Untukmu Awan

 


Terik itu tertahan oleh tumpukan daun bakau yang membentuk keharmonisan atap dari lorong jalan setapak ini. Ribuan akar yang menyembul dari dasar air, melahirkan simbiosis mahluk Tuhan pada hutan di tengah kota. Dikelilingi oleh rimbunan batang bakau ditengah rawa, menghampar karpet diatas air yang tergelar, dengan berhiaskan beberapa lembar daun kering diatasnya. Jalur jembatan sepanjang 400 meter ini, terbuat dari papan kayu menambah aksen misteri yang tersembunyi.

Beberapa kali tampak ikan kecil membuat gelembung air, usai memakan daun tumbuhan mangrove. Kodok hijau riang berlompatan dari akar bakau yang timbul diatas air, untuk pindah ke tempat serupa. Capit kepiting mengintip dari dasar air untuk kemudian menghilang menuju lumpur yang dalam. Aku sendirian menikmati pagelaran simponi alam. Suara jangkrik memulai pertautan rindu,  pejantan menawan sang perawan. Mengalunkan nada yang kerap tinggi, namun kemudian merendah hampir seperti hilang. “Ah, tak terpukau kah sang gadis mu wahai, hingga harus kau pelankan gerakan kaki mu mengerik”

Sesekali teriakan bangau berbunyi nyaring, bersautan dengan suara kepakan sayap para burung yang pulang. Sungguh, nada-nada yang tercipta tak membosankan, begitu selaras dan berimbang alunan demi alunan yang berdetak pada jantung hutan ini. Ini adalah hutan terakhir yang tersisa. Lahan bakau seluas delapan hektar, tampak pongah mengadah tanpa mau merunduk pada matahari, tetap sombong menghadang gelombang tanpa pernah mengais iba pada lautan lepas, seakan dengan gagah ia ingin berkata, “Hei, hanya aku yang tak mampu kau lumpuhkan bukan?!”

Hutan buatan itu terletak di dukuh Morosari, sebelah Balai Desa bernama Bedono, pada sebuah Kecamatan Sayung, yang berada pada garis Pantai Utara Jawa di Kabupaten Demak. Hutan ini tidak terletak di pinggir jalan raya Pantura memang, orang-orang harus menempuh jarak 3 kilometer dari bibir jalan raya Semarang menuju Surabaya untuk sampai kesana.

H. Agus Salim, lurah desa Bedono berkisah panjang tentang asal muasal Kota ini berdiri sampai hutan mangrove yang tersisa. Aku ingat betul saat itu, Kepala Desa yang masih berusia muda ini bercerita dengan semangat yang menggebu, di angkringan depan balai desa. Berkisahlah sang titisan Danyang desa ini, tentang catatan sejarah Babat Tanah Jawa. Dimana pada tahun 1475, lahir sebuah kerajaan Islam pertama di pulau Jawa bernama Demak yang berasal dari bahasa Arab yaitu Dhima dan memiliki arti rawa. Kerajaan yang dipimpin oleh Raden Patah, anak dari Prabu Brawijaya Raja Majapahit.

Sang Putra Mahkota ini diperintahkan oleh gurunya Sunan Ampel, untuk melakukan perluasan wilayah ke barat ke daerah rawa, yang berada di tepi Selat Silugangga yang memisahkan Pulau Muria dan Jawa Tengah, untuk menyebarkan agama Islam di daerah itu, sampai kemudian lahir lah sembilan Wali penyebar agama Islam di Nusantara yang dikenal dengan sebutan Wali Songo. Pada massanya, walau dikelilingi rawa dan air payau, Kota Wali ini bukan hanya melakukan ekspansi agama dan perluasan wilayah kerajaan saja. Kerajaan Demak mampu  mewakili lumbung pangan untuk tanah Jawa, karena memiliki lahan pertanian yang sangat luas, serta letak geografisnya yang bersebelahan dengan Semarang.

Keberlangsungan Demak sebagai negeri agraris, terwakili hingga 30 tahun terakhir, sebelum area persawahan berubah wujud menjadi lahan tambak yang dipenuhi air laut. Karakter tekstur tanah pada kota ini halus dan labil. Pada musim hujan, kota ini akan penuh dengan genangan air, dan pada musim kemarau, tanah di Demak akan mengalami penurunan tanah dan keretakan. Struktur tanah di pesisir Demak sebagian besar berasal dari endapan lumpur, maka rentan sekali mengalami pergerakan. Ditambah penurunan muka air tanah dan pembebanan akibat bangunan dan tanah timbunan memudahkan si tanah labil untuk cepat turun. Abrasi menjadi saksi kunci tentang pencarian jawaban kehidupan yang penuh misteri. Peristiwa bersamaan antara tanah yang turun dibarengi dengan air laut yang kerap datang dan enggan pergi lagi ini lah, yang akhirnya menghabiskan daratan di desa Bedono. Air laut telah menenggelamkan tiga, hampir empat perdukuhan dari tujuh dukuh yang ada.


