Arus Bawah



PENULIS                          : Emha Ainun Nadjib
CETAKAN                        : I Februari 2015
TEBAL                              : viii + 240
ISBN                                : 979 – 602 – 291 – 068 – 8 

Dikisahkan warga masyarakat Karang Kedempel resah dan sedih karena kehilangan Kiai Semar. Padahal perannya sangat dibutuhkan saat ini. Masalah-masalah yang kian runyam menunggu turun tangannya. Lurah dan seluruh perangkatnya tak lagi sanggup menjalankan fungsinya sebagai petugas penyejahtera rakyat. Para Punakawan lainnya, Gareng, Petruk, dan Bagong jadi ramai berdebat, merefleksi dan mencari. Di antara menghilangnya Semar dan tertindasnya warga Karang Kedempel, berlangsung berlapis-lapis pemikiran dan pergulatan. Di tengah represi politik, pembungkaman suara, dan penjajahan oleh asing, bergema pertanyaan mengapa Semar pergi sementara rakyat Karang Kedempel tak berdaya. Hakikat politik, kedaulatan rakyat, sejatinya kekuasaan, semuanya dipertanyakan kembali. 

Sampailah mereka pada kesimpulan perlunya carangan. Carangan ialah mengubah pakem, menggesernya, merombaknya, atau bahkan menggantikannya sama sekali. Suatu sistem pakem yang menyejahterakan sebagian orang dengan cara menyengsarakan sebagian besar lainnya tak bisa diteruskan. Kaum Punakawan sebagai agen dari Budaya Carangan yang mencoba menyelusupkan paham-paham baru yang membebaskan dalam keniscayaan tragis Mahabharata, menunjukkan bahwa masyarakat Karang Kedempel sebenarnya melontarkan kehendak pembebasan secara autentik.

Zaman terus berjalan, melangkah, dan berubah. Novel-esai berjudul “Arus Bawah” ini dulu pernah terbit di harian Berita Buana pada 28 Januari - 31 Maret 1991. Menggedor kesadaran orang-orang, yang hidup tapi tak selalu berdaya dalam kepungan kekuasaan Orde Baru. Menyusupkan dan menyebarkan virus budaya carangan, di atas berlangsungnya mainstream kekuasaan dan politik kala itu, yang baku, pakem, dan hendak dilanggengkan.

Kini, di awal tahun 2015, novel-esai yang mengajak kita lebih dekat dengan kehidupan negeri Karang Kedempel ini hadir kembali. Dan sejatinya, juga mewartakan hal yang sama. Mungkin lebih dari yang dulu, Karang Kedempel yang sekarang ini dikuasai oleh politik tipu daya pencitraan, pemerintahan yang terbelah dan penuh sandiwara, kamuflase demokrasi, maraknya aliran-aliran penyempitan berpikir, riuh rendahnya ocehan dan hujatan di media sosial, aneka tingkah polah nyelfie dan lebaynya gaya hidup, amat sangat memerlukan kembalinya Kiai Semar. Sekurang-kurangnya para Punakawan lainnya bisa segera menggulingan gerakan carangan baru.

Sebagai sebuah proses, bansa Indonesia belum selesai. Itu sebabnya kita perlu menengok lagi pertanyaan-pertanyaan yang lebih sering bernada gugatan dari para Punakawan dalam novel ini. Apakah kita benar-benar membutuhkan Semar sehingga perlu dicari? Atau, kita sedang berpura-pura membutuhkan semar? Jangan-jangan Semar tak ke mana-mana.

Buku ini memiliki keunggulan dari segi karakteristik tokoh-tokoh di dalamnya yang membuat si pembaca dapat langsung memahami karakter tokoh tersebut. Novel ini juga dibumbui oleh cerita-cerita yang lucu dan jenaka yang membuat pembaca tidak akan bosan membacanya. Dan juga memberikan penyegaran di tengah-tengah kemelut masalah yang terjadi. Namun, pemilihan kata-kata di novel ini menggunakkan bahasa-bahasa Jawa yang menyulitkan pembaca dalam memahami kandungan teks. Sepertinya buku ini dikhususkan pada pemerhati politik dan situasi kenegaraan.

Novel-esai ini sangat bermanfaat untuk menghilangkan stress karena kejenuhan menyaksikan pergulatan politik negeri. Penulis mengajak para pembacanya untuk berani melawan setiap penindasan dan ketidakadilan yang dilakukan penguasa terhadap rakyat. Penulis membungkusnya dengan tokoh jenaka yang sesekali membuat pembaca tertawa dengan keanehan tokohnya.

Posting Komentar

0 Komentar