Menjeda Mimpi

 


Gemerlap bintang bertaburan di angkasa menandakan cuaca hari itu cerah. Keindahan malam itu juga menggambarkan suasana hati Almira. Almira begitu bahagia karena akan bertemu dengan Mas Adi dalam acara Forum Group Discussion (FGD) tentang pendirian Badan Usaha Milik Desa (Bumdesa) di Desa Mijen.

Diam – diam gadis berhijab itu mengagumi pria berperawakan tinggi semampai, berkulit putih, dan bermata sipit. Selain itu juga lemah lembut, pandai memperlakukan seorang wanita. Pria idaman Almira itu adalah seorang Aparatur Sipil Negara (ASN) berkedudukan sebagai Kepala Seksi (Kasi) di sebuah instansi Pemerintahan yang menangani terkait penyelenggaraan Pemerintahan Desa.

Sedangkan, seorang gadis yang memiliki nama panggilan Mira itu bertugas sebagai Pendamping Desa. Mereka membangun komunikasi yang baik sebagai mitra dalam memberikan pendampingan kepada Pemerintah Desa dan masyarakat. Sebelum mereka menjadi mitra, keduanya sudah saling mengenal ketika SMA. Selisih usia yang terpaut dua tahun membuat mereka merasa nyaman disebut sebagai kakak beradik.

Dalam perjalanan menuju Desa Mijen, gadis berlesung pipi itu tak henti – hentinya memandangi gawainya berharap ada pesan dari sosok yang diam – diam selalu ada dalam setiap doanya. Malam itu arus lalu lintas di jalan yang ia dan kakak kandungnya lalui sangatlah padat. Banyak kendaraan berlalu lalang. Sehingga dirasakannya perjalanan menuju Balai Desa Mijen sangatlah lama. Ia terus memandangi gawainya namun tak kunjung ada pesan dari orang yang ia harapkan.

Betapa terkejutnya gadis itu, justru pesan yang datang adalah pesan yang membuatnya senam jantung, yaitu pesan dari Koordinatornya, “Assalamualaikum yang tercinta sedulur TPP Kabupaten Kudus, berikut kami sampaikan daftar nama yang pertanggal 1 Oktober ini akan relokasi ke wilayah tugas yang baru”.

Ia segera mencari tahu apakah namanya tercantum menjadi salah satu yang akan direlokasi ke wilayah tugas yang baru atau tidak. Dengan perasaan campur aduk, akhirnya dia menemukan namanya tertulis dalam keputusan dari Kementerian Desa tersebut. Baginya ini adalah dua sisi yang berlawanan yang mau tidak mau harus ia terima. Keputusannya setahun yang lalu untuk mengajukan relokasi adalah keputusan yang berat penuh dengan pertimbangan. Ia sudah merasakan kenyamanan di tempat ini. Komunikasinya dengan Pemerintah Desa dan masyarakat sudah berjalan dengan baik.

Banyak agenda yang sudah ia selesaikan dengan baik. Seperti, mengubah mindset masyarakat yang kontra dengan Pemerintah Desa sudah ia wujudkan. Beberapa konflik internal dalam Pemerintah Desa sudah ia selesaikan. Komunikasi antara Pemerintah Desa dan lembaga – lembaga desa yang terputus sudah terhubung. Sehingga tinggal selangkah lagi ia mewujudkan impiannya untuk membangun desa dampingannya bersama – sama dengan Pemerintah Desa dan masyarakat menjadi lebih baik harus rela ia tinggalkan.

Di satu sisi, kabar tersebut membuatnya bahagia karena sudah lama ia menginginkan suasana baru. Namun, di sisi lain, ini juga membuat hatinya remuk redam karena harus meninggalkan semuanya yang telah memberikannya begitu banyak pelajaran berharga dan kisah – kisah indah. Kabar tersebut membuatnya kehilangan fokus. Agenda yang sudah ia susun untuk malam itu seketika itu ambyar semuanya.

Tanpa disadari, Mas Bisma membuyarkan lamunannya. “Dik, sudah sampai di Balai Desa Mijen. Sana cepat turun. Itu Mas Adi melambaikan tangan.” Dengan lunglai gadis berbola mata coklat itupun turun dari motor dan memberi salam kepada seluruh tamu undangan yang sudah hadir termasuk Mas Adi. Setelah memberi salam, ia menempatkan tubuhnya di sebuah kursi di deretan paling belakang. Lamunannya sungguh jauh sekali sehingga kehadiran Mas Adi di sampingnya tidak membuatnya sadar.

