Oleh: Eka Apriyanti
Berada di dataran rendah yang sangat dekat dengan laut hampir setiap hari aku
melihat anak-anak bermain di pantai. Rambut mereka terlihat sedikit
lebih merah dan kulit mereka yang
hitam karena setiap hari menantang panasnya matahari. Tidak sulit menemukan berbagai
macam ikan disini karena sebagian
besar mata pencarian
masyarakat adalah nelayan. Ada sebagian yang menggantungkan
hidupnya dengan perkebunan. Di hari kamis akan
terlihat banyak petani karet yang meletak kan hasil panen karet mereka di
pinggir jalan untuk dijual
kepada penadah.
Bukan merupakan desa yang sangat subur, bukan pula desa yang penduduknya sejahtera. Sebagian dari kami bekerja keras untuk memenuhi
kebutuhan esok hari. Ada banyak rumah pemanen tapi tak jarang pula terlihat rumah yang berdinding papan dan berlantai
semen biasa, baiknya adalah tidak ditemukan warga yang tinggal di jalanan
seperti di kota kota besar.
Desa adalah satu kata yang di
setiap pemikiran orang-orang merupakan tempat yang asri, yang damai, yang tidak akan ada kebisingingan disana.
Mereka yang tinggal dikota besar akan
selalu menjadwalkan hari libur untuk berkunjung ke tempat- tempat yang
bernuansa desa. Mereka yang memang memiliki keluarga
di desa pada hari libur akan selalu menyempatkan
diri untuk beristirahat dirumah, menikmati masakan ibu dan menghirup udara segar setiap pagi. “
Nis, ada aku baca disitus ada lowongan pekerjaan di Jakarta, ikut yuk“.
“Gimana ya.” Anisa terlihat seperti ragu untuk mengiyakan pertanyaanku. Setiap
kali aku memberitahu lowongan
pekerjaan yang tempatnya jauh dari
desa dia akan nampak keberatan.
Aku dan Anisa berteman sejak
kecil, kami dilahirkan dan dibesarkan didesa yang sama, desa kecil yang terletak di salah satu provinsi di pulau
Sumatera tepatnya Desa Kasuk Baru
Kecamatan Tetap Kabupaten Kaur Provinsi Bengkulu. Dulu kami juga pernah
berkuliah di kota provinsi yang
berjarak 5 jam perjalanan jika menggunakan kendaraan roda empat dari kampung
kami. Tepat tahun 2013 kami menyelesaikan studi kami dan mendapat gelar sarjana.
Anisa yang mengambil fakultas pendidikan setelah pulang ke kampung halaman ia mengajar di beberapa sekolah yang menerima
guru honorer. Gajinya mungkin tidak seberapa
namun dapat mencukupi
kebutuhan perbulannya. Itu pula yang membuatnya sedikit kesulitan
untuk menjawab pertanyaanku jika aku memberitahukan lowongan pekerjaan padanya.
Sedangkan aku yang mengambil fakultas ekonomi ketika pulang rasanya tidak ada
gunanya aku mendapat gelar sarjana. Fikiranku terasa kacau apalagi melihat ayah
dan ibuku yang bekerja sebagai petani. Membayangkan bagaimana mereka bersusah
payah bekerja serabutan selama 3,5 tahun untuk biaya kuliah dan makanku selama
dikota, ketika pulang aku masih saja menjadi beban bagi mereka.
Jakarta, kota besar yang di
dalam benakku adalah tempat terbaik untukku mengais rezeki. Difikiranku aku
akan dengan cepat mendapat kesuksesan disana, tidak apa jika aku harus
meninggalkan kedua orang tuaku untuk sementara waktu, nanti jika sudah mendapat
penghasilan yang cukup aku akan memberikan mereka uang setiap bulannya agar
mereka tidak susah payah lagi bekerja untuk memenuhi kebutuhan mereka. Aku akan
menabung setiap tahunnya untuk membawa mereka sekali-sekali melihat megahnya
kota metropolitan yang dikatakan oleh orang-orang. ‘Ra, pokoknya kamu harus
berangkat sebelum lebaran ya, puasanya disini dan ga bisa pulang waktu lebaran.’
Suara Diana dari seberang
telepon memberitahuku bahwa diperusahaan tempatnya bekerja ada lowongan dan dia
bisa membantuku agar aku bisa diterima disana. ‘Aku kangen lo sama kamu Ra, aku
ngebayangin nanti kalo kamu jadi kerja disini kita ketemu terus dan tempat ini makin
rame.’ Nafsuku ingin merantau semakin menjadi-jadi. Diana adalah temanku semasa
sekolah menengah atas. Kami memang sangat seru jika sedang bersama akan selalu
ada hal-hal lucu yang kami bahas. “Pak, boleh ya Mira merantau.” Aku menjelaskan
semua rencanaku dan bagaimana aku semenjak wisuda tidak berhenti mencari
lowongan pekerjaan hingga akhirnya Diana memberiku kabar baik ini. Bapak diam
sejenak, aku duduk disebelahnya diruang tamu yang sederhana. Setiap selesai sholat
magrib dan makan aku, ibu dan bapak selalu duduk di ruang tamu dan bercerita
banyak hal. Ibu yang masih di dalam belum mendengar percakapan kami, aku yakin ibu
akan melarangku untuk jauh dari jangkauannya. Aku memang terlahir dari keluarga
yang sederhana tapi kasih sayang mereka begitu besar untukku. Bapak adalah
sosok yang selalu mengerti keinginanku. Dia juga tahu apa yang aku lakukan saat
ini juga tidak salah. Sekalipun dia juga berat untuk melepasku jauh tapi dia
juga tidak akan menghalangi mimpiku. “Tanggal berapa harus berangkat ?”