Dukuh Morosari, Desa Bedono, Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak, adalah sebuah potret nyata tentang ketidakmampuan manusia dalam membendung kerusakan alam. Dasyatnya limpahan air laut bukan hanya meluluhlantakkan perumahan, sekolah dan area sosial lainnya. Banjir yang datang juga membawa sampah ke daratan. tumpukan sampah akhirnya menambah kesan kumuh pada lingkungan sekitar.


“Desa punya PR baru mbak, padahal satu dari sekian banyak pekerjaan desa belum terselesaikan” Suara Agus mengeluh parau. Raut muka pengusaha furniture yang mengabdikan dirinya sebagai Kepala Desa ini berubah, tampak sekali drama kesedihan menyeruak dari binar matanya. Lurah ini tidak memiliki bengkok[1] lagi, karena semua lahan pertanian sama sekali tidak dapat digunakan. Pengabdian sang penguasa desa memang bukan main-main. Bondo deso jatah Kepala Desa sudah  menghilang ditelan air laut, pak Lurah juga mendermakan penghasilan tetap (Siltap) yang dianggarakan oleh Pemerintah Kabupaten, untuk dipakai pembangunan jalan dan kebutuhan sosial lainnya.

Masyarakat Bedono pun dipaksa untuk bertahan hidup dalam derasnya perubahan sosial. Perubahan yang singkat dari masyarakat agraria menjadi masyarakat pesisir dalam kurun waktu yang cepat. “Awalnya mereka adalah petani, lawong aku iseh menangi bapakku nduwe sawah owk mbak. Iku aku SMP kethok e mbak” Komentar Komed, menyelak dongeng panjang pak lurah. “Ho’oh, bener, bener, mbiyen, aku melu tandur jaman aku sekolah mbiyen” Rusidi menimpali. Aku mendengar dengan penuh hikmad. Bak seorang ibu yang menyimak cerita anak-anaknya sepulang sekolah aku menjadi. Begitu seru, saling berebut untuk adu dulu, saling menyaut dan menimpali.

Peralihan profesi petani palawija menjadi petani tambak dikerjakan dalam tempo singkat. Dari bertani padi, kemudian menjadi petani udang dan bandeng, sekarang harus merubah haluan profesi menjadi petani kerang. Padi dan palawija tidak akan bisa hidup pada air payau. Genangan air yang tak pernah surut tak akan pernah mengijinkan tanaman di persawahan bertahan hidup. Ladang pertanian menghilang berganti tambak, memaksa warga bekerja keras menjadi petani bandeng dan udang. Dan dalam hitungan sekejab, tambak udang dan bandeng harus berubah lagi menjadi tambak kerang.

Bertahan pada dukuh yang telah ditinggalkan penghuninya, atau pergi menjadi warga penduduk desa lain, adalah pilihan warga hampir di setiap tahun. Bagai memakan buah simalakama, masyarakat desa sungguh berada diantara pilihan yang rumit. Dua musim yang berada di Indonesia, tidak ada yang menguntungkan sungguh. Pada musim kemarau saja, perumahan banjir rob datang mengunjungi rumah mereka. Mengatasi kondisi darurat banjir dan pasca nya? Mereka jagonya. Bagaimana tidak, aku membayangkan warga Bedono adalah orang orang yang sudah piawai dalam mengatasi persoalan banjjir yang datang, bagaimana memindahkan perabotan dan barang elektronik dengan cepat, juga bagaimana membersihkan sisa lumpur pada bantal dan guling.

Tuntutan kepiawanan tinggal disini bukan hanya itu, warga dipaksa untuk meninggikan bangunan tempat tinggal mereka setiap tahunnya, renovasi rumah setiap tahun adalah kebutuhan primer warga setempat, jadi bekerja menjadi buruh pabrik saja belum tentu mampu memenuhi kebutuhan rumahnya. Pemerintah Desa pun serupa, terpaksa menghabiskan Dana Desa yang digelontorkan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, untuk meninggikan jalan jalan utama pada dukuh yang tersisa. Karena jika tidak, rumah warga dari dukuh yang tersisa akan terus tenggelam dimakan air laut yang kian membahana.