“Almira....Almira.....”, Mas Adi mencoba untuk mengembalikan fokusnya. “Eh....iya mas, maaf sudah dari tadi mas disini?” tanya gadis manja itu. Mas Adi berdaham, lalu melanjutkan bertanya kepada Almira, “kamu kenapa tidak seperti biasanya yang selalu ceria dan bersemangat bertemu denganku?” dengan senyum yang dipaksa, ia mulai bercerita. “saya besok pindah wilayah tugas mas, ke Kecamatan Kota”. “Lalu, apa yang membuatmu resah Dik?” “Bukannya itu sudah keinginanmu sejak lama ingin merasakan suasana baru? Mas Adi mencoba menenangkan gadis yang sudah dianggap seperti adiknya sendiri. “iya mas, tapi....” 

Percakapan mereka terputus oleh suara pembawa acara yang mengumumkan bahwa acara akan segera di mulai. Mereka berdua akhirnya menempatkan diri pada posisi masing - masing. Gadis itu tetap berusaha untuk profesional. Senyuman dari Mas Adi sebagai isyarat bahwa semua akan baik – baik saja membuatnya tegar untuk melanjutkan acara FGD tersebut. dengan tegap dan tegas ia menyampaikan prolog latar belakang pendirian Bumdesa, kemudian disambung Mas Adi sebagai penegasannya. Mereka tampak kompak sehingga FGD tersebut berjalan dengan lancar hingga pukul dua belas malam. Selanjutnya, pembawa acara menyatakan acara ditutup.

Satu persatu tamu undangan berpamitan, hingga tiba giliran terakhir mereka berdua berpamitan dengan Pak Kades beserta perangkatnya. Setelah berpamitan, Mas Adi menghampiri Almira. “Dik, Mas antar kamu pulang ya?” “Bisma belum menjemput kan?” beliau memastikan gadis berhijab itu belum ada yang menjemput. “Iya mas, belum” Jawabnya. “Mira pastikan dulu ya mas kalau mas Bisma belum dalam perjalanan menjemput Mira”. “Ok”, jawab Mas Adi singkat.

“Assalamualaikum Mas, Mira pulangnya diantar Mas Adi ya”, gadis itu tampak berbicara dengan kakaknya melalui gawainya. “Mas, jadi ngantar Mira pulang?” “Mas Bisma tidak bisa menjemput karena tiba – tiba kepalanya pusing”, Mira memastikan pria yang dia kagumi itu jadi mengantarnya pulang. “iya jadi, ayo masuk ke mobil. Malam semakin larut sehingga udara semakin dingin”, pria itu mengajak Mira.

Dalam perjalanan menuju ke rumah Almira, Mas Adi yang lebih banyak berbicara dan bertanya pada gadis itu. “Apa yang kamu resahkan, Dik?” “percayalah, di tempat tugasmu yang baru nanti baik – baik saja”. “Aku merasakan ada suasana yang berbeda dengan disini Mas”. “Ah...itu hanya perasaan kamu saja, Dik.” “Belum mencoba kok sudah takut duluan.” “Mas tahu, itu bukan ciri khasmu”. “Ini bukan Mira yang Mas Kenal. Mira yang Mas kenal adalah sosok wanita yang pemberani dan pantang menyerah. Semangat Almira Rasyid.” Namanya disebut secara lengkap oleh pria idamannya seolah – olah memberikan energi positif kepadanya. “Siap Kangmas, Almira Khoirunnisa siap melaksanakan dawuh dari Bapak Adi Kurniawan, S.STP, M.M”. akhirnya mereka berdua tertawa bersama. “Nah, gitu dong.” Tanpa komando mereka berdua secara bersamaan mengucapkan “jangan lupa bahagia”. “Kalau ada apa – apa ngabari mas saja, Dik”. “Siap mas”, jawab Mira dengan semangat.

