Arkan meninggalkan pabrik
penyulingan, di kantong celananya ada uang hasil penjualan minyak nilam.
Istrinya pasti sudah menunggu uang tersebut. Namun Arkan belum bisa pulang,
karena akan bekerja membetulkan atap rumah yang geser dan bocor. Arkan bekerja
selama dua hari karena diminta juga untuk membersihkan halaman depan belakang
dan seisi rumah. Selama dua hari itu, Arkan tinggal di rumah majikan yang
memiliki kamar kosong di belakang.
Pekerjaan pun selesai,
Arkan menerima haknya, lalu pamit pulang. Ingatannya kembali kepada uang yang
masih dibawanya. Saatnya ia bertemu istrinya dan memberikan uang itu. Setiba di
rumah, istrinya masih bermain dengan Ifa, anak mereka. Kedatangan Arkan
disambut dengan bahagia. Bapak bercengkrama dan bersantai dengan anak istrinya
hingga sore hari. Malam begitu sunyi, jiwa-jiwa yang tinggal di lokasi
transmigran, sudah di rumahnya masing-masing. Arkan dan istrinya duduk berdua
di depan rumah mereka. Mereka menikmati langit malam yang bertaburan bintang.
Belum ada penerangan di lokasi transmigran yang mereka tinggali. Hanya ditemani
lampu badai, mereka menghabiskan malam setiap harinya.
Udara malam yang tenang
semakin menghanyutkan suasana dalam kedamaian. Arkan mulai membuka pembicaraan
dengan istrinya. “Bu, kemarin bapak ke pabrik penyulingan, bapak mendapatkan
dua juta dari hasil penjualan nilam.” Lantas bapak menyerahkan uang itu ke ibu.
Ibu pun menerima uang itu dan menghitung setiap lembarnya. Jumlah uangnya
sesuai, lalu ibu memasukkan uang itu ke saku dasternya. Ibu menarik napas pelan
dan menanggapi uang yang diberi oleh suaminya. “Maaf pak, bukan ibu tidak
bersyukur atau tidak menghargai pemberian bapak. Kalau Ibu boleh tahu kenapa
hasil penjualan nilamnya sedikit ya pak?” tanya Ibu.
Bapak menduga pertanyaan
itu yang akan terlontar dari istrinya. Dua hari itu pula, dia mempersiapkan
diri untuk pembicaraan malam ini. “Iya bu, belum seperti yang ibu dan bapak
bayangkan dan rencanakan di awal.” kata bapak dengan tenang. “Terus pak?”. “Perencanaan
manusia masih belum apa-apa dengan perencanaan Allah. Kita bisa luput
memperhatikan dan menganalisis setiap pertimbangan dalam melangkah. Termasuk
saat kita memulai menanam nilam, kita hanya memikirkan hasilnya saja, lupa
dengan faktor lainnya.” Bapak mencoba memberi penguatan kepada istrinya.
“Lalu apa pak
kesimpulannya?”. “Pohon nilam ukurannya pendek dan kecil kurang cocok dengan
tipologi lahan di sini yang masih memerlukan banyak sentuhan, serangan baik
dari hewan yang datang menginjak-injak maupun adanya semak belukar itu sendiri menganggu
pertumbuhan nilam itu sendiri. Ibu tahu sendiri bagaimana kita menjaga nilam
dari awal menanam hingga memanen”. “Maksud bapak, hasil penjualan nilam kita
sedikit karena lahan yang kita gunakan untuk menanam pohon nilam memang belum
sesuai untuk tumbuh kembang nilam.” “Seperti itu, Bu. Karena kurang sesuai itu,
hasil nilam kita hanya sedikit.”
Terbayang dalam pikiran
ibu, bagaimana ia dan suaminya bergantian merawat nilam itu setiap harinya.
Jerih payah sudah mereka tukarkan untuk mendapat hasil terbaik. Namun
kenyataannya, penghasilan nilam yang mereka peroleh, belum bisa menutup apa
yang sudah mereka keluarkan selama ini. “Dengan hasil seperti ini, Bapak akan
melanjutkan menanam pohon nilam atau tidak?” tanya Ibu. “Tidak bu. Bapak akan
ganti ke yang lain. Nilam cukup sampai di sini saja.”
Ibu mengangguk mendengar
ketegasan suaminya. Sejenak Ibu terdiam. Mendengar jawaban bapak, ibu tahu
bahwa suaminya menahan perasaan yang sama seperti dirinya. Mereka berdua perlu
waktu sebentar untuk menenangkan perasaan masing-masing. Kondisi keuangan
mereka masih pas-pasan. Wajar jika mereka mengharap usaha mereka menghasilkan,
namun begitulah hasil, Allah yang menentukan. Cukup lama mereka terdiam. Hingga
Ibu sudah merasa lebih baik, Ibu pun membuka percakapan lagi.
“Walaupun sedikit, kita
harus bersyukur. Alhamdulillah, masih ada pemasukan untuk keuangan keluarga
kita. Ibu tidak marah. Kecewa pun sebentar. Sering kita mendengar bahwa tidak
ada kesuksesan yang dicapai tanpa merasakan perihnya kegagalan. Kita bangun dan
mulai lagi usaha yang baru.” Ibu menyemangati dirinya dan suaminya.
Bapak memeluk dan mencium
pipi istrinya atas kesabaran dan pengertian istrinya. Bapak berjanji dalam
hatinya akan selalu membahagiakan istrinya. “Bapak bisa gunakan uang hasil
penjualan nilam untuk memulai usaha baru,”ucap Ibu. “Buat ibu saja. Kalau pun
bapak perlu uang, bapak akan bekerja lagi,” tolak bapak. “Jika bapak mau pakai
uang itu, pakai saja asal itu untuk keperluan keluarga,” bujuk Ibu. “Kalau
keperluan keluarga yang lebih paham ibu.” “Keperluan keluarga kan tidak harus
yang bersifat belanja pak. Yang bersifat investasi juga bisa pak.”
