Kembara Rindu Karya Habiburrahman El-Shirazy

 

Kembara rindu merupakan novel pertama dari dwilogi pembangun jiwa yang menceritakan tentang dunia santri. Kisah yang menitikberatkan pada dua hal, pengembaraan dan kerinduan. Pengembaraan berorientasi pada masa depan, sedangkan kerinduan berorientasi pada masa lalu. Kedua hal tersebut mewarnai jalan cerita dalam novel ini, sehingga membuat pembaca seakan-akan didorong untuk berani menatap masa depan sekaligus menjadikan masa lalu sebagai spirit perjuangan. Dua hal yang tampaknya berbeda, namun pada hakikatnya satu, yaitu melatih diri dalam rangka meningkatkan kemampuan, pengetahuan dan keahlian. Perbedaan tersebut ada pada kecenderungan tokoh dalam memaknai kehidupan.

 

Pengembaraan menjadi suatu keniscayaan bagi manusia. Dalam novel ini digambarkan oleh tokoh Ridho yang harus meninggalkan kampung halamannya untuk nyantriatau belajar di sebuah pesantren. Perpindahan tersebut sebagai symbol keseriusan belajar dan menjadi ujian pertama dalam memulai pengembaraan. Menata niat dan meneguhkan mental sepanjang perjalanan menuju tempat belajar. Urgensi pengembaraan tersebut tertulis dalam satu bait paragraf yang menjadikan panah dan busurnya sebagai symbol.

 

Anak panah kalau tidak dilepas dari busurnya, tidak akan pernah sampai pada sasarannya. Demikian juga manusia, jika tidak berani merantau untuk mencari ilmu maka dia tidak akan meraih kegemilangannya. Kamu harus belajar, jauh, merantau, agar banyak pengalaman.

 

Pengembaraan Ridho menuju pesantren berdasarkan wasiat kakek buyutnya. Pada masa hidupnya, kakek buyutnya berpesan agar anak cucunya ada yang belajar di pesantren agar nanti bisa memakmurkan masjid yang didirikannya. Hal tersebut juga ditegaskan oleh pesan almarhumah ibunya agar menjadi anak shaleh dan tidak membantah nasehat kakek dan neneknya. Kakeknya memaksanya untuk belajar di pesantren, dan memilihkan sosok guru untuknya, Kiai Munawir Abdul Jalil dari Sidawangi. Ikhlas dan penuh kasih sayang sebagai karakter Kiai Munawir yang menjadi sebab rujukan kakeknya.

 

Ridho mendapatkan pengalaman luar biasa, baik ketika masih belajar maupun dalam proses pengabdiaan. Pengalaman-pengalaman tersebut antara lain kepemimpinan seorang ulama yang disegani banyak kalangan, sekaligus adab dan etiket seorang ulama. Selain itu, selama mengabdi Ridho dibimbing dan diajari secara langsung cara berjalan menuju Allah. Pesan-pesan Kiai Munawir dalam setiap pengajian juga tak lepas dari perhatian Ridho. Di antara pesan-pesan tersebut tentang hakikat hidup sebagai pengembara. 

 

Kita seperti orang bepergian di dunia ini, orang yang mengembara. Dunia ini bukan tujuan kita. Tujuan kita adalah Allah. Kita harus memiliki rasa rindu yang mendalam kepada Allah. Dan Allah akan membalas dengan kehangatan rindu dan ridha-Nya yang tiada bandingannya.

 

Penulis menyelipkan pesan kepada pembaca melalui mutiara-mutiara pesan Kiai Munawir. Selain berani untuk mengembara, seorang pembelajar haruslah memiliki kemauan untuk mengabdi, keinginan untuk pulang dan kerinduan untuk beramal. Dua hal yang bisa bermakna berbeda dalam konteks ruang dan waktu. Keberanian dalam mengembara, harus dibarengi kerinduan untuk pulang. Pulang atau mengabdi menjadi tujuan utama dalam proses pengembaraan dalam belajar.

 

Kerinduan kerap kali dilupakan oleh seorang pembelajar. Pada dasarnya kerinduan atau semangat untuk mengabdi yang menjadi sebab munculnya keberanian untuk mengembara, jauh dari kampung halaman. Dalam novel ini, kerinduan tidak hanya digambarkan oleh tokoh utama Ridho, tetapi juga tokoh-tokoh lain yang merindukan sosok Ridho. Kerinduan yang dimaksud sebagai efek kebermanfaatan Ridho sebagai sosok santri yang mengabdi sepenuh hati dan dirasakan kehadirannya, tidak hanya di lingkungan pesantren, tetapi di lingkungan keluarga dan masyarakatnya. Tidak hanya menumbuhkan kerinduan dalam diri, tetapi bagaimana menciptakan kerinduan di setiap langkah kaki.