Sampailah mereka di rumahnya Mira. Abah dan Umminya sudah menunggu di teras. Mas Adi mengantarnya sampai di depan pintu dan langsung berpamitan kepada kedua orangtuanya. “Lho, nak Adi tidak duduk dulu?” tanya Abah. “Sudah dini hari Bah, lain waktu saja”. “Iya nak, terima kasih sudah mengantar Mira.” “Maaf si anak manja ini sudah merepotkan”, imbuh Abah. “Tidak apa – apa Bah, sudah biasa direpotkan sama anak manja ini”. Kakak kelas Mira itu merespon rasa bersalah sosok laki – laki setengah baya itu sambil mengusap kepala Mira. “Sepertinya gadis manjanya Abah sedang galau”, pria lajang itu memberitahu keluarga Mira. “Besok dia akan bertugas di tempat yang baru”. Kemudian, sambil tersenyum Mas Adi meninggalkan kediaman keluarga Rasyid.

Meskipun laki – laki tegap itu sudah meninggalkan rumahnya, percakapan mereka melalui gawai masih terus berlangsung hingga tak terasa pagi pun datang. Ia mengungkapkan kegelisahannya harus beradaptasi dengan tempat tugasnya yang baru. Mas Adi terus menenangkannya. “ini sudah akan menjelang pagi Dik, sana cuci kaki dan gosok gigi lalu tidur. Biar besok tidak bangun kesiangan. Kalau besok kesiangan, nanti rencana yang sudah kamu susun berantakan karena terburu - buru. Let it flow aja.” Dia menjawab wejangan itu dengan stiker “Siap Kangmas”.

Malam yang diselimuti mendung seolah memahami perasaan Mira. Ia tak ingin berlama – lama terlelap dalam kegelapan. Lalu, rembulan yang meredup itu bergantianlah dengan matahari yang malu – malu menampakkan sinarnya. “tok....tok”, bunyi pintu kamar diketuk. Umminya mencoba membangunkannya. “Mira, bangun nak.” “Ini sudah menunjukkan pukul tujuh.” “Bergegaslah untuk bersiap – siap berangkat kerja.” Katanya hari ini bertugas di tempat yang baru.” “Kalau kamu kesiangan, nanti waktunya tidak cukup lho...”, Ummi mengungkapkan kekhawatirannya. “Sebaiknya juga, kamu berpamitan dengan Pak Kades dan perangkatnya di tempat tugasmu yang lama.” Dari dalam ruangan di lantai dua rumah itu tidak ada jawaban. “Mira...anak gadis Ummi dan Abah yang paling cantik, segeralah bangun nak”, Ummi mulai mengeluarkan jurus menaklukkan sikap Mira yang manja. “Berikan kesan pertama yang mempesona,” Ujar wanita paruh baya nan ayu itu. Tanpa menjawab, anak gadis itu menghidupkan kran kamar mandi. Sebagai isyarat ia telah mendengar dan melaksanakan perintah sang ibu.

“Ummi, Mira berangkat dulu.” Ndak ma...”, Umminya belum menyelesaikan kalimatnya. “Assalamualaikum...”, gadis itu berpamitan. Dengan perasaan yang campuraduk, antara semangat dan bayangan yang mengerikan dalam pikirannya saling beradu argumen. Gadis itu sedikit bersemangat karena ada Mas Adi yang selalu memotivasi dan kebetulan beliau bertempat tinggal di wilayah tugasnya yang baru. Sehingga, ia bisa bertanya banyak tentang kearifan lokal lokasi tersebut. di sisi lain, ada bayangan mengerikan yang selama ini pernah ia dengar dari teman – temannya bahwa wilayah tugasnya yang baru ini sebagian besar tingkat pendidikan kepala Desanya tinggi. Dengan latar belakang itu, tentu saja, ia harus meningkatkan kapasitasnya agar tidak terjadi rooming ketika diajak diskusi.

