Halmahera Utara)
0 Komentar