Bapak mengakui kecerdasan
istrinya. Dalam kondisi keuangan keluarga yang mepet, istrinya masih mau
mengikhlaskan uang itu untuk berinvestasi. “Ketika kita masih di Jawa, jauh
sebelum bertransmigrasi, bukannya bapak sudah lama ingin pelihara kambing untuk
mewujudkan impian bapak menjadi peternak yang sukses.”
Mendengar istrinya
menyebut ternak kambing, bapak sadar bahwa istrinya begitu memahami dan
mendukung impiannya. “Tapi ibu dan Ifa juga membutuhkan uang itu.” “Pak, kita
tidak pernah kekurangan makan. Walaupun hanya sama nasi dan kerupuk. Toh ada
saja rezeki untuk makan setiap harinya. Ibu tidak mau uang itu habis hanya
untuk makan keseharian kita. Lebih baik, ibu makan dengan lauk yang sangat
sederhana asal bapak bisa melanjutkan impian bapak. Itu pilihan ibu buat bapak
dan keluarga.”
Arkan sedang tidak
bekerja. Kebetulan, belum ada orang yang akan menggunakan tenaganya. Arkan mengisi
waktu kosongnya untuk memulai usaha barunya. Sejak subuh, Arkan sudah keluar
rumah, mencari kayu tua di hutan dekat lokasi transmigran. Arkan membawa
kayu-kayu itu sendiri. Arkan sudah memilih lokasi untuk kandang kambingnya.
Tidak jauh dari rumah yang ditinggalinya sekarang. Berhari-hari dia habiskan
waktunya untuk membuat kandang. Hingga akhirnya kandang yang dibuatnya pun
berhasil berdiri dan layak dipakai.
Bersama istrinya, Arkan
memulainya lagi dari awal. Uang tabungan mereka gunakan untuk membeli kambing
jantan dan betina milik warga setempat. Lahan yang semua ditanami nilam, ini dibersihkan
kembali, lalu ditanami jengkol. Sejak saat itu, Arkan bergantian sama istrinya
memelihara kambing mereka dengan riang dan
telaten. Bergantian pula mereka
merawat lahan jengkol.
Satu tahun sudah Arkan
memelihara kambing yang ia belinya. Kambing itu sudah bunting, tiga bulan lagi
akan melahirkan. Arkan menunggu hari-hari kelahiran anak kambingnya. Hari itu
pun tiba, kambing Arkan melahirkan dua ekor anak kambing. Kesibukan Arkan dan
istrinya bertambah dengan kelahiran dua anak kambing.
Hari ke sepuluh, usia
anak kambingnya. Betapa terkejutnya Arkan, anak kambingnya hilang satu ekor,
tidak ada di dalam kambing. Tidak ada jejak yang tertinggal di sekitar kambing,
bahkan kandang juga tidak mengalami kerusakan. Lantas Arkan memikirkan
bagaimana kambingnya bisa hilang. Rasa sedih menyeruak, betapa tidak, anak
kambing itu adalah aset hidupnya, itu yang ia miliki saat ini untuk membangun
masa depan.
Setelah satu minggu
berlalu, Arkan mulai melupakan rasa sedihnya atas kehilangan satu ekor anak
kambing. Arkan bersemangat kembali merawat satu anak kambingnya beserta dengan
induk dan pejatannya. Setiap hari ia bersihkan kandang kambingnya, agar
kambingnya nyaman untuk beristirahat. Saat makan, dia lepas kambingnya ke alam
untuk mencari rumput sendiri, sambil mencari kayu dan rumput.. Setelah dirasa
cukup kenyang, Arkan akan membawa kembali kambingnya ke kandangnya. Setiba di
kandang, stok rumput ia letakkan di kotak makanan di bagian depan, agar sewaktu
kambingnya lapar stok makanannya sudah tersedia.
Semangatnya sudah pulih
kembali tetapi ujian yang tidak disangka datang kembali. Anak kambingnya hilang
satu lagi. Sesak di dadanya tidak bisa ia hindari. Sedih melanda perasaannya.
Dilihatnya ada tetesan darah di sekitar
kandang tapi tidak ada bangkai kambing di sekitar kadang. Kandang juga
terkunci, tidak rusak.
Arkan tidak mau tinggal
diam, dia harus mencari tahu penyebabnya. Dia sudah kehilangan dua anak
kambingnya, Arkan tidak mau kehilangan induk kambing yang terakhir kalinya.
Arkan berjalan menuju rumah Rindang, sahabat transmigrannya. Beruntung
sahabatnya itu ada di rumah dan tidak pergi kemana-mana. Arkan mengajak Rindang
menuju kandang kambingnya.
Sambil berjalan ke
kandang, Arkan menceritakan tentang anak kambingnya yang hilang. Arkan meminta
Rindang mengamati seluruh kandangnya agar bisa mencari tanda dan petunjuk siapa
yang sesungguhnya mengambil anak kambingnya. Setiba di kandang, Rindang
mengamati bercak darah yang tertinggal serta situasi kandang. Sebentar ia terdiam
dan berpikir, lalu Rindang memberi penjelasan kepada Arkan,”Anak kambingmu telah
dimakan oleh ular hutan bukan dicuri oleh orang dan ular masuk melalui lubang
yang ada di dinding kandang.”