Dengan tekad bulat, ia tetap melanjutkan langkahnya menuju ke Kantor Kecamatan lokasi tugasnya yang baru untuk berkenalan dan permisi masuk wilayah tersebut. Dengan langkah kaki yang agak berat, ia memasuki ruangan demi ruangan dan mencoba menyapa satu persatu penghuninya. “Assalamualaikum selamat pagi pak”, sapanya kepada seseorang bertubuh tegap berpakaian rapi layaknya seorang penegak hukum. “iya waalaikumsalam mbak”, jawab pria paruh baya itu. “E...maaf pak, saya Mira Pendamping Desa ing...”. Ia belum menyelesaikan kalimatnya, namun seolah pria tersebut sudah mengetahui maksudnya. “Oh iya mbak, sudah ditunggu di ruang Tata Pemerintahan (Tapem).” “ Silahkan masuk aja ke ruang Tapem mbak, lewat sini”. Pria tersebut menunjukkan arah menuju ruangan yang dimaksud.

Mira memasuki ruangan tersebut. belum sampai dia membuka bibir tipisnya itu, seorang ibu sudah mempersilahkannya duduk. “Pendamping baru ya mbak?”, tanya si ibu. “iya bu betul”, jawab Mira dengan nada lemah lembut. “Ini teman – temannya belum ada yang datang”, imbuh ibu bertubuh langsing dan tinggi itu. “iya bu, kelihatannya sebentar lagi”, jawab Mira. “Iya kemarin sudah diberi undangan untuk rapat koordinasi sekaligus perkenalan.” “Nanti juga ada arahan dari Bu Camat juga”, ibu itu terlihat mengajak ngobrol Mira agar dia tidak kesepian dan gugup. Tidak berapa lama, teman – temannya dalam satu tim satu persatu datang dan selanjutnya acara rapat koordinasi tersebut dimulai. Pesan dari salah satu kepala seksi yang diluar tampak jutek itu, “kalau saya ngomong jangan diambil hati ya mbak”. “ya begini kebiasaan saya suka ceplas ceplos.” Mira hanya bisa menjawab dengan satu kata, “iya bu”. Rapat tersebut berjalan lancar. Selanjutnya ia mengobrol dengan timnya. Mereka sepakat untuk melanjutkan silaturahmi ke desa – desa mulai esok hari. Gadis itu merasa lega, setidaknya satu langkahnya di tempat tugas yang baru dia sudah bertemu langsung dengan orang – orang yang selama ini hanya dia dengar melalui cerita. 

Hari pertama di tempat tugas yang baru ia lalui dengan baik. Ia berharap hari – hari berikutnya juga sama. Sesampainya di rumah, ia langsung rebahan dan mengoperasikan gawainya. Seperti biasanya, ia melaporkan segala aktivitasnya dan berdiskusi dengan kakak yang dia temukan semasa SMA. Ia lebih dekat dengan mas Adi daripada mas Bisma, kakak kandungnya yang selisih usia cukup jauh, yaitu sepuluh tahun.

“Assalamualaikum mas...apa mas sedang sibuk?” ia memastikan lawan bicaranya itu sedang santai sehingga bisa berkomunikasi dengan lancar tanpa jeda menunggu lumayan lama. “Mas masih ada acara Dik”. “Nanti malam Mas telepon balik ya.” Mendapatkan jawaban tersebut, ia agak kesal karena diam – diam terselip rasa rindu yang ingin ia sampaikan, terjeda oleh kesibukan. Gadis manja itu tidak lagi melanjutkan percakapan itu. Lalu, dengan mulut agak mancung, ia bergegas untuk mandi dan melanjutkan aktivitasnya sepulang kerja.

Ia merasa nyaman di kamarnya. Sambil menunggu telepon dari yang dia rindukan, perhatian dan pikirannya ia alihkan ke laptopnya. Membuka file – file dari tempat tugasnya yang lama dan mencoba membuat jadwal apa yang harus dia lakukan di tempat barunya. Membuat catatan apa saja permasalahan yang ia temukan, bagaimana ia harus menyelesaikannya, dan bagaimana berkomunikasi dengan supervisornya. Tak terasa adzan maghrib berkumandang. Bersamaan dengan itu terdengar ada suara pintu kamar diketok. “Mira,ayo turun untuk sholat berjamaah”, suara Ummi memanggilnya. “Iya Mi...”, jawabnya sambil meraih gawainya dan melangkahkan kaki menuju pintu kamarnya lalu menuruni tangga menuju ruang sholat.