Drama dimulai jika musim penghujan tiba. Hantaman air laut menggerogoti daratan dengan derasnya. Gelombang laut itu, bukan hanya mampu mengguyur perumahan warga dengan air untuk kemudian membasahi isi rumah. Air itu kemudian ikut menginap dalam genangan panjang tak ingin pulang. Sementara, pukulan angin akan menambah beban berat penghuni yang tersisa. Jika rumah terbuat dari bata, maka hempasan sang bayu hanya akan meluluhkan atap perumahan. Namun jika terbuat dari kayu, pukulan ngin akan mampu memporak porandakan rumah warga tanpa sisa.

Pada akhir semester, dipastikan tenda darurat BPBD akan mendarat dengan cepat. Pasukan orange akan menerjunkan relawan-relawan terlatih untuk melakukan pengungsian melalui perahu karet yang bertebaran. Warga kemudian diungsikan sementara, difasilitasi semua kebutuhan sandang dan pangannya.

November 2021, peristiwa paling mengerikan. Saat itu siklus akhir bulan setelah purnama, memposisikan bumi dan bulan yang saling berdekatan, ditambah badai La Nina yang melanda Indonesia, menyertakan banjir rob pada hampir seluruh pesisir pantai utara Jawa. Serangan gelombang setinggi 2 meter menerjang Pelabuhan Tanjung Emas, Semarang. Kepanikan melanda, ribuan karyawan pabrik sekitar pelabuhan berlarian meninggalkan semua kendaraan mereka. Ketakutan akan terjadi gelombang Tsunami membuat semua orang segera pergi menyelamatkan diri.

Limpahan air laut menutup jalan utama, nadi Pantura terputus. Kecemasan merajalela sampai pemukiman penduduk. Warga pesisir melakukan evakuasi dengan kecepatan maksimal. Perkampungan terhempas, badai menjadikan seperempat kota Demak adalah lautan lepas. Bedono terisak dalam sisa badai mendera. Rumah-rumah tenggelam semakin tinggi, satu lagi dukuh Bedono harus menjadi perkampungan yang ditinggalkan penghuni. Mondoliko berada dikebimbangan alam. Bertahan adalah sesuatu yang mustahil terjadi, namun pindah bukan juga sebuah solusi pasti. Tersisa 3 dukuh yang masih utuh warganya. Selebihnya, perumahan mereka tidak lagi layak menjadi hunian, air menggenangi rumah sampai setinggi atap. Jalan antar dukuh lenyap, daratan hilang tergantikan hamparan air. Perkampungan ditinggal empunya, penghuni-penghuni baru akan hadir menggantikan yang tergantikan. Kawanan reptil, pasukan unggas serta ribuan serangga adalah pemilik baru rumah-rumah tak bertuan.

Badai bukan hanya meninggalkan sampah dan puing yang berhamburan. Hutan-hutan dengan luas ratusan hektar, turut lenyap tersapu gelombang. Tinggal satu hutan tersisa, tempat dimana aku bermuara.

Pernah dengar kisah Pasijah? Ya, ketenarannya pernah melebihi selebgram yang menggelar fashion show di jalan utama Ibukota. Perempuan setengah baya ini terkenal karena mampu hidup tanpa tetangga, pada rumahnya yang berada diatas air. Sekali aku menginap dirumah ibu beranak tiga ini. Suaminya seorang petani kerang yang gigih. Anak-anaknya selalu membantu kedua orangtuanya dalam urusan domestik dan pekerjaan lain.

Rumah Pasijah terletak di dukuh Senik, Desa Bedono. Dukuh ini sudah ditinggalkan warganya dari tahun 2012, karena perkampungan mereka sudah tidak bisa d huni lagi. Air yang menutup rumah membuat warga memilih untuk pindah tempat. Tapi, tidak dengan keluarga Parsijah. Keluarga ini memilih bertahan untuk menjadi sahabat sepi, karena memilih untuk tetap bertahan dirumahnya.

Dahulu, Pasijah memiliki tetangga yang cukup banyak. Masih utuh bangkai bangunan rumah terbengkalai yang berada di kanan kiri nya. Rumah Parsijah sangat luas sebenarnya, terdapat ruang tamu lebar, dengan empat kamar yang saling berhadapan dan dapur. Sementara kamar mandi terletak di sebelah rumah, jadi kita harus keluar dari ruangan utama. Tapi, kemewahan rumah itu kini tak lagi terlihat. Rumah besar itu tampak suram dan kumuh karena rendaman air menahun.

