Ali Mabruk dan Lafaz al-Quran


Buku Ali Mabruk “Nushush hawla al-Quran” saya selesaikan setelah sahur. Buku ini terbit tahun 2015, berarti hanya setahun sebelum penulisnya meninggal. Tampak Dr. Mabruk berada di barisan sarjana-sarjana Arab Muslim progresif. Pembacaannya terhadap literatur klasik, terutama ulum Alquran dan kalam, sejalan dengan Nasr Hamid Abu Zayd, Jabiri dan lain-lain.

 

Banyak hal menarik yang bisa didikusikan dari buku ini. Salah satunya ialah pandangannya bahwa lafaz-lafaz Alquran tidak berasal dari Allah. Pandangan ini memang tidak dibahas dalam satu bab tersendiri, melainkan bagian dari tema lain yang didiskusikan terkait peran manusia dalam formasi teks Alquran. Dalam tema tersebut, Ali Mabruk mendiskusikan, salah satunya, praktik membaca Alquran dengan padanan kata (kata berbeda, namun makna sama), yang dikenal dengan “muradif.”

 

Dalam konteks pembacaan berbeda itu (bukan soal qira’at) dia berbicara tentang lafaz-lafaz Alquran, dari halaman 206 hingga 212. Bagi kawan-kawan yang bisa membaca teks Arab, saya sarankan baca teksnya langsung. Syukur jika bisa baca buku ini secara keseluruhan. Saya tidak tahu apakah buku ini sudah diterjemahkan. Suatu saat pernah lewat di laman Fb saya terjemahan karya Dr. Ali Mabruk. Tapi saya tak sempat memeriksa apa itu terjemahan buku ini. Jika belum diterjemahkan, buku ini sangat layak diterjemahkan.

 

Dr. Ali Mabruk mengajukan, setidaknya, dua alasan mengapa lafaz-lafaz Alquran itu dari Nabi, bukan langsung dari Allah. Pertama, terkait dengan tema besarnya, yakni lafaz-lafaz Alquran dapat dibaca dengan kata berbeda. Di halaman sebelumnya (sebelum hal. 206), disebutkan riwayat-riwayat yang menunjukkan bahwa Alquran dapat dibaca dengan bahasa qabilah-qabilah Arab berbeda. Kemudian dia menyebutkan kenyataan bahwa beberapa sahabat memiliki mushaf-mushaf berbeda, yang semuanya diterima dari lisan Nabi.

 

Kata Dr. Ali Mabruk, jika lafaz-lafaz Alquran berasal dari Allah, maka tidak boleh ada perubahan atau penggantian suatu kata dengan kata lain yang semakna. Untuk memperkuat argumennya, Dr. Ali Mabruk menyitir sebuah riwayat di mana malaikat pembawa wahyu sendiri yang mengizinkan Nabi mengganti kata Alquran.

 

Lalu, bagaimana memaknai pernyataan bahwa al-Quran merupakan kalam Allah yang azali? Penggunaan istilah “kalam” di sini, kata Ali Makbruk, perlu dimaknai secara metaforis (majazi). Yakni, kandungan maknanya berasal dari Allah. Dalam kenyataannya, dia berargumen lebih lanjut, “huruf-huruf dan lafaz-lafaz itu bukan kalam Allah.”

 

Argumen kedua terkait dengan proses pewahyuan al-Quran. Maksud “proses pewahyuan” ialah bagaimana Nabi menerima wahyu dari Tuhan. Poin yang hendak ditegaskan Ali Mabruk ialah penerimaan wahyu tidak dalam bentuk bahasa verbal (lughawi).

 

Untuk mendukung argumen kedua ini dia mengutip riwayat Aisyah, istri baginda Nabi, yang mengisahkan Harits bin Hisyam yang datang bertanya kepada Nabi bagaimana wahyu turun. Nabi menjelaskan, kadang wahyu turun seperti deringan bunyi bel dan kemudian Nabi mendapatkan pemahaman. Nabi menegaskan proses ini paling berat. Di kala lain malaikat datang menyerupai laki-laki menyampaikan kepada Nabi.

 

Berikutnya, Mabruk mendiskusikan pandangan ulama tentang arti “deringan bunyi bel” dengan mengutip kitab Fath al-Bari karya Ibnu Hajar. Intinya ialah bunyi atau suara itu bersifat perseptif (maksudnya, suara yang menimbulkan kesadaran) bagi yang mendengarnya dan kemudian menjadi jelas bagi orang yang memahaminya. Ali Mabruk menambahkan, wahyu yang diterima melalui deringan bunyi bel tersebut pastilah bukan dalam bentuk percakapan verbal.

 

Lalu, siapa yang melafazkan wahyu yang diterima melalui deringan bel? Ya, Nabi sendiri. Begini tulis Ali Mabruk: “Nabi adalah orang yang membuat lafaz-lafaz sesuai dengan apa yang dipahami dari bunyi [bel] tersebut.” Menurutnya, proses pewahyuan dengan cara itu bukan hanya yang paling berat yang dirasakan Nabi, melainkan juga paling sering dialami Nabi.

 

Argumen yang kedua ini juga dapat ditemukan dalam buku “Think outside the box.” Argumen pertama sengaja tidak didiskusikan dalam buku itu karena saya menganggap tidak cukup kuat. Membaca al-Quran dengan padanan kata (muradif atau qira’at bil-makna) juga didiskusikan dalam “Think outside the box” tapi tidak dalam konteks argumen tentang lafaz-lafaz al-Quran dari Nabi.

 

Mengapa argumen pertama tidak kuat? Sebab, yang melarang atau membolehkan mengubah kata suatu teks kitab suci itu bukan pembaca, melainkan pemberi teks. Secara teologisnya begini: Jikapun lafaz-lafaz al-Quran itu berasal dari Allah, tak ada yang bisa menghalangi Allah untuk mengizinkan lafaz-lafaz-Nya dibaca secara muradif. Tujuan diizinkan membaca Alquran dengan bahasa (Arab) yang berbeda-beda ialah untuk mempermudah setiap qabilah Arab mengakses Alquran, terlepas apakah lafaz-lafaznya berasal dari Allah atau Nabi sendiri.

 

Terlepas dari itu semua, pemaparan Dr. Ali Mabruk layak direnungkan. Kita tak perlu setuju dengannya. Apa yang disampaikannya itu merupakan sebuah perspektif. Sebagaimana apa yang dipahami kebanyakan kaum Muslim (ortodoks) juga sebuah perpektif. Masing-masing dibangun dari argumen teologis alias keimanan. Dan masing-masing memiliki sandaran dari tradisi Islam klasik yang kaya.




Penulis: Mun'im Sirry

Posting Komentar

0 Komentar