Setelah sholat, ia membuka gawainya dan menemukan tidak ada pesan dan telepon dari yang dia nanti - nanti. Lamunannya dikagetkan oleh suara sang ibu yang berbisik tepat di telinganya. “Ayo makan dulu, main gawainya nanti lagi”. Sontak, ia membalas bisikan Umminya itu, “ah Ummi ngagetin aja”. “hayo...anak gadis Ummi kelihatannya sudah mulai kasmaran nih”, gurau sang ibu. “ah apaan sih Mi...”, pipinya memerah.

Bergegas ia ke meja makan dan ingin cepat – cepat menyelesaikan makan malamnya. Gelisah tak menentu yang sedang ia rasakan. Tidak biasanya Mas Adi untuk menelepon kembali selama ini. Ia memberanikan diri untuk mengirim pesan. “Mas...Mas lagi ngerjain apa kok kayaknya sibuk sekali hari ini.” Pesan tersebut terkirim namun belum juga ada tanda centang dua berwarna biru. Malam itu ia tidak bisa tidur dan terus memandangi gawainya. Hingga tanpa dia sadari dia tertidur sambil memeluk boneka hadiah ulang tahun dari pria itu.

Kemudian, suara ayam berkokok membangunkannya. Hari itu awannya tampah indah sekali. Awan kelabu diselimuti warna jingga. Bangun dari tempat tidurnya bergegas ia mencari gawainya berharap ada balasan dari lawan bicaranya dari seberang sana. Akan tetapi, hasilnya masih nihil. Itu membuatnya mengwali hari itu dengan tidak bersemangat. Rutinitas pekerjaannya dia kerjakan seperti biasa. Banyak hal yang harus dia amati, pahami, dan selesaikan di tempat barunya. Kesibukannya mengalihkan pikirannya dari pria yang dia nanti – nanti gurauannya, saran, dan motivasinya

Hari berganti hari, sudah seminggu tidak ada komunikasi. Mira pun sedang fokus pada agenda berpamitan dengan Kepala Desa dan Perangkat di desa – desa dampingannya dulu. Selain itu dia juga disibukkan dengan agenda berkenalan dengan semua Kepala Desa dan Perangkatnya di desa dampingannya yang baru. Banyak hal harus dia pelajari mulai dari pola kepemimpinan hingga nuansa politik di desa – desa dampingannya.

Sebanyak enam belas desa dampingannya sudah ia dan timnya kunjungi. Banyak hal yang dia dapat. Semua itu ia tuangkan dalam buku catatannya. Setelah itu, dia langsung dihadapkan dengan agenda akhir tahun yaitu memfasilitasi penyusunan Anggaran, Pendapatan, dan Belanja Desa (APBDesa). Bersama timnya setiap hari mengunjungi desa – desa mendampingi penyusunan rencana anggaran biaya (RAB) agar bisa diajukan kepada tim asistensi Kecamatan. Tantangan bagi dia dan timnya dalam mendampingi, memfasilitasi desa di wilayah perkotaan yang rata – rata secara geografis memiliki lahan yang sempit. Hanya ada tiga desa yang berada berbatasan dengan wilayah perdesaan. Sehingga masih memiliki lahan untuk kegiatan infrastruktur. Mereka harus memeras otak untuk memberikan wawasan kepada Pemerintah Desa untuk menganggarkan kegiatan pemberdayaan.

Setelah mendampingi penyusunan Rancangan Peraturan Desa tentang Anggaran dan Pendapatan Belanja Desa, tugas mereka belum usai. Masih ada rangkaian kegiatan evaluasi dan asistensi dokumen tersebut di Kecamatan selama enam belas hari kerja penuh tanpa jeda.

Hari pertama kegiatan tersebut landai – landai saja tidak ada adu argumen. Sehingga kegiatan hari itu selesai tepat waktu. Tanpa basa – basi usai kegiatan, Mira berpamitan. “ibu, saya pulang dulu njih”, dia meminta ijin kepada ketua tim asistensi, yaitu Kasi Tapem. “Iya mbak.” “monggo”, jawab ibu Kasi. Bergegas ia melajukan kendaraannya dengan kecepatan lumayan tinggi menuju rumah.