Meninggikan bangunan sudah tidak dapat lagi mereka lakukan, pemilik rumah hanya mampu membuat dipan-dipan yang terbuat dari bambu untuk aktifitas mereka. Kegiatan rumah tangga berada pada ruang keluarga yang terletak di depan kamar yang ada. Dari memasak, bercengkrama, tidur sampai menonton tivi dilakukan di bambu seluas lima kali empat meter persegi. Persis seperti kehidupan masyarakat pesisir lain yang memang bertempat tinggal pada bangunan diatas air. Bedanya, Pasijah dan keluarga tidak punya tetangga dan handai tolan.

Jika malam tiba, nuansa mistis akan datang mendera. Jeritan binatang dari rumah-rumah kosong yang memantul saling bersautan, seolah mengabarkan bahwa waktu tengah malam telah tiba. Terkadang, suara hewan itu mereda, suasana menjadi bisu tanpa nada, lalu burung hantu memulai percakapan, ditimpali nada tinggi dari binatang malam. Biasan purnama yang tak sempurna tergambar dari atas air, menambah kusam suasana. ”Nyamuk e akeh lah hmhh” Hamdani membunuh ketakutan dengan memulai percakapan. “Nyamuk e siji Ndan, tapi bolo ne seng akeh” Reflex jawaban Sari berkelakar.

Aku ingat, saat itu tahun 2017, tahun dimana kami baru sebulan menjadi Pendamping Lokal Desa (PLD) di Kecamatan Sayung. Kami kemudian sepakat agar semua anggota Tim Pendamping Profesional (TPP) untuk ikut menginap di desa. Bukan hanya ketujuh PLD yang ikut serta pada acara menginap bersama ini, keempat Pendamping Desa (PD) selaku supervisor, juga urun ke lapangan.

Pengenalan lingkungan dilakukan berkala. Anggota PLD masing masing memilih satu keluarga yang bisa disinggahi untuk kami menginap. Sebagai tenaga profesional, kami sepakat untuk melakukan uji kompetensi diri dengan merasakan apa yang dialami oleh masyarakat sekitar serta sebagai memperkenalkan diri kepada masyarakat. Parsijah lah pilihan ku, ketika aku harus memilih rumah siapa dari empat desa dampingan ku dapat kami inapi.

Seperti layaknya daerah pesisir lainnya, pemukiman padat dan bau amis yang merebak di sepanjang jalan, serta tumpukan sampah, adalah ciri utama pedesaan pesisir. Jaring nelayan yang diletakkan di teras rumah-rumah, bersama onggokan hasil laut yang belum sempat dikemas, mengundang para lalat untuk ikut menari menyambut panenan kerang hijau yang di tanam warga. “Panenan hari ini lumayan, kita dapat 40 kiloan sepertinya Bu”. Suara mesin perahu meredup, usai pak Banu mematikan mesinnya. Bergegas Pak Amin menarik perahu kemudian mengikatkan tali pada kayu diujung dermaga. Aminah, istri Pak Amin, menyambut gembira satu karung penuh yang dipanggul sang suami, untuk kemudian dibersihkan dan segera dikupas, agar bisa segera dijual.

Pak amin bersama keempat rekan kerjanya duduk di amben bambu sambil menghirup kopi panas yang baru saja dibuat sang istri saat mendengar suara perahunya datang. Kebulan asap rokok kretek adalah sahabat setia yang tak pernah bosan mendengarkan dengusan keluhan laki laki setengah abad ini. Ditamati baik baik istrinya yang bertubuh tambun sedang mengupas kerang. Satu persatu daging kerang hijau dipsahkan ddari cangkang, kemudian dilempar ke sebuah ember plastik yang tak jauh dari duduknya. “Sesok sido tanam pak? ojo lali rumpon e disiapke sek”. “Iyo, wes tak siapke, wes tak bungkus karo jala, mung durung kabeh, mbok aku diewangi Bu”. “Yo, mengko tak ewangi”.

Masa tanam kerang tiba. Para petani kerang hijau harus melakukan prosesi penanaman kerang untuk bisa diunduh enam bulan kemudian. Budidaya kerang dengan nama latin Perna Viridis ini terbilang mudah. Petani hanya membutuhkan alat bantu berupa bambu sepanjang sepuluh meter, yang kemudian dibungkus oleh jala dan diikat oleh tali rapia. Bambu-bambu yang dirucingkan ujungnya itu disebut rumpon.