Masuk akal juga
penjelasan yang diberikan oleh Rindang. Lokasi kandangnya jauh dari perumahan
penduduk, kalau yang mengambil orang memang kemungkinan itu kecil. Orang yang
akan ke sini memerlukan waktu dan tenaga yang tidak sedikit, kalau hanya
mencuri anak kambing, tidak sebanding dengan waktu dan tenaga yang sudah mereka
keluarkan. Kunci kandang juga tidak rusak.
Yah, ular. Sebuah
penjelasan yang paling masuk akal. Lokasi transmigrannya dekat dengan hutan,
bahkan sedikit orang yang masuk ke hutan itu. Sangat mungkin di dalam hutan itu
ada ular dan sebagai hewan carnivora, ular bisa mengintai mangsa yang akan
dimakannya.
Arkan menyesali dirinya
tidak memikirkan ini diawal. Keyakinannya akan kelangsungan ternak kambingnya
runtuh seketika. Mengetahui lingkungan di sekitar kandang kambingnya tidak
aman. Kandang kambingnya dalam pengintaian ular hutan. Dia harus segera
menyelamatkan induk kambingnya. Dia akan segera membicarakan itu dengan
istrinya.
Seperti yang biasa mereka
lakukan, mereka duduk dibawah cahaya bulan. Kursi panjang yang terbuat dari
kayu, mereka pindahkan ke tengah halaman rumah mereka. “Bu, bapak akan menjual
induk kambing.” Bapak menyampaikan perihal inti pembicaraan mereka tanpa basa
basi. “Itu langkah penyelematan yang terbaik yang bisa kita lakukan. Paling
tidak modal yang kita keluarkan bisa kembali walapun belum mendapatkan
keuntungan.” “Berarti ibu setuju kan?”tanya bapak. “Iya, pak.”
Dengan suara sedikit
bergetar bapak berkata, “Kedua kalinya usaha kita gagal sebelum mencapai akhir,
Bu. Bapak merasa sedih teramat sangat hingga menusuk hati. Apalagi jika
mengingat bagaimana dulu bapak bolak balik dari hutan ke kandang membawa kayu.”
“Walau bapak sedih, tapi bapak tidak boleh marah sama Allah. Bahwa kuasanya
selalu membawa kebaikan untuk kita walaupun itu sebuah kesedihan. Allah sedang
menguji keimanan dan kesabaran kita atas kebesarannya. Bapak harus ingat akan
pengorbanan Nabi Ibrahim, pengorbanan kita belum seberapa untuk menunjukkan
kekuatan keimanan kita. Pembayaran dari Allah atas kadar jerih payah bapak,
akan bapak terima. Hanya menunggu perhitungan waktu Allah. Bukan waktu kita.”
Ibu memegang tangan suaminya
dan menciumnya lalu berkata lagi,” Besok ibu antar bapak menjual kambing itu.
Sekalian ke pasar untuk belanja kebutuhan rumah yang mulai menipis, kita bawa
kambing kita juga. Mudah-mudahan besok kita bisa menemukan pembeli untuk
kambing kita.”
Keduanya baru masuk rumah
ketika sudah tengah malam. Ibu langsung tertidur, Arkan ke belakang dulu
sebelum pergi tidur. Tak lama kemudian, Arkan mendengar suara berisik dari
kandang kambingnya. Rasa kantuk yang mendera pun hilang. Dengan cepat Arkan
bangun dari tidurnya, diambilnya senter untuk menerangi beserta parang untuk
berjaga-jaga. Bergegas Arkan berjalan ke rumah Rindang. Tidak peduli walau
sudah malam, diketuknya pintu rumah Rindang. Yang dicari keluar dan membukakan
pintu, segera Arkan mengajak Rindang menemaninya ke kandang kambing. Setelah
berpamitan dengan istrinya, Rindang bersama Arkan berjalan menembus gelap malam
mendekati kandang kambing. Semakin dekat, suara berisik dari dalam kandang
semakin jelas. Dengan sinar dari senter yang mereka bawa, tampak seekor ular
besar berukuran sekitar tiga meter, sudah merambat menaiki kaki kandang.
Pantas, kambing itu
berisik, mereka merasakan bahwa dirinya tidak aman. Arkan berdiri menyinari
area kandang, dengan cekatan Rindang menebaskan parangnya ke arah kepala ular.
Sungguh gerakan yang gesit dan sangat cepat, hanya dalam hitungan detik, ular itu
sudah tidak bernyawa terkena tebasan parang Rindang.
Si pembunuh
kambing-kambingnya terkapar di tanah. Ukuran tubuh ular itu memang dua kali
lebih besar dari ukuran anak kambing milik Arkan, sehingga dalam satu terkaman
saja anak kambing sudah mati dan masuk ke dalam perut si ular. Seketika itu
pula, induk kambing menjadi tenang kembali. Arkan bersyukur, induk kambingnya
selamat. “Kemana kita akan membuang bangkai ular ini?” tanya Arkan. “Kita gali
tanah secukupnya, sampai semua tubuh ular masuk,” jawab Rindang. “Kenapa tidak
kita lempar ke sungai besar dekat rumah, biar jadi santapan lezat ikan-ikan di sungai,”
pinta Arkan. “Badan ular itu terlalu besar, sulit dimakan oleh ikan. Udah kamu
tetap disini, kamu singkirkan itu ular menjauh dari kandang kambing. Aku
kembali ke rumah sebentar, ambil cangkul,” perintah Rindang.