Sesampainya di rumah, ia langsung menuju kamarnya dan merebahkan diri di atas kasur. Tidak mencuci tangan dan kaki terlebih dahulu, bahkan tidak mandi atau minimal ganti baju, ia langsung tertidur. Tersadar dari mimpi indahnya, tahu – tahu jam dinding yang ada diatas pintu kamarnya menunjukkan pukul lima pagi. Biasanya di saat ada adzan subuh, suara Ummi sudah mulai terdengar. Namun kali ini sunyi dan sepi. Setelah menunaikan sholat subuh, ia turun menuju dapur. Perutnya terasa melilit dan terdengar bunyi “kreuk...kreuk”. Semalam dia tidak makan malam. Dibukanya satu persatu mulai dari lemari hingga lemari pendingin berharap ada cemilan untuk mengganjal rasa laparnya. “nyari apa nak?”, suara yang lemah lembut mengagetkannya. Nyaris ia lari terbirit - birit. “Ah Ummi mengagetkan saja.”  “Anak Ummi sedang kelaparan Mi”, jawabnya sambil meringis. “salah siapa semalam Ummi ketok pintunya ngga ada respon”, goda sang ibu. “Mira capek pikiran dan perasaan Mi”.terdengar bercanda tapi itu ungkapan atau curhatan anak gadisnya ibu Kamila. “Coba cerita sama Ummi, apa yang kamu rasakan.”  “Ceritanya nanti malam saja Mi.” “Mira mau mandi, badan Mira terasa bau asam karena semalam ngga mandi”. “ya sudah”, suara wanita yang selalu menenangkannya.

Setelah mandi, ia turun kembali ke ruang makan untuk sarapan. Hari itu dia tidak begitu bersemangat karena memiliki firasat di hari kedua ini akan lebih melelahkan. Feeling so good mungkin memang cocok untuk menggambarkan firasat yang terjadi. Benar saja, dihari kedua evaluasi banyak argumen disertai gebrakan meja dari kepala desa. “Ini program saya.” “Tidak ada seorangpun yang bisa menghalangi saya”, ujar kepala desa. “Kalian tahu apa.” “Apa pedoman kalian melarang saya.” “Sudah saya pelajari semua aturan itu sebelum saya menuangkannya dalam RPJMDesa saya.” Semua orang di dalam ruangan itupun memilih untuk diam. “Sudah mas...sudah...”, pak Sekretaris Kecamatan mencoba menenangkan kepala desa tersebut. “Semua bisa dirembug dengan baik”, imbuh pak Sekretaris Kecamatan.

Dua orang laki – laki tersebut akhirnya duduk kembali dan agenda evaluasi hari tersebut ditutup untuk menghindari hal – hal yang tidak diinginkan. Mira menyaksikan hal tersebut tanpa bisa mengeluarkan satu kata pun. Bengong di antara sadar dan tidak sadar. Kondisi seperti ini belum pernah ia temui semenjak dari awal dia menjadi seorang Pendamping Desa. ini pengalaman barunya. Hatinya yang rapuh membuatnya mudah terbawa perasaan.

Dalam kondisi seperti itu dia teringat dengan laki – laki yang sudah hampir satu bulan ini tidak ada kabarnya. Dalam hatinya berkata, “kamu dimana mas?” “Saat – saat seperti ini aku membutuhkan motivasimu untuk menjaga semangatku”. Dilihat gawainya berharap yang diseberang sana merasakan kalau disebut namanya. Hasilnya nihil. Selama ini, pikirannya dialihkan kepada agenda – agenda kegiatan yang padat. Tidak sempat dia untuk galau. Namun, kejadian hari ini membuatnya kembali merasakan kerinduannya yang selama satu bulan tidak tersampaikan.

Hari itu dia pulang terlambat. Sampai di rumah pas waktu ada adzan maghrib. Ummi sudah menunggunya diteras rumah. Ia tidak berani mengucapkan sepatah kata pun karena ia tahu anak gadisnya sedang mengalami kecapaian. Lega rasanya melihat anak gadisnya sudah sampai di rumah dengan selamat meskipun tampak sedang tidak baik – baik saja.“Asssalamualaikum...”, Mira mengucap salam sambil mencium tangan ibunya dan berlalu menuju kamarnya. “Waalaikumsalam”, jawab Ummi nyaris tak terdengar suaranya.