Rumpon-rumpon kemudian dibawa ketengah laut, ladang para petani. Ditancapkannya sedalam enam meter untuk menunggu hasil ratusan kerang beranak pinak. Tak perlu membeli benih kerang, karena dengan sendirinya, hewan molusca bercangkang lunak ini akan berkembang biak secara alami tanpa perlu memberikan makanan apapun. Petani, hanya tinggal memetik hasil panen enam bulan kemudian dengan cara menarik batang bambu dari kedalaman, dan melepaskan jala untuk dilemparkan ke geladak kapal.

Wahid dan kawan-kawan lain sudah menunggu keterlambatanku pada acara rapat yang sudah berlangsung sedari tadi. “Sori sori, si Jengki mogok lagi. Huh, gara gara kemarin tu kena banjir” Kata ku terbata, menutupi kesalahan. Kelompok Bedono Indah, adalah nama yang kami putuskan untuk menjadi Badan Usaha Milik Desa (BUMDES) Bedono. Terdiri dari sekumpulan anak muda Bedono yang memiliki dedikasi dan militansi diri,  ditambah dengan arsitek bernama Seno dan Ryan yang pernah tinggal di Bedono lantaran harus menyelesaikan tugas KKN dulu. Kami lalu bergumul selama jutaan detik untuk merumuskan tentang Bedono kedepan.

Bedono bukan sebuah desa yang belum diteliti. Pakar geologi dari akademisi Indonesia maupun luar negeri, berdatangan untuk urun rembuk dan meneliti apa yang terjadi dengan desa. Ribuan bibit mangrove didatangkan dari berbagai lembaga pemerintah maupun swasta sebagai bentuk penanganan penghentian laju gelombang pasang. Bagai mutiara diladang laut, Bedono menjadi pusat perhatian dunia untuk penyelesaian berbagai masalah. Mereka berbondong-bondong menjadi pahlawan reboisasi atau sekedar memberikan solusi tanggap darurat bagi warga terisolir.

Badai tetap menjadi kawan dekat bagi orang-orang yang bertahan. Tiga dusun luluh lantak tanpa bisa diperjuangkan. Lebih sedikit dari mereka tetap menjadi warga desa, itupun karena mereka terpilih mendapatkan lahan sementara Pemda. Sisanya, mayoritas penduduk kampung eksodus keluar desa untuk memulai kehidupan baru dengan lingkungan sosial yang berbeda, dan pasti merubah identitas untuk tidak lagi menjadi warga Bedono.


Sisa empat dusun berjuang dalam sekam yang terendam. Satu diantaranya berada pada denyut yang melemah. Mondoliko, dukuh ini semakin hari semakin tidak bisa ditempati. Gelombang air pasang selalu datang dengan arus yang deras. Kerusakan akibat hempasan arus memperparah kondisi rumah-rumah warga yang sudah merendam separuh badannya. Belum lagi genangan lumpur yang sudah tidak bisa menghilang, licin, kotor dan tidak layak menjadi tempat tinggal selamanya. Jalur darat terputus badai awal tahun. Tidak terlihat lagi kendaraan roda dua bisa melakukan perjalanan ke dukuh ini. Kondisi air yang masih pasang surut, justru tidak bisa menurunkan perahu untuk dijadikan armada pengganti warga.


Ketidakpercayaan warga kepada Pemerintah Desa dan Pemerintah Daerah meningkat. Pemerintah Daerah linglung bukan kepayang. Beberapa kali audiensi dengan warga tidak juga menemukan titik terang. Bupati yang baru saja terpilih, belum mampu memberikan solusi berarti, lahan Pemerintah habis sudah. Warga harus mengikuti jejak pendahulunya, merubah kartu kependudukannya. Simalakama yang berkepanjangan.

Pemerintah Desa maupun Daerah selalu melakukan daya dan upaya dalam penanganan, dari usaha penanaman mangrove di tengah lautan, peninggian badan jalan, serta lainnya, tampak tak ada hasil yang berarti. Tapi sayang, terjangan air disertai penurunan tanah yang semakin cepat, ditambah dengan endapan lumpur tertinggal setiap kali rob datang, menimbulkan kesan bahwa usaha bersama itu adalah kesia-siaan belaka.