Di tengah malam yang
sunyi, Arkan dan Rindang memberesi kegaduhan di kandang. Bangkai ular sudah
mereka satukan dengan tanah. Arkan berterima kasih atas bantuan Rindang malam
itu. Keduanya berjalan bersama-sama kembali ke rumah. Setiba di rumah, Arkan
mendapati istri dan anaknya masih tertidur lelap.
Pagi menampakkan
keceriaan, Arkan sarapan bersama istrinya. Anak mereka sudah makan terlebih
dahulu, sekarang Ifa telah keluar bermain di sungai yang ada di dekat rumah. “Semalam
bapak keluar karena ada suara berisik dari kandang, ada ular yang menghampiri
kandang. Oleh Rindang, ular itu sudah ditebas hingga mati.” “Ibu tidak tahu
kalau bapak keluar, keadaan kambing kita bagaimana pak?”. “Alhamdulillah, induk
kambing selamat. Kita datang di waktu yang tepat.”
Arkan menarik napas dan
terdiam sebentar. “Maafkan bapak telah membuat ibu susah.” “Ibu baik-baik saja
pak. Bukankah semalam kita sudah membahas ini. Ibu ingin kita tetap semangat,
melanjutkan apa yang sudah kita mulai.” “Bapak menyesal mementingkan diri bapak
sendiri, demi keinginan bapak memiliki ternak kambing sampai lupa dengan
kepentingan kalian.” “Itu impian bapak sejak lama, jika sekarang masih belum
berhasil, biarkan impian itu tetap melambung tinggi. Tidak ada kepentingan ibu
dan Ifa yang bapak lupakan dan tidak salah dengan kepentingan bapak.
Kepentingan yang mana?”, “Kepentingan untuk memberikan sarana yang baik untuk
pendidikan Ifa?”, “Contohnya?”, “Ifa sebentar lagi mau masuk sekolah, Bu. Kalau
ibu dan Ifa masih di sini, akan sulit mendapatkan pendidikan yang terbaik untuk
Ifa.”
“Alhamdulillah, kalau
bapak memikirkan itu. Karena bapak sudah membuka percakapan ini, ibu juga ingin
membicarakan perihal ini. Di sini belum ada pendidikan untuk anak usia dini,
apa iya, anak kita akan langsung masuk sekolah dasar melewati pendidikan dini.
Menurut bapak, kita harus seperti apa?”.“Kalau mau sekolah PAUD, adanya
dibawah. Kita harus mendekat, kalau masih di sini, kasihan untuk proses belajar
Ifa.” “Terus bagaimana pak?”, “Mengontrak rumah di bawah.” “Bapak yakin?”. “Apa
tidak sebaiknya ibu dan ifa tetap tinggal disini menemani bapak, pikirkan cara
lain pak?”
Bapak terdiam dan
merenungkan permintaan istrinya. Cukup lama keduanya terhening dengan
pikirannya masing-masing. “Bapak akan belikan motor untuk ibu.” ujar Bapak. Ibu
memandangi bapak meminta penjelasan lebih lanjut dari suaminya. “Dengan adanya
motor, Ibu menjadi mudah mengantar Ifa sekolah dan menjemputnya. Ini cara agar
kita tetap tinggal di sini dan tidak mengontrak di bawah.” “Untuk bahan bakar
hariannya bagaimana pak, ibu kan tidak bekerja. Beban pengeluaran bapak akan
bertambah.” “Tidak apa-apa. Justru bapak semakin bersemangat bekerja untuk
kalian. Atau jika ibu ingin mau berjualan, bapak izinkan. Terserah ibu mau
berjualan apa, asal ibu mampu dan bisa melakukannya.”
Ibu tersenyum bahagia
melihat suaminya sudah lebih baik perasaannya. “Bu, bapak akan keluar menjual
kambing. Kebutuhan dapur apa yang kosong, ibu catat. Biar bapak nanti yang
belikan. Ibu di rumah saja ya!”
Ibu lekas berjalan
mengambil ballpoint dan kertas yang ada di kamar. Diberikannya catatan
belanjaan kepada suaminya. Empat hari kemudian, kandang kambing milik Arkan
telah kosong. Arkan telah menjual induk kambing mereka. Sudah tidak ada pilihan
lain bagi Arkan. Mempertahankan ternak kambingnya hanya menyuburkan para predator
yang berkeliaran.
Uang hasil penjualan
kambing disimpan oleh Ibu, karena masih kurang untuk membeli kendaraan. Saat
ini dirinya akan fokus bekerja saja, seperti sejak awal dia tinggal di lokasi
transmigran. Seadanya pekerjaan akan dia lakukan. Itu lebih baik, daripada ia
tidak bekerja sama sekali. Hasil dari bekerjanya akan dia sisihkan untuk
menambahi anggaran membeli kendaraan untuk istrinya. Setelah kendaraan untuk
istrinya tercapai, dia baru akan memikirkan lagi, usaha yang akan dilakukannya.
Kebun seluas lima hektar
belum selesai mereka bersihkan, akhirnya sore itu kembali Arkan tidak pulang ke
rumah, menginap di bilik kebun yang sudah disediakan oleh pemilik kebun. Sudah
tiga hari Arkan bersama Handoyo dan
Sugeng menginap di tempat pemilik kebun. Sangat baik, pemilik kebun sudah
melengkapi bilik itu dengan kamar mandi dan toilet walaupun letaknya tidak
berada di dalam bilik itu.
“Setelah selesai dari
sini, kita istirahat satu hari ya, setelah itu kita lanjut bekerja di kebun
sawit,” ungkap Doyo. “Berapa hari kita akan bekerja di kebun sawit?” tanya
Sugeng. “Belum tahu juga pastinya, mungkin sekitar empat hari,” jawab Doyo. “Sudah
tidur, besok kita bicarakan lagi. Usahakan agar pekerjaan kita di sini sudah
selesai dan kita bisa pulang.” Ajak Arkan kepada teman-temannya.