Sesampainya di kamar, ia langsung merebahkan diri di atas kasur. Menangis sesenggukan sambil memandangi foto yang ada di galeri gawainya. Rasanya ada yang mengganjal di dalam hatinya. Tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu, Ummi masuk ke kamarnya. “Maaf nak, Ummi lancang masuk ke kamarmu”. “Ummi mengkhawatirkanmu karena semenjak masuk rumah, tidak biasanya anak Ummi diam seribu bahasa.” “Coba cerita sama Ummi Nak”. “Insya Allah Ummi akan mendengarkan, memahami dan bahkan bisa memberimu solusi.”

Bukannya bisa bercerita kepada Ummi, ia malah justru menangis semakin menjadi. “Sini Nak, Ummi peluk”, Ummi terus mencoba menenangkan anak gadisnya. “Coba tarik nafas yang dalam, lalu keluarkan pelan – pelan,” Ummi menuntunnya untuk bisa mengendalikan emosinya. Mira mengikuti arahan Ummi. Dia mencobanya beberapa kali. Hingga dia merasakan sebuah ketenangan. “Ummi, Mira mau tidur dulu”, secara tidak langsung ia meminta Umminya untuk meninggalkan kamarnya. “Baiklah gadis Ummi”, Ummi memberikannya waktu untuk sendiri. “Selamat istirahat sayang....”, Ummi bergerak keluar kamar menuju ruang TV.

Di ruang TV kebetulan Abah sedang duduk santai di Sofa. “Ada apa dengan Almira Mi?” Abah mencoba mencari tahu tentang anak gadisnya. “Sepertinya dia sedang ada masalah Bah”, Ummi memberikan informasi kepada Abah. “Ummi sudah mencoba mengajaknya ngobrol, namun sepertinya kondisinya belum memungkinkan”, Ummi berharap ada solusi lain dari Abah. “Sementara ini tadi menenangkannya dulu.” “Memberinya waktu untuk istirahat, Bah.” “Mungkin besok, Ummi akan coba untuk mengajaknya ngobrol.” “Oh...ya sudah Mi, besok Abah juga akan coba untuk mengajaknya ngobrol.”  

Malam itu Almira tidak makan malam. Ia sudah tertidur lelap. Meskipun begitu Ummi sesekali menengoknya. Ada kekhawatiran jika terjadi sesuatu dengan putri yang ia dapatkan dengan penuh perjuangan dan menunggu waktu yang cukup lama. Jam di dinding kamarnya menunjukkan pukul dua belas malam. Akhirnya Ummi memutuskan untuk tidur di sofa di kamar Almira. Jam tiga malam seperti biasanya Ummi bangun untuk sholat tahajud. Setelah menunaikan sholat tahajud, Ummi mencoba menengok putrinya. Dipegangnya dahi, leher, dan Mira. Di telapak tangannya ia merasakan ada rasa panas. Lalu, beliau bergegas mengambil air hangat dan ditempatkan di baskom, serta waslap. Kemudian, dicelupkannya waslap ke dalam baskom tersebut dan diperasnya. Terakhir,diletakkannya waslap tersebut di dahi Mira. Ummi trauma kejadian waktu Mira masih usia kurang lebih tiga tahun mengalami kejang karena panas tinggi. Waktu itu sudah ciut hati Ummi. Beliau tidak siap jika terjadi sesuatu dengan putrinya. Setelah mengompres, Ummi kembali ke sofa untuk beristirahat.            

     Waktu terus berjalan hingga tiba saatnya adzan subuh berkumandang. Dengan begitu berat Ummi terus mencoba untuk membuka mata dan beranjak dari sofa untuk menunaikan ibadah sholat subuh. Ada keraguan di hati Ummi untuk membangunkan Mira untuk bisa menunaikan ibadah sholat subuh. Untuk memastikannya, beliau meraba dahi, leher dan kaki Mira. Berharap suhu badannya yang panasnya sudah turun. Setelah dirabanya, ternyata suhunya masih lumayan terasa panas. Akhirnya Ummi membiarkannya tetap tidur.