Ganjar Pranowo sang Gubernur Jawa Tengah membuat perintah pembangunan jalan tol Semarang Surabaya dipercepat. Bukan persoalan kemudahan pengguna kendaraan yang utama, pondasi jalan tol akan dibuat tertutup rapat menutup badan pada dasar laut, adalah keberuntungan besar bagi pesisir pantai dari Pekalongan hingga Rembang. Permasalahan abrasi, pengikisan tanah, serta gelombang pasang, adalah rutinitas harian penghuni jalur Pantai Utara yang belum juga teratasi.

Air tetap saja menjadi raja jalanan yang perkasa, menggusur pemukiman yang semakin hari semakin kusam akibat bekas air laut menggenang. Belum lagi persoalan sampah yang kerap dibawa sang banjir datang, tontonan kekumuhan desa akibat abrasi tersematkan sudah. Saat itu kami berada pada simpang jalan yang mendera. Pilihan hanya dua, menunggu pembangunan tol selesai, atau melakukan gerakan revolusioner.


Konservasi dimulai, penanaman kembali ratusan bakau yang selalu saja habis dimakan gelombang pasang, dilakukan berulang. Pembangunan rumah apung dilakukan serentak dengan kecepatan maksimal. Jangan bandingkan kami dengan kisah Bandung Bondowoso ya. Jika ia mampu membangun 999 candi untuk dipersembahkan kepada Roro jonggrang, dalam semalam. KBI membutuhkan waktu kurang dari 9 bulan untuk menyulap daerah terisolir ini menjadi kawasan wisata yang cantik dan eksentrik.


Wisata bahari Museum Abrasi terjadi. Nama itu kami ambil karena abrasi bukan alasan untuk desa Bedono menjadi lemah dalam keterpurukan. Kegagalan manusia dalam menjaga ekosistem, ditambah permasalahan kerusakan lingkungan yang diakibatkan karena bumi yang semakin tua, justru menjadikan desa ini bangkit untuk mengabadikan cerita duka ini pada sebuah museum.


Memanfaatkan pengunjung makam Syeh Abdulah Mundzakir yang berjumlah ribuan setiap bulannya, kini masyarakat bisa mengunyah gula manis yang didapat. Dengan menggunakan perahu, kita bisa berkeliling desa yang tenggelam akibat abrasi selama puluhan tahun tesebut. Memutari lahan perairan seluas 462,8 ha, desa ini terlihat seperti memiliki pulau pulau yang menyebar.


Perjalanan wisata akan dibagi menjadi dua destinasi. Destinasi pertama adalah perjalanan air, dimana wisatawan akan berkeliling desa yang tergenang, mengunjungi perumahan warga yang ditinggalkan, atau berziarah ke makam terapung Syeh Abdullah Mudzakir, seorang ulama besar penyiar agama Islam dikawasan pantai Sayung, Demak pada tahun 1900. Dipercaya karena keluhuran budi Syeh Abdullah Mudzakir semasa hidupnya, ia mendapatkan karomah dari Allah berupa makam yang tidak terendam air.


Sebelum sampai ke makam, pengunjung akan disuguhkan dengan perkampungan baru warga dukuh Mondoliko, Kampung Lanting. Sebuah kampung yang rumahnya berdiri diatas konstruksi pengapung dari drum plastik. Mengutip perkampungan di Banjarmasin, Seno, Ryan dan akademisi melakukan perbandingan pembangunan diberbagai wilayah yang memiliki rumah serupa. Kampung baru ini memiliki 25 rumah dari 114 kepala keluarga.


Penghuni dukuh Mondoliko, tak lagi mengkhawatirkan rumah yang akan terendam air. Rumah lanting ini akan mengikuti gerakan gelombang. Jika air pasang, rumah mereka akan ikut menyembul menuju awan, namun saat air surut, tidak akan ada lagi genangan lumpur terjadi. Kokohnya pondasi dasar laut yang mengikat drum, tak mampu tergoyahkan dengan endapan lumpur yang ada.


Wisatawan diajak ketempat yang menakjubkan kemudian. Perahu sederhana para nelayan, yang mampu menampung 15 penumpang ini, akan membawa mereka menuju kampung mati. Bendera koyak diatas tiang tinggi, adalah penanda para pengunjung memasuki perkampungan tak berpenghuni. Rumah kosong menawarkan kelembaban yang mampu menambah kesan mistis. Beberapa pohon bakau yang tumbuh liar diantara samping, depan atau bahkan dalam rumah itu sendiri. Perahu memperlambat laju, pengunjung diperkenankan mengambil gambar dari setiap spot alami yang ada dilokasi. Suara terompet yang dipekakkan oleh kawanan burung air menyambut kedatangan mereka.