Ketiga kepala rumah
tangga itu pun terlelap dalam tidurnya. Mereka tidak ada yang bangun kesiangan.
Kedisiplinan menjadi kunci setiap mereka bekerja di manapun. Sejak sehabis
subuh, ketiganya sudah turun ke lahan. Pukul tujuh pagi, keringat sudah membahasi
baju mereka. Sang pemilik kebun datang dengan membawa sarapan untuk para
pekerjanya. Mereka istirahat secukupnya untuk makan pagi, begitu selesai makan,
mereka langsung kembali ke lahan. Pukul lima sore, pekerjaan mereka baru
selesai. Belum lagi mereka memerlukan waktu untuk membersihkan diri dan menata
pakaian mereka. Ditambah, mereka juga menunggu pembayaran atas pekerjaan
mereka. Sudah tidak memungkinkan bagi mereka untuk pulang sore itu.
Mereka berjalan pelan-pelan menuju rumah sang pemilik.
Mereka hendak menyampaikan hasil pekerjaan sekaligus berpamitan dan mengambil
pembayaran mereka. Sang pemilik sudah menunggu ketiganya. Lumayan lama mereka
di rumah sang pemilik, baru sadar jika sudah tiga jam lebih mereka mengobrol,
ketiganya pamitan kembali ke bilik kebun dan pamitan besok akan langsung
kembali ke rumah masing-masing.
Arkan bangun paling pagi
dan paling dulu pulang. Sementara kedua sahabatnya baru terbangun dari
tidurnya. Arkan tiba di rumahnya. Ifa sedang bermain di luar sendirian,
istrinya tampak kelelahan dan tertidur di lantai beralas tikar di ruang depan.
Arkan mendekati istrinya, dibelainya kepala sang istri dengan penuh kasih
sayang, lalu dicium kening istrinya.
Istrinya pun terbangun
mengetahui Arkan sudah di rumah. Arkan memeluk istrinya erat. Perempuan di
pelukannya itu yang selalu menguatkan dirinya. “Alhamdulillah, bapak sudah
kembali. Ibu buatkan teh sebentar untuk bapak. Bapak istirahat disini, tunggu
ibu kembali.” Sang istri pun berjalan ke dapur membuatkan teh panas untuk
Arkan. Istrinya kembali dengan membawa satu gelas teh panas dengan singkong
rebus yang ada di piring. “Bagaimana pak, pekerjaannya?”, “Alhamdulillah
selesai. Alhamdulillah bayaran bapak juga langsung diberikan.”
Bapak mengeluarkan uang
dari saku di celananya dan memberikan dua lembar uang seratus ribu kepada
istrinya untuk digunakan keperluan sehari-hari. Sisanya akan Arkan tabung dan
ia gunakan untuk keperluannya. “Terima kasih pak. Ibu terima pemberian bapak,
mudah-mudah berkah untuk kita semua.” “Amin. Lahan bagaimana bu kondisinya?” “Terurus
dengan baik. Kan Ibu setiap hari bersama Ifa ke lahan untuk membersihkan dan
merawat lahan itu.”
“Maaf ya bu, bapak belum
bisa bantu Ibu. Kalau tidak ada pekerjaan, Bapak pasti akan ke lahan, gantian
sama Ibu.” “Lagipula Ibu mau apa kalau tidak ke lahan. Kan tidak mungkin cuma
ongkang-ongkang saja di rumah. Kalau Ifa sudah sekolah, nanti lahan bagaimana
ya pak?”. “Lahan kan sudah mulai bisa ditinggal. Sudah mulai terbentuk, tidak
seperti diawal kita di sini. Ibu bisa membersihkan lahan setiap hari minggu
ketika Ifa libur. Kan ada bapak juga, bapak kalau tidak ada pekerjaan kan bisa
ke lahan juga. Sekolah Ifa jauh lebih utama.”
Arkan dan istrinya
mengelola lahan yang diberikan oleh pemerintah untuk para transmigran. Dulu di
awal memperoleh lahan, kondisi lahan masih tidak karuan. Hanya berisi semak
belukar, belum ada pohon yang ditanam di situ. Mereka bersama-sama membuka
lahan itu dengan peluh keringat. Mereka menggunakan lahan itu untuk menanam nilam,
satu tahun kemudian mereka ganti dengan pohon jengkol dan bertahan sampai
sekarang masuk tahun ketiga.
Pohon jengkol menjadi
satu-satunya investasi yang Arkan dan istrinya lakukan setelah sebelumnya gagal
dalam usaha pohon nilam dan gagal dalam usaha ternak kambing. Mereka putuskan
sudah hanya fokus merawat pohon jengkol saja, sampai nanti pohon jengkol itu
besar.
Untuk memenuhi kebutuhan
keluarga, Bapak turun ke kota ataupun desa lain untuk bekerja. Sementara bapak
keluar bekerja, Ibu tinggal di lokasi transmigran, Ibu tidak kemana-kemana. Ifa
masih dua tahun saat itu, masih memerlukan perhatian dan begitu juga lahan mereka.
Ibu yang memilih bertahan di lokasi transmigran, memilih tanggungjawab menjaga
lahan dan mendidik Ifa. Sekarang Ifa sudah berumur lima tahun, saatnya sekolah.
Tak terasa mereka sudah tiga tahun melalui hari-hari yang sulit di lokasi
transmigran.