Setelah sholat, lalu beliau melanjutkan kegiatan rutin tadarus Al Qur’an. Jika beliau sudah melantunkan ayat – ayat suci Allah SWT, beliau sering lupa waktu. Tanpa terasa sudah pukul enam pagi. Selanjutnya beliau melanjutkan aktivitas pagi mulai dari memasak hingga beres – beres rumah. Sejak dulu kala semua pekerjaan rumah dipegang sendiri tanpa asisten rumah tangga. Beliau mengajarkan kepedulian dan rasa tanggungjawab kepada putra putrinya melalui membereskan pekerjaan rumah mulai dari hal terkecil seperti membuang sampah pada tempatnya hingga mencuci pakaian mereka sendiri.

Tanpa terasa semua pekerjaan rumah sudah hampir beres. Tiba – tiba terdengar suara dari lantai atas. “Ummi...Ummi...tolong Mi”, terdengar suara meminta pertolongan. Seketika itu seluruh penghuni rumah mencari sumber suara tersebut. Abah yang terlebih dahulu sampai di kamar Mira terkejut. “Astaghfirullahaladzim nduk, kamu kenapa?”, tanya Abah dengan penuh kekhawatiran. Didapatinya putri kesayangannya itu sudah tergelak di lantai dan ada muntahan di sebelahnya.

Dengan terbata – bata Mira hanya bisa mengatakan, “a...da gem...pa..Bah”. Dengan kebingungan Abah langsung membopong putrinya, dan memerintahkan putranya untuk menyiapkan mobil. “Ayo bawa adikmu ke rumah sakit”, dengan sigap Abah membawa Mira ke mobil. Karena begitu khawatirnya, Abah tidak terpikirkan untuk memakai sandal dan berganti pakaian. Dengan mencoba menenangkan diri, Bisma melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Yang ada dipikirannya hanya bagaimana sampai di rumah sakit dengan cepat agar adik kesayangannya itu segera mendapatkan pertolongan.

Dalam perjalanan ke rumah sakit, Mira terus mengigau dan memegang erat tangan Abah. “Mas...Mas Adi...”, ia terus memanggil – manggil pria yang sudah lama tidak memberikan kabar kepadanya. “Iya sabar sayang, sebentar lagi sampai di rumah sakit”, Abah berusaha mencoba menenangkan pikirannya sendiri.

Tiga puluh menit perjalanan dari rumah mereka hingga ke rumah sakit. Setibanya di ruang instalasi gawat darurat, langsung mendapatkan penanganan. Dokter jaga di rumah sakit itu dengan telaten memeriksa dan meminta keterangan kepada keluarga. “Anaknya ini tadi kenapa pak?” tanya dokter jaga tersebut kepada Abah. “Ini Dok, tadi dia teriak – teriak meminta tolong”. Setelah itu, dia mengatakan kalau sedang ada gempa bumi”. “Dan  di sebelah tubuhnya ada bekas muntahan”. “Sepanjang perjalanan ini tadi dia juga mengigau”, Abah menjelaskan kepada dokter jaga. “Oh begitu pak”. “Ini kemungkinan anaknya terserang vertigo pak”, dokter memberikan perkiraan diagnosa. “Untuk pastinya nanti kami akan memberitahu njenengan setelah semua prosedur tes atau cek labnya sudah keluar”, Dokter menjelaskan kepada Abah. “Baik Dok, kami tunggu hasilnya”, jawab Abah dengan penuh harap – harap cemas.

Syukur alhamdulillah Almira sudah ditangani dengan baik. Selang infus terpasang di tangan kirinya. Antara pingsan dan tidur Mira masih menutup matanya. Setelah semua peralatan medis terpasang, ia dipindahkan ke ruang rawat inap. Abah dan Bisma menunggu dengan penuh kecemasan. “Nang, kamu pulang saja menjemput Ummi dan menyiapkan keperluan Adikmu selama dirawat di sini”, ucap Abah kepada anak laki – lakinya itu.

Bisma melajukan mobilnya menuju rumah untuk menjemput Ummi dan membawa peralatan dan perlengkapan Mira dan Abah. Bisma tidak berlama – lama pulang ke rumah. Ia dan Ummi segera melanjutkan perjalanan menuru rumah sakit. Dalam perjalanan menuju rumah sakit Ummi bertanya, “Nang...gimana adikmu?” “Semakin membaik Mi”, Bisma mencoba menenangkan Ummi. “Alhamdulillah”, Ummi merasa lega.    

 

 

 

 

Penulis: Eka Witri Wijayanti

 

 

Posting Komentar

0 Komentar