Pertanyaan bapak seakan-akan memberi isyarat bahwa dia akan mendukungku. “Siapa
yang mau berangkat ? mau kemana ?”. Belum sempat aku menjawab tiba- tiba ibu
keluar dengan membawa segelas teh untuk bapak, menyuguhkan gelas kearah bapak
dan langsung duduk dikursi sebelah kiri bapak. “Kok diam, mau kemana ?” Mulutku
rasanya seperti terkunci untuk menjawab pertanyaan ibu, dramanya akan di mulai
kalau aku menjelaskan rencanaku sekarang. Bapak ahlinya jika urusan menenangkan
ibu.
Dengan lembut bapak menceritakan semua
rencanaku. Ada raut kecewa dari wajah ibu, air matanya rasanya sudah diujung. “Sudah
yakin ? “ Pertanyaan yang meyakinkanku kembali berharap ada keraguan dalam
diriku. Aku menganggukkan kepala pertanda sangat yakin dengan keputusanku. Sekalipun
ia tidak memberatkan langkahku tetapi tidak terlihat senyuman diwajahnya.
Aku sudah benar-benar bulat akan berangkat ke
Jakarta mengadu peruntungan disana, rasanya ijazah sarjanaku akan lebih berguna.
Didesa rasanya sempit sekali langkahku, lowongan pekerjaan yang hampir tidak
ada, mentok- mentok ya honorer di instansi kabupaten itupun dengan gaji yang 3
bulan sekali dengan nominalnya tidak sampai 30% dari jumlah UMR wilayah Provinsi
Bengkulu. ‘Kamu jemput ya Di, aku mana ngerti Jakarta.’ Aku memberitahu Diana
akan berangkat sebelum puasa nanti. Kira-kira bulan Mei 2015 aku akan kesana. ”Ra,
dipanggil bapak sebentar.”
Sudah hampir 2 minggu sejak malam itu ibu jarang
bicara, bicara seperlunya saja baik itu denganku ataupun dengan bapak. “Tadi siang
bapak ketemu temen, katanya ada pembukaan tes di Kementerian Desa”. “Tes apa pak
?”. “Kalo bapak ga salah Pendamping Desa, Bapak juga belum terlalu detail tapi sebaiknya
kamu coba dulu”. “Kerjaan Mira yang di Jakarta gimana pak?”. “Kan masih lama, masih
sempat kok.” Aku mengangguk pertanda setuju untuk mengikuti tes Pendamping Desa.
Selang beberapa minggu, aku melengkapi semua persyaratan administrasi untuk
ikut tes. Pengumunan kelulusan administrasi akan diumumkan secepat mungkin. Seleksi
administrasi termasuk cepat, selang 2 minggu kemudian tertera namaku yang lulus
seleksi administrasi dan akan mengikuti tahap tes terltulis dan wawancara.
Bapak yang selalu setia menemaniku mengantarku ke kota Bengkulu hingga
pelaksanaan tes berjalan dengan lancar. Niatku belum berubah, aku masih saja
ingin berangkat ke Jakarta. Rencanaku banyak sekali jika aku sudah di Jakarta nanti.
Tuhan tidak akan membiarkan ibuku tersiksa dengan kerinduan pada anak perempuannya.
Tiba hari pengumuman tes Pendamping Desa ada namaku terselip diantara nama
orang-orang yang tidak aku kenal. Di bawah tertera keterangan untuk registrasi
ulang dan mengikuti pelatihan pra tugas selama 12 hari. Mendengar itu gurat
senyum ibu kembali lagi. “Di, aku sepertinya aku gagal ke Jakarta.”. “Loh, Kenapa
Ra?”. “Aku lulus Tes Pendamping Desa Di.” “Apa itu Ra?”. “Aku juga belum ngerti
Di, tapi coba aja dulu deh semoga menyenangkan ya Di.”. “Iya, semoga kamu betah
ya Ra, nanti kalo berubah fikiran lagi telpon aku aja.” “Iya Di.”
Aku memberi tahu Diana secepatnya dan mengikuti pelatihan pra tugas. Selama pelatihan di laksanakan aku baru mengerti bagaimana tugasku sebagai Pendamping Desa meskipun belum sepenuhnya memahami. Beberapa waktu kemudian aku ditugaskan di sebuah kecamatan di salah satu kabupaten di Provinsi Bengkulu dan ternyata ini menyenangkan. Tadinya aku tidak terbiasa bicara di depan umum tapi pekerjaan ini menuntutku untuk bisa menjadi pembicara yang baik di depan masyarakat. Peluang yang diberikan oleh Kementerian Desa sangatlah berguna untuk anak muda sepertiku. Ada banyak anak muda yang enggan pulang ke desa karena tidak tahu bagaimana menggunakan ijazah mereka dengan baik. Ini desa ku, aku tidak akan seperti kemarin yang dengan mudahnya berfikir untuk pergi begitu saja.
0 Komentar