Lokasi terakhir adalah rumah Parsijah. Keluarga eksentrik ini menuai hasil dari kesetiannya kepada alam semesta dengan menjual hasil ladang kerang mereka, atau sekedar menjajakan makanan ringan bagi peserta. Sebelum Kembali ke daratan, wisatawan dapat disuguhkan dengan wisata edukasi, yatitu melihat tambak kerang milik masyarakat serta bisa ikut dalam memanen kerang bersama pemilik lahan. 

Ketukan pintu dan gemuruh sorak sorai suara anak kecil bersautan menggugah lelapku. “Pagi mbak, sarapannya” Senyum manis perempuan lulusan SMA terukir selepas aku membuka pintu kamar. “Jam berapa sekarang Tin?”. Pagi ini Tina lah yang menghantarkan sarapan ke kamar ku. “Jam 9 mbak” Jawabnya singkat. “Oalah, udah siang to, pantesan anak-anak udah rame di sana ya Tin”. “Iya mbak, pagi ga kayak biasanya mbak, mereka udah antri dari jam 7 pagi, padahal loket dibuka baru jam 8 mbak” Lanjut Tina antusias. “Wih, lumayan dong ya, bisa nambah pemasukan kita”

Setelah ku tutup pintu kamar, beranjak aku menuju jendela yang menghadap ke wahana bermain yang sebenarnya berada cukup jauh dari resort tempat aku bermalam. Samar terlihat puluhan orang berlomba turun dari ketinggian, mengikuti arah gravitasi bersama pekat lumpur yang meluncur.

Baluran gorden tipis berwarna putih menari-nari mengikuti lantunan angin pantai dari jendela kaca yang terbuka. Jendela itu membentuk dinding, hingga pemandangan dari ketiga sisi ruang akan terlihat jelas. Satu sisi menataplah sang kaca kepada luasnya bentangan air yang meraja. Bahagian berikutnya, akan tampak hijaunya dedaunan yang bergerombol membentuk barisan bakau yang berjajar.

Bangunan ini, hanya terbuat dari kayu jati yang menancap diatas air laut. Begitu kokoh ia, hingga mampu tak bergerak mengikuti alunan gelombang laut yang menyapa pagi. Ruangan ku terbilang sederhana, sebuah kamar minimalis modern dengan nuansa coklat muda dan putih, berpadu dengan interior rotan, terlihat asik dalam suasana etnik. Dari tempat tidur hingga sofa, dan beberapa hiasan, semuanya terbuat dari rotan. Sebuah kamar yang nyaman dengan pendingin udara yang cukup baik, mengingat udara pesisir cukup panas.

Riuh teriakan dan canda tawa para pengunjung seluncur lumpur pagi ini sangat bersemangat.  manusia dari berbagai usia berteriak suka, seolah tak pernah dirasa segala kekacauan hidupnya. Papan seluncur setinggi 3 meter yang terbuat dari fiberglass ini cukup menarik. Aku rasa, ini adalah wahana baru yang belum pernah ada di Indonesia. Permainan ini kami namakan seluncur lumpur. Para pengunjung mendapatkan sensasi bermain kotornya lumpur dari ketinggian, untuk disambut oleh tumpukan lumpur baru didasarnnya. Permainan yang menampilkan keunikan tersendiri. Bagaimana tidak, jika biasanya waterboom beralirkan air, kali ini Desa Bedono mampu menyajikan wahana seluncur dengan dasar lumpur.

Tepat disebelah seluncur lumpur, terdapat kolam renang air tawar yang dikhususkan untuk anak. Waterboom mini ini hanya memiliki kedalaman setengah meter saja. Seno sang arsitek memang sengaja merancang ini untuk pengunjung dibawah 13 tahun, lantaran pada usia tersebut tidak diijinkan untuk ikut permainan seluncur lumpur.

Area ini adalah hutan mangrove di dukuh Morosari yang bersebelahan dengan balai Desa Bedono. Merupakan salah satu dukuh yang mampu bertahan dari terjangan gelombang laut dan banjir rob dari tahun ke tahunnya. Dukuh ini memang merupakan pintu gerbang desa, jika pengunjung ingin melakukan wisata ke Museum Abrasi.