Tabungan bapak selama dua
tahun ditambah tabungan yang ada di ibu hasil penjualan kambing dua dulu juga
masih ada, terjaga baik oleh istrinya, sudah cukup untuk membelikan motor Ibu.
“Ayo nak, bangun.
Siap-siap berangkat ke sekolah.” Ifa membalikkan badannya lalu menggeliat dan
mengucek matanya. Melihat ibu sudah disampingnya, Ifa tersenyum kepada Ibunya. “Ifa
sarapan dulu ya bu, setelah itu baru mandi dan salat.” “Iya Nak. Bangun dulu,
duduk di ruang depan. Ibu ambilkan sarapan.” Tak berapa lama, Ibu sudah kembali
dengan membawa sepiring nasi dengan tempe goreng pakai sambal kecap. Sebelum
Ifa bangun, Ibu sudah menanak nasi untuk makan sehari itu. Ibu menunggui Ifa
hingga selesai makan.
Keduanya bersiap-siap,
pukul tujuh mereka berangkat. Ibu membawa sepeda motornya menyusuri jalan
bergelombang dan berbatu menuju ke sekolah Ifa. Sekitar empat puluh menit
meraka berkendara, Ifa tiba di sekolahnya. Walau menempuh jalan yang tidak
mudah, setiap harinya Ifa tidak pernah terlambat sampai ke sekolah.
Setelah Ifa bersama guru
dan temannya, Ibu menggunakan waktu untuk berjualan keliling menjajakan sayur
dan lauk di perkampungan sekitar sekolah. Dengan kegigihannya, sudah banyak
pelanggan dan warga yang tahu dan membeli jualan Ibu. Bahkan para orangtua yang
menjemput teman Ifa juga menjadi pelanggan setia Ibu.
Dagangan ibu cepat habis,
kalau pun sisa sedikit, ibu gunakan untuk lauk makan mereka sekeluarga. Setelah
selesai menjemput Ifa, Ibu pergi ke pasar berbelanja untuk dagangan esok hari. Pernah
juga dagangan ibu, masih banyak, Ibu tidak keliling lagi. Cukup ibu jual di
pasar sambil ibu berbelanja
Selesai dari pasar,
mereka pulang ke atas. Tiba di rumah, Ibu beristirahat sebentar melepas lelah,
selanjutnya menyuci baju. Ifa tumbuh menjadi anak yang mandiri dan bisa
diandalkan. Pelan-pelan Ifa mulai bisa membantu Ibu menyiapkan bumbu dapur.
Pagi itu bapak hendak
pulang ke rumah dari tempatnya bekerja. Sebelum pulang, Arkan akan menemui Ifa
di sekolahnya. Arkan melesat menuju sekolah Ifa. Ia akan menunggu anak dan
istrinya di sekolah. Berharap pagi itu, dia akan bertemu dengan mereka. Pukul
delapan, anak-anak masuk kelas. Namun Ifa dan ibu belum tampak. Arkan menduga,
mungkin keduanya sedikit terlambat. Arkan menunggu lagi. Hingga pukul sembilan
lebih, istri dan anaknya belum sampai, bapak mulai khawatir.
Arkan mencoba menelpon istrinya,
namun belum terhubung. Perasaan Arkan tidak tenang, Arkan pun melesat pulang ke
rumah. Sesampainya di rumah, Arkan mendapati Ifa sedang tidur di kamar. Sedangkan
istrinya masih di belakang. Bapak lega, ternyata anak dan istrinya ada di
rumah. Arkan menyentuh kening Ifa, ternyata Ifa demam.
Mengetahui suminya sudah
pulang, Ibu berjalan masuk ke kamar dan menjelas kalau Ifa hari ini tidak
berangkat sekolah. Lalu mencium tangan suaminya. “Bagaimana kondisi Ifa, Bu?”, “Ifa
demam, pak.”, “Kenapa Ibu tidak memberitahu bapak?”, “Batre hp Ibu habis pak.
Bapak kan tahu, disini belum ada listrik, Ibu belum sempat keluar untuk mengisi
batre. Ifa tidak bisa ditinggal,” terang Ibu.
Ibu tidak melihat raut
marah di wajah bapak, berarti bapak bisa mengerti dan memahami kondisinya. “Mulai
kapan Ifa sakit, Bu?” tanya Bapak sambil membelai dan memijit tubuh Ifa yang
terbaring lemah di kasur. “Kemarin lusa, pagi sebelum berangkat sekolah, Ifa
tidak mau sarapan. Bilangnya tidak ada nafsu makan. Sepulang sekolah, Ifa lemas
dan kurang ceria. Badannya sedikit hangat. Ibu langsung bawa Ifa pulang, Ibu
tidak ke pasar karena melihat Ifa sakit, Ibu putuskan tidak berjualan dulu.
Sampai di rumah, Ifa langsung masuk kamar dan tidur. Sore jam empatan itu, dia
mulai mencret dan ke belakang beberapa kali kemarin malam.”
Melihat suaminya sedang
menemani Ifa, Ibu berjalan ke belakang dan menyiapkan teh panas. Bapak menerima
teh dari istrinya dan meminumnya. “Kenapa ibu tidak meminjam hp ke istrinya Pak
Sur?” tanya Bapak sambil menyesap teh panas. “Maafkan Ibu, pak. Ibu tidak tega
meninggalkan Ifa sendiri. Kondisinya yang lemah, tidak memungkinkan ibu keluar
walau sebentar. Kemarin Ifa seharian diare pak. Bolak-balik kamar mandi. Ifa
selalu memanggil ibu setiap hendak ke belakang. Ibu berencana siang ini kalau
Ifa belum juga membaik, Ibu akan menghubungi bapak. Alhamdulillah pagi ini,
Bapak sudah sampai rumah.”