 

Ada tiga macam kerinduan yang disampaikan dalam novel ini. Kerinduan tokoh utama kepada keluarganya dalam menuntaskan wasiat kakeknya. Kerinduan sahabat dan guru akan dedikasi dan pengabdian tokoh utama selama belajar di pesantren. Dan kerinduan masyarakat sekitar akan kebermanfaatan seorang santri setelah lulus dari pesantren. Kerinduan menjadi awal sekaligus akhir dalam proses pembelajaran, sebagai spirit untuk bersungguh-sungguh dalam belajar. Tanpa kerinduan, pembelajar akan bermain-main dalam pengembaraannya, tanpa tujuan dan akan kehilangan arah. Pesan tersebut disampaikan penulis melalui tokoh Kiai Munawir.

 

Santri-santriku dalam pengembaraan mengarungi kehidupan dunia ini, jadilah kalian orang-orang yang penuh rindu. Orang-orang yang rindu pulang. Jadilah seperti orang yang mengembara dan sangat rindu untuk segera pulang bertemu keluarga. Orang yang didera rindu untuk segera pulang, tentu berbeda dengam orang yang tidak merasa rindu, meskipun sama-sama bepergian. Orang yang didera rasa rindu, tidak akan membuang-buang waktunya di jalan, ia ingin cepat-cepat sampai rumah.

 

Cerita ini mengangkat Lampungdengan segala kearifan lokalnya sebagai settingcerita. Pembaca seakan diajak untuk menelusuri daerah ini dengan pemandangan yang asri dan udara yang sejuk. Rerimbunan kebun kopi dan lengangnya ruas jalan menjadi pemandangan yang melengkapi uniknya rumah panggung khas Lampung. Selain itu, suasana pesantren dan ritual-ritual yang berkaitan dengan pesantren dihadirkan oleh penulis untuk mendekatkan dunia pesantren dengan pembacanya. Pesantren Sidawangi milik Kiai Munawir di Cirebon, pesantren milik keluarga Gus Najib, dan pesantren tempat Syifa, sepupu Ridho, belajar. Tak lupa juga musholla di kampungnya semakin ramai, sebagai cikal bakal Ridho mendirikan pesantren.

 

Novel ini mengangkat isu pertentangan kelas. Keluarga Ridho dianggap sebagai kelas bawah yang berusaha menuntut haknya, sedangkan keluarga ibu tiri Syifa sebagai kelas atas yang menguasai harta milik ayah Syifa. Syifa terpaksa putus sekolah karena kedua orang tuanya meninggal dan menanggung beban hidup keluarganya. Adiknya yang masih kecil dan neneknya yang merawatnya sejak kecil menjadi tanggungannya. Untuk menyambung hidup, Syifa menjajakan gorengan dan minuman di sekitar tempat tinggalnya.

 

Tanggungan kehidupan Syifa bertambah seiring dengan kepergian sepupunya yang berangkat nyantri karena amanah kakek dan ibunya. Syifa mempunyai tugas baru untuk menjaga kakek dan nenek Ridho. Sementara Ridho menjalani kehidupannya menjadi santri di Pesantren Darul Falah, Sidawangi. Tanpa alat komunikasi yang memadai, Ridho tak menyadari kehadirannya di tengah keluarga sangat dinanti. Amanah kakeknya ia pertahankan untuk tidak pulang sebelum diperintahkan oleh Kiai Munawir.

 

Kehidupan sebenarnya hadir ketika Ridho diperintahkan Kiai Munawir untuk pulang. Sekaligus mengawal putri Kiai dalam menyelesaikan studinya di Lampung. Selepas menyelesaikan tugasnya, Ridho segera pulang dan menjadi tulang punggung keluarga. Bersama sepupunya, Syifa, Ridho berjuang meningkatkan perekonomian keluarga. Ketangguhannya diuji ketiga memperjuangkan hak Syifa kepada keluarga tirinya. Banyak gangguan dan godaan selama memperjuangkan hak sepupunya. Keilmuan dan keteguhannya selama dipesantren dipertaruhkan.

 

Novel ini memberikan motivasi sekaligus kritik sosial terhadap masyarakat Indonesia. Semangat belajar atau mengembara harus selalu dipupuk membersamai kerinduan dalam rangka pengabdian. Pengembaraan dan pengabdian ibarat dua sisi mata uang yang tak bisa dipisahkan satu sama lain. Memilih mengembara berarti siap untuk pulang dan mengabdi. Tanpa pengembaraan, kerinduan tak kan pernah ada. Dan tanpa pengabdian, pengembaraan tak kan bermakna.

 

Penulis dalam cerita tersebut seakan mengkritik sekaligus menegaskan kepada pelajar-pelajar Indonesia yang sedang mengembara jauh ke negeri orang. Khususnya pelajar-pelajar yang dibiayai pemerintah dalam rangka membangun bangsa. Kerinduan untuk pulang harus selalu dipupuk agar terus bersemi. Puncak dari pengembaraan adalah pulang ke kampung halaman dalam rangka pengabdian. Membangun nusa dan bangsa.

 

Fasilitas yang diberikan negara adalah hutang yang harus dibayar. Kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat menjadi indikator keberhasilan tersebut. Pengabdian tak ada ujungnya, sama seperti pengembaraan yang tak akan ada habisnya. Namun, pulang dan mengabdi untuk negeri adalah jawaban dari pengembaraan yang perlu direalisasikan. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. 

Posting Komentar

0 Komentar