Ruangan hutan yang luas disulap menjadi arena yang menyajikan resort, restoran, waterboom, serta wahana seluncur air. Memiliki pintu masuk utama, sebelah kiri adalah tempat menuju kemewahan penginapan diatas air. Terdapat sepuluh tempat menginap bagi pengunjung dengan berbagai ukuran kamar sesuai jumlah penginap. Sebelum sampai pada penginapan yang saling berhadapan, mereka akan melihat area tempat makan dan dan minum dengan menyajikan pemandangan rimba mangrove yang cantik dan memikat

Pintu masuk dengan arah kanan, adalah wahana bermain bagi anak dan umum, dimana waterboom dan seluncur lumpur berada. Pengunjung dimanjakan dengan wahana menarik yang masih jarang ada di Kota ini. Bukan hanya kolam renang dan perosotan lumpur yang tersedia, permainan yang memacu adrenalin, rope course atau permainan tali tinggi, seperti flying Fox, Rappeling, dan Climbing Tower, lengkap tersedia.

Penjaja makanan terhampar pada parkiran kendaraan sebelum loket masuk berada. Masyarakat berbondong-bondong menjual hasil bumi tanah kelahiran di tempat yang tersedia sekarang. Dulu, ibu-ibu anggota PKK memfasilitasi para perempuan dengan melakukan pelatihan pemberdayaan perempuan untuk mereka belajar memasak dan membuat beberapa ketrampilan dengan memberdayakan alam sekitar. Kini mereka bisa menampilkan berbagai hasil karya sendiri. Dari keripik daun bakau, kepiting krispi, sampai tas yang dibuat dari sampah olahan serta akar mangrove akan tersedia.

Desa Bedono telah mampu bangun dan berdiri bahkan berlari dari patahnya kaki akibat abrasi dan gelombang tinggi. Peningkatan hasil ekonomi dengan membangun kepercayaan diri masyarkat terlebih dahulu, adalah hal yang tak mustahil terjadi. “Saya bahagia, bukan hanya warga Mondoliko yang mendapatkan tempat untuk bermukim saja mbak, warga lain bisa menjadi penjaja makanan. Mana pendapatan Bumdes meningkat juga, wah, senang saya mbak”

Seraya menepuk dada, Agus Salim tersenyum bangga. Sesepuh desa yang juga merupakan dosen Universitas ternama di Semarang ini, telah mampu menunjukkan taringnya, untuk menyelesaikan tugas terberat selama menjabat Kepala Desa, mengejaw sebuah desa yang sudah terabaikan.

Diatas langit, burung bangau putih bergerombol pulang dengan membentuk sebuah huruf pada formasi terbang. Pemimpin terdepan menembus angin dengan mengepak-ngepakkan sayap, memberi ruang bagi pasukannya. Saat sang Jendral lelah, ia akan memutar haluan untuk  mundur pada barisan paling belakang, posisinya diganti oleh burung yang berada tepat disebelahnya. Yang lain, saling beradu sorak seakan memberikan semangat pada para sahabat. Tak ada peluh dalam keluh, melawan setiap hempasan angin yang memukul wajahnya.

Swastamita bertandang, matahari berbentuk bulat sempurna, mencuat dari permukaan air laut. Rona merah berpadu kasih dengan hamburan warna biru, timbul dari wajahnya yang malu-malu bersinar. Sekejap, sang surya akan ditelan oleh segara. Hilang dan senyap seperti semua harapan dan impian yang tak pernah datang menjulang. “Gendis, ayo pulang, sebentar lagi rob, kita ga akan bisa pulang. Wahid menghancurkan lamunan senja ku. Memaksa ku untuk mengakhiri kenikmatan alam untuk kembali ke peraduan. Meminta ku untuk terbangun dan kembali pada kenyataan.

Perjalanan kawanan pejuang desa mencapai titik lelah, segala daya usaha berlaku tanpa jawaban dari pihak manapun. Mondoliko tetap dalam pergulatan antara hidup dan mati, genangan air masih menjadi penguasa setiap sudut desa, ribuan bakau pun tetap hancur dalam terjangan ombak. Ah, Bedono, cita-cita kita berakhir dari dalam hutan yang tersisa.

Kepada awan aku mengadah, meratap pada tatapan searah, berharap pada sebuah pertanyaan yang tak pernah terjawab. Entah pada siapa lagi aku mengadu, pergulatan panjang pada sebuah perjuangan ini tak pernah menjadi nyata. Semua perbuatan, hanya sebuah pengharapan yang tak bisa kami lanjutkan.

Untukmu awan, kukembalikan perjuangan yang masih dalam impian...

 

 

 

 

Penulis: Indah Wulandari



 

Posting Komentar

0 Komentar