Agar tidak menganggu Ifa,
keduanya keluar kamar dan duduk di ruang depan. “Ibu sudah memberi Ifa obat?”
tanya bapak. “Ibu sudah memberi obat Ifa. Itu pun obat demam milik bapak. Ibu
memberi dosis setengahnya. Tentunya, Ibu juga belum membawa Ifa periksa ke bidan
atau dokter karena kondisi jalan yang tidak baik, tidak mungkin ibu sendirian
membawa Ifa. Hanya teh hangat tawar dan teh manis bergantian untuk membuat kondisi
Ifa sedikit lebih baik.” jawab Ibu.
Arkan berjalan keluar
menemui Rindang, sahabat terbaiknya. Yang dicari tidak ada di rumah sedang
keluar bekerja. Arkan menitipkan pesan melalui istrinya, setelah pulang ke
rumah, Arkan minta Rindang menemaninya memeriksakan kondisi Ifa ke dokter.
Rindang yang ditunggu
sejak pagi hingga sore, tidak juga datang menemui Arkan. Hari sudah mulai
gelap, Arkan gelisah dengan kondisi Ifa yang belum juga membaik. Bagi Arkan
hanya Rindang yang paling bisa diandalkan. Baru selepas Isya, Rindang ke rumah
Arkan. “Maaf Ar, tadi aku pulang kesorean karena banyak yang harus dikerjakan.
Ayo segera kita bawa anakmu ke dokter.” Arkan gembira akan kedatangan
sahabatnya itu. Mereka berboncengan bertiga. Rindang di depan mengendarai
motor, sedangkan Arkan di belakang sambil menjaga Ifa yang lemah. Arkan meminta
istrinya di rumah saja, karena sudah malam.
Arkan meminta Rindang
membawa mereka rumah sakit umum daerah. Ada dokter jaga di unit gawat darurat.
Sepanjang perjalanan ke rumah sakit, Ifa beberapa kali merintih.
Lompatan-lompatan kecil motor akibat jalan yang bergelombang, membuat kepala
Ifa bertambah pusing.
Perawat jaga menerima
mereka dengan baik dan ramah. Setelah melakukan pendaftaran, Ifa langsung
diperiksa. Malam itu, unit gawat darurat sepi. Dokter jaganya seorang laki-laki
dan masih mudah.
Dokter jaga menjelaskan
kepada bapak, “Ifa mengalami gejala tipus. Dia harus dirawat intensif.” “Maksudnya
dirawat intensif apa dok?” tanya Arkan. “Ifa perlu beberapa hari dirawat inap
di rumah sakit,” terang dokter jaga. “Kalau dirawat dirumah saja bagaimana
dok?”, “Kalau dirumah tidak ada dokter yang mengontrol perkembangan Ifa setiap
harinya.”, “Dokter beri saya resep obat untuk dibawa pulang. Saya sebagai
orangtuanya akan mengontrol anak saya setiap hari.”. “Bapak tidak perlu kuatir
jika Ifa dirawat di sini. Bapak bisa menggunakan kartu jaminan kesehatan yang
bapak punya untuk meringankan biaya rumah sakit?”
Bapak terdiam sejenak,
lalu melanjutkan perkataannya, “Saya tahu akan hal itu dok, namun saya juga
menyadari kalau saya sudah menunggak hampir satu tahun ini belum membayar iuran
jaminan kesehatan.”. Dokter itu memahami mengapa Arkan keberatan anaknya
dirawat di rumah sakit. Namun jiwa dan kesehatan Ifa perlu diutamakan. “Malam
ini ijinkan Ifa dirawat di sini. Sayangi anak bapak. Saya hanya ingin anak
bapak kembali sehat dengan cepat.”
Bapak pun mengangguk
pelan, tanda persetujuan. Sekitar setengah jam menunggu kamar, akhirnya Ifa
dipindahkan ke ruang rawat inap khusus anak-anak. Selama Ifa dipegang oleh
perawat, Arkan meminta Rindang pulang dan menyampaikan kabar ini kepada
istrinya.
Sepulang Rindang, Arkan
duduk sendirian menghitung uang yang ada di saku celananya. Uang hasil
bekerjanya ternyata belum cukup untuk menutup tunggakan iuran jaminan kesehatan
mereka. Satu tahun pertamanya di transmigran, Arkan sedang melakukan proses
penyesuaian aktivitas ekonominya, sehingga keuangannya sedikit mengalami
gangguan sehingga menunggak. Setelah tahun kedua Arkan mulai rajin membayar
iuran jaminan kesehatannya hingga sekarang. Namun ia belum menutup semua
kekurangan pembayarannya itu hingga sekarang. Perasaannya belum lega, ia perlu
kehadiran istrinya. Rindang masuk ke kamar Ifa. Anak itu belum tidur kembali. Arkan
menemani Ifa hingga anaknya tertidur.
Tidak ada tikar, malam
itu, agar tidak masuk asing, Arkan pun tidur disamping Ifa. Pagi-pagi istrinya
sudah datang membawa baju ganti, peralatan mandi dan makan pagi untuk mereka.
Entah jam berapa istrinya bangun, untuk memasak dulu. “Ibu ke sini sama siapa?”tanya
Bapak. “Sendiri, Pak. Semalam setelah Rindang memberi kabar, sebenarnya Ibu
ingin langsung menyusul. Namun Rindang melarang ibu demi keselamatan Ibu.
Rindang menyarankan agar pagi saja, Ibu menyusul Ifa di rumah sakit. Rindang
juga tidak bisa mengantar ibu karena kelelahan seharian belum beristirahat”
Ibu menyiapkan makan pagi
untuk mereka berdua. Bapak mengajak ibu berbicara tentang kekurangannya uang
pembayaran tunggakan iuran jaminan kesehatan mereka. “Masih kurang berapa pak?”
tanya Ibu. “Enam ratus ribu lagi, Bu.” jawab Bapak. “Inshallah Ibu ada pak. Kan
ibu selama ini berjualan, Alhamdulillah Ibu bisa menyisihkan uang hasil jualan
ibu untuk ditabung.”
Bapak sangat lega,
istrinya ada tabungan. Bapak tambah lahap sarapan pagi itu. Setelah makan pagi,
Bapak keluar untuk memberesi tunggakan mereka. Ibu berjaga menunggu Ifa.
Lokasi transmigran juga sudah terang,
pemerintah telah membangun sumber listrik dan
infrastruktur jalan. Transportasi dan mobilisasi untuk aktivitas ekonomi
dan pendidikan lebih mudah dan menghemat waktu perjalanan. Kehidupan warga
transmigran menjadi lebih dinamis. Bersama istrinya, Arkan bahu membahu terus
menata kehidupan mereka. Tak terasa mereka telah melewati tujuh tahun kehidupan
di transmigransi. Setiap hari minggu, Ibu libur jualan. Permintaan pekerjaan
untuk Arkan juga selalu berdatangan. Lahan jengkol ditengok, dirawat
bergantian. Ifa belajar tanpa hambatan. Kehidupan mereka pun mulai membaik,
begitu pula kehidupan warga transmigran yang lain. Ganjaran kebaikan untuk
mereka yang kuat, tahan, tabah dan tidak putus ada. Derana.
“Kepada Sang Merah Putih,
Hormat gerak!”. Para peserta upacara meletakkan tangannya di samping kepala
memberi hormat kepada bendera negara yang sedang dikibarkan. Suara paduan suara
yang dinyanyikan oleh emak-emak mengiringi pengibaran bendera. Paduan suara
selesai bertanda bendera telah selesai pula dikibarkan. “Tegak grak!” teriak
komandan upacara.
Petugas pengibar bendera
berbaris dan berjalan kembali menuju tempat semula. Setelah tiba di tempat,
komandan upacara berteriak, “Istirahat di tempat gerak”. Perintah komandan
upacara itu dikuti oleh semua peserta upacara.
Tampak di tengah lapangan
berdiri seorang laki-laki mengenakan sepatu bot, kaos lengan panjang dan
bertopi hendak memberikan orasi. Tidak ada pengeras suara di tempat itu.
Pemimpin upacara tersebut mengarahkan pandangannya ke seluruh peserta yang
hadir. Dengan penuh kewibawaan, laki-laki itu berkata sambil sedikit berteriak
agar semua peserta mendengar perkataannya. “Assalamu’alaikum wr.wb,” salam
pembuka dari pemimpin upacara. “Waalaikumsalam wr.wb,” jawab seluruh peserta
upacara.
“Bapak dan Ibu semuanya,
jauh dari keramaian, bersama-sama kita memperingati Hari Ulang Tahun Kemerdekaan
Republik Indonesia ke-77. Disaat yang sama, kita juga memperingati sewindu kebersamaan
kita di lokasi transmigran ini. Bersama-sama kita refleksikan perjalanan kita.
Teruslah melangkah
mengikuti keyakinanmu
Jangan pernah menyerah
Berhentilah sejenak jika
lelah
Namun jangan menyerah
apalagi berbalik arah
Hidup memerlukan
ketangguhan, begitu pula kamu
Jika suatu saat kamu
gagal
Ingatlah, kegagalan bukan
berarti Tuhan sedang menghukummu
Namun Tuhan sedang
mengarahkan langkahmu
Jangan lah kamu sedih
Dan Ketika kamu sedih
akan ada Tuhan yang menghibur dan menghapus air mata
Dan semua akan baik-baik
saja
Kendalikan emosi atau
kamu yang akan dikendalikan oleh emosi
Jangan mengeluh akan
kegagalanmu
Janganlah kamu berhenti
mengejar asamu
Karena memang itulah
tanggungjawabmu
Kamulah yang
bertanggungjawab atas dirimu sendiri
Berdoalah dan berusahalah
Serta belajarlah karena
belajar akan mengantarkan kesuksesan
Yang akan membuat besar
namamu
Adalah doa dan kerja
kerasmu
Bukan kesombongan dan
kemalasanmu
Cintai dirimu, Cintai
keluargamu dan Cintai Pekerjaanmu
(Merry Riana)
Seusai berefleksi, semua
peserta berpelukan satu sama lain. Isi refleksi tadi telah menggambarkan apa
yang mereka rasakan selama bertahun-tahun. Melihat situasi peserta yang mulai
kehilangannya barisannya, komandan upacara pun segera membalikkan badan dan
membubarkan peserta upacara. Pemimpin upacara yang tak lain adalah Arkan, warga
transmigran menyebutnya sebagai kepala suku, ikut membaur dengan peserta
upacara lainnya yang tak lain adalah istri, anak dan seluruh warga transmigran
Para ibu-ibu yang sudah
membawa makanan dan minuman dari rumah, segera membentangkan alas untuk
bersama-sama makan. Ibu, bapak dan anak-anak duduk bersama di lesehan. Piring,
gelas dan sendok disiapkan di atas alas, lengkap beserta nasi dan lauk. Terpancar
cahaya kebahagiaan, kekeluargaan dalam suasana nasionalisme.
Penulis: Tuti Isnaeni
